Minggu, 31 Oktober 2010

Keong Racun dan Tokek Belang Part 1

SERI CERITA DONGENG
(EDISI REVISI)
SATU :
KEONG RACUN DAN TOKEK BELANG
Part 1. Terkena kutukan
Karya : La Dawan Piazza

     Konon, cerita ini berawal dari Cangkringan, sebuah desa terpencil di Klaten, Yogyakarta yang tidak ada akses jalan untuk menjangkaunya. Karena daerah ini terletak di antara dua buah gunung yang hanya bisa dilalui dengan berjalan kaki melewati jalan setapak. Waktu itu hiduplah sepasang suami istri miskin, bernama Paijo dan Sartiyem. Mereka ditemani oleh dua orang anak kembarnya yang bernama Shinta dan Jojo.
     Kedua anak kembar ini sejak dilahirkan sudah mengalami kelainan genetik pada kulitnya, sehingga tampak terlihat seperti gadis buruk rupa. Mereka termasuk gadis yang tidak mau bergaul dengan warga sekitar gara-gara sering dihina oleh orang sekampung. Soalnya penampilan kedua gadis ini kurang menarik akibat penyakit kulit yang dideritanya.
     Sehari-hari Paijo berprofesi sebagai petani di desanya, sedangkan istri dan kedua anaknya bekerja mengumpulkan kayu bakar di hutan untuk dijual ke pasar. Maklum, pekerjaan utama di desa ini adalah petani dan pengumpul kayu bakar.
     Suatu ketika Shinta dan Jojo pergi ke hutan untuk mencari kayu bakar. Saat mereka berada di tengah hutan lalu turun hujan yang sangat deras. Mereka pun memutuskan untuk mencari tempat berteduh. Shinta Jojo berlarian sambil menutup kepalanya dengan dedaunan agar tidak basah. Setelah sekian lama berlari mencari tempat berteduh, lalu Jojo berkata “Shinta, sepertinya di sana ada gua, ayo kita ke sana berteduh, yuk!” ajak Jojo sambil menunjuk gua yang dimaksud.
     “Ayolah kalau begitu, buruan larinya nanti pakaianku basah semua, nih!” seru Shinta.
     Mereka berlari-lari kecil menghindari rintik-rintik hujan yang semakin deras menuju gua tersebut dalam kondisi baju setengah basah kuyup. Saat mereka masuk ke gua itu, terlihatlah cahaya yang terang benderang dari dasar gua. Rupanya kondisi lorong-lorong gua tersebut semakin Anda masuk, maka semakin menjorok ke dalam perut bumi.
     “Jojo, cahaya apakah itu yang tampak dari dalam gua?” tanya Shinta.
     “Saya juga kurang tahu, Jo. Gimana kalau kita lihat saja ke sana,” jawab Jojo.
     Sesampainya ke sumber cahaya tadi, mereka menemukan sebuah kolam berisi air yang mengeluarkan cahaya berkilauan.
     “Darimanakah asal cahaya yang berada dipermukaan air ini?” gumam Jojo keheranan.
     Belum hilang rasa penasarannya, tiba-tiba muncullah mahluk astral (gaib) menyerupai sosok lelaki tua berjenggot putih memakai blankon Jawa dan jenggotnya panjang menyentuh tanah dari balik dinding gua.
     “Ho… ho… ho… “ tawa lelaki tua itu. “Hai, Anakku. Ada apa kalian datang  kemari?” tanyanya.
     “Kami kemari hanya menumpang berteduh dari hujan, Mbah!” seru Shinta dan Jojo serentak.
     “Tapi Mbah ini siapa, ya?” tanya Shinta ketakutan.
     “Namaku Mbah Marijan, penunggu gua keramat ini,” jawab lelaki tua itu.
     “Ta… ta… ta… pi tadi Mbah muncul dari balik batu itu, gimana caranya?” tanya Jojo gemetaran.
     “Jangan takut, Anakku! Mbah ini bukan orang jahat, Mbah bisa membantu segala kesulitan kalian dan Mbah juga tahu masalah apa yang sedang kalian alami, Anakku. Kalian ini kan, merasa minder dalam pergaulan dan dikucilkan oleh warga,” kata Mbah Marijan.
“Iya, Mbah! Tapi bagaimana Mbah bisa mengetahui semua masalah kami?” tanya Shinta. “Ketahuilah wahai Anakku, Mbah ini mampu mengetahui setiap permasalahan setiap manusia yang masuk ke dalam gua keramat ini. Oleh sebab itu Mbah bisa tahu semua masalah kalian. Tapi jangan khawatir, Mbah bisa membantu kalian,” jawab Mbah Marijan.
     “Mbah bisa membantu kami menghilangkan kulitku yang buruk rupa ini?” ujar Jojo.
     “Iya, Anakku. Basuhlah kedua wajah kalian dan siramkan air kolam itu ke seluruh tubuh kalian. Kemudian ambil masing-masing satu kendi airnya dan minumlah air itu sesampainya di rumah, tepat pada saat terjadinya Super Moon (bulan purnama sempurna),” ujar Mbah Marijan.
     “Penyakit kulit yang kalian derita akan hilang dalam sekejap dan kalian akan menjadi wanita tercantik di desa Pamarayang,” lanjut Mbah Marijan.
     “Benarkah itu, Mbah?” ucap Shinta berseri-seri.
     “Benar, Anakku. Tetapi ada syarat yang kalian harus patuhi dan itu tidak boleh dilanggar apalagi dikhianati!” kata Mbah Marijan.
     “Syaratnya itu apa, Mbah!” kata Jojo.
     “Syaratnya kamu tidak boleh berduaan dengan laki-laki yang bukan mahrammu. Hanya lelaki yang setia dan mencintai kamu apa adanya yang boleh berjodoh dengan kalian. Jika syarat ini dilanggar, kalian dan lelaki itu akan aku kutuk menjadi seekor binatang. Dan kutukan itu baru bisa lepas jika ada orang yang menemukan kalian dan bersedia menerima kamu apa adanya. Orang itulah yang mampu membebaskan kutukan itu,” pesan Mbah Marijan.
     “Iya, Mbah kami akan selalu ingat pesan-pesannya!” janji Shinta dan Jojo serentak.
     Setelah mendapatkan petuah dari Mbah Marijan, mereka berdua bergegas pergi dari gua keramat itu dengan membawa dua buah kendi yang berisi air dari kolam bercahaya tadi. Mereka berjalan di tengah hutan belantara dengan penuh rasa was-was, takut diganggu oleh binatang buas yang banyak terdapat di hutan itu.
     Sesampainya mereka di rumah, Shinta berkata pada Jojo. “Jo, jangan bilang siapa-siapa ya, tentang keberadaan gua keramat itu. Cukup kita berdua saja yang tahu, bahkan kedua orang tua kita pun tidak boleh tahu.”
     “Iya Mbak, kita memang harus rahasiakan kejadian ini,” jawab Jojo.
     Malam harinya, mereka pun teringat dengan air ajaib yang diambil dari gua keramat itu. Mereka lalu memandangi langit, apakah malam ini rembulan menampakkan diri dari peraduannya. Tapi sepertinya malam itu belum tampak Super Moon.
     Dua minggu setelah mereka mengambil air di gua keramat dan pada malam harinya terjadilah bulan purnama (Super Moon) dengan bulatan besar yang sempurna. Shinta dan Jojo pun teringat dengan air ajaib yang belum sempat mereka minum. Mereka juga masih ingat pesan Mbah Marijan, penunggu gua keramat. Bahwa air itu harus diminum pada saat bulan purnama. Lalu mereka bergegas mengambil air ajaib itu dan segera meminumnya. Namun waktu itu belum tampak perubahan pada wajah kedua gadis buruk rupa tersebut.
     Mentari pagi datang menggantikan rembulan malam, ia menampakkan diri dari persembunyiannya di balik bukit. Shinta Jojo akhirnya terbangun dari tidurnya setelah terdengar bunyi kokok ayam jantan yang bertaluh-taluh. Di saat mata Jojo sudah melek, ia memandangi wajah Shinta yang tidur disampingnya.
“Shinta, bangun… bangun… wajah kamu sudah berubah…,” ucap Jojo kaget.
“Oaaahmm… ada apa sih, bangunin aku pagi-pagi gini,” jawab Shinta yang tampak masih mengantuk.
“Lihat! Lihat! Wajah kamu tidak jelek lagi, Shin..!!” kata Jojo.
“Apaaa! Wajah kamu juga tidak buruk rupa lagi Jo,” pungkas Shinta yang tersentak dari tidurnya karena kaget melihat wajah Jojo yang juga telah berubah jadi cantik jelita. “Hei Jo, ternyata air ajaib ini benar-benar manjur, ya! Sekarang kita sudah berubah menjadi wanita tercantik di desa ini,” lanjut Shinta.
     “Iya, kita nggak usah minder lagi bergaul dengan orang-orang kampung,” ujar Jojo.
     Mendengar adanya suara gaduh di kamar anaknya, Sartiyem ibu Shinta dan Jojo terbangun dan hendak melihat keadaan anaknya di kamar.
“Ada apa nih, pagi-pagi udah berisik amat?” kata Sartiyem.
“Nggak ada apa-apa kok, Ma,” ucap Shinta dari balik kamar.
Setelah membuka pintu kamar, alangkah kagetnya Sartiyem melihat wajah kedua anaknya yang sudah tampak cantik.
     “Astaga! Anak kembarku berubah menjadi putri jelita, apa saya tidak salah lihat! Apakah ini benar anak-anakku,” teriak ibunya kaget.
     “Tidak, Ma! Emak tidak salah lihat. Dan ini Shinta dan Jojo, anak Emak!” jawab Jojo.
     “Pak! Pak! Kemari dulu lihat apa yang terjadi pada kedua anakmu!” teriak Sartiyem memanggil Paijo, ayahanda Shinta dan Jojo.
     “Astagfirullah! Anakku sudah sembuh dari penyakitnya, kalian berobat di mana sehingga bisa jadi cantik seperti ini?” tanya ayahnya.
     “Aku juga nggak tahu Yah, soalnya tadi malam kami masih jelek tapi pagi harinya sudah berubah jadi begini,” jawab Shinta Jojo.
     “Mungkin ini anugerah dari Tuhan, Pak! Tuhan telah mencabut penyakit yang diderita anak kita. Kita harus mensyukuri karunia ini, Pak!” jawab Sartiyem.
     Setelah sembuh dengan penyakit kulitnya, Shinta Jojo pun menjadi bahan perbincangan warga desa dan menjadi idola serta dikagumi oleh pemuda-pemuda desa yang melihat kecantikan kedua gadis buruk rupa ini.
     Suatu ketika, Shinta dan Jojo berdua pergi ke pasar untuk menjual kayu bakar. Di tengah keramaian pasar mereka agak sedikit terganggu dengan dua orang pemuda tampan yang kebetulan juga sedang berada di pasar. Kebetulan kedua pemuda ini sejak tadi memperhatikan kedua gadis ini. Kedua pemuda itu masih memiliki hubungan darah antara anak dan bapak, tapi mereka mengaku hanya sebatas teman kepada kedua gadis kembar tersebut.
     “Apa gerangan gadis cantik berada di pasar berdua?” tanya pemuda yang masih muda.
     “Tidak ada, hanya sekedar jualin kayu bakar dari desa, Bang,” jawab Shinta singkat.
     “Emangnya si Eneng tinggal di desa mana?” tanya pemuda yang agak tua.
     “Kami tinggal di desa Cangkringan, di kaki gunung sana,” jawab Shinta sambil menunjuk ke sebuah gunung yang memang tampak terlihat dari pasar desa tetangga.
     “Kalau boleh tahu, siapakah nama kalian?” tanya pemuda yang sudah separuh baya.
     “Perkenalkan, nama saya Shinta,” kata Shinta memperkenalkan diri sama pemuda yang lebih muda.
     “Nama saya Nazar,” ujar pemuda tadi.
     “Kalau nama saya Jojo,” kata Jojo kepada pemuda yang lebih tua dari pemuda pertama.
     “Namaku Udin,” kata pemuda yang lebih tua.
     Setelah perkenalan itu, mereka bergegas pergi dan pulang ke rumah masing-masing. Selang beberapa hari kemudian, Shinta dan Jojo kembali ke pasar lagi untuk menjual kayu bakarnya. Tak disangka mereka bertemu kembali dengan kedua pemuda yang mereka kenal tempo hari.
“Hai cewek, ketemu lagi nih!” sapa Nazar.
“Iya, nggak nyangka kita bakalan ketemu lagi di pasar ini,” jawab Shinta.
“Jualin kayu bakar lagi ya, Neng?” tanya Nazar.
“Iya, inilah pekerjaan saya sehari-harinya untuk menghidupi keluarga kami, Bang,” jawab Shinta.
     “Eh… ngomong-ngomong kalian lagi ngapain di sini?” tanya Jojo.
     “Oh… kebetulan kami juga jualan di pasar ini,” jawab Udin yang tertarik sama Jojo.
     “Kalau boleh tahu, Abang ini jualan apa ya?” tanyanya.
     “Kami menjual buah-buahan hasil dari kebun. Itu kios kami dan sudah mau kami tutup,” jawab Udin sambil menunjuk ke arah dagangannya.
     “Eh… nanti pas pasar bubaran kita pulang bareng ya, kebetulan rumah kami juga berada di kaki bukit sana,”  ajak Nazar.
     “Berarti kita searah, dong! Kalau gitu kita pulang bareng- bareng aja, biar ramai,” jawab Shinta senang.
     Suasana pasar hari itu sudah tampak sunyi dan semua penjual bergegas untuk pulang. Mereka lalu pulang bersama melewati jalan setapak pegunungan yang pemandangannya masih tampak alami dengan udara yang sejuk. Tak dirasa hari itu mereka terkesan sangat akrab antara satu sama lain. Nazar yang tertarik sama Shinta saling berpegangan tangan selama di perjalanan, sedangkan Udin dengan Jojo juga tampak mesra sekali.
     Jauhnya perjalanan membuat mereka kelelahan dan hendak istirahat sambil mencurahkan perasaan pada pasangan masing-masing. Nazar dan Shinta memutuskan memilih posisi istirahat di pematang sawah petani yang sawahnya tampak indah karena terletak di tebing dengan sawah yang bertingkat-tingkat (terasering), sedangkan Udin dan Jojo memilih beristirahat di bawah pohon beringin besar yang daunnya sangat lebat dan menghembuskan semilir angin sepoi-sepoi.
     Mereka tampak mesra dengan pasangannya. Tapi entah setan apa yang membuat mereka khilaf (lupa diri). Di saat lagi asyik bermesraan, Shinta dan Jojo sepertinya lupa dengan pesan Mbah Marijan, penunggu gua keramat itu. Shinta tergoda dengan rayuan gombal Nazar, hingga melanggar janjinya berduaan dengan lelaki yang bukan mahramnya. Dan keanehan pun tiba-tiba terjadi,  kedua pasangan itu dalam sekejap berubah menjadi sepasang Keong Racun yang akan menjadi penghuni sawah untuk selama-lamanya.
     Sedangkan Jojo dan Udin yang lagi asyik pacaran di bawah pohon beringin juga lupa diri, sehingga ia melakukan pacaran terlarang. Mereka pun berubah menjadi sepasang Tokek Belang karena warnanya yang agak belang dan menjadi penghuni pohon beringin tersebut.
     Mengetahui kedua anak kesayangannya tidak pulang-pulang, orang tua Shinta Jojo pun bersedih. Sudah tiga bulan anaknya tidak kembali ke rumah. Tubuh Paijo dan Sartiyem menjadi kurus kering karena jarang makan, sebab selalu memikirkan nasib kedua anak kembarnya yang tidak diketahui rimbanya. Mereka tidak mengetahui bahwa kedua anaknya itu sudah menjadi penghuni sawah dan pohon beringin. Karena telah dikutuk menjadi Keong Racun dan Tokek Belang akibat melanggar sumpah yang sudah disepakati dengan Mbah Marijan, penunggu gua keramat.
     Setiap melihat kedua orang tuanya melintas di pematang sawah dekat pohon beringin, Shinta dan Jojo yang sudah berubah menjadi Keong Racun dan Tokek Belang selalu menangis dan berteriak memanggil orang tuanya.
     “Bapaaak….! Ibuu…..! Tolongin kami. Ini Shinta dan Jojo, anak Ibu dan Bapak!” teriak Shinta dari balik tanaman padi dan Jojo di atas pohon beringin.
     Tapi apa daya teriakan mereka tidak terdengar oleh bapak ibunya karena mereka sudah jadi binatang yang terkutuk.
***************
Pesan Moral : Hikmah dari cerita ini, bahwa orang yang melanggar sumpah atau ingkar janji itu akan mendapatkan keburukan hidup, apalagi jika sepasang muda-mudi yang bukan muhrimnya berduaan di tempat sepi (Pacaran Terlarang) karena yang ketiganya adalah setan, apalagi dilarang oleh adat dan agama karena merupakan dosa besar.

Cerita ini selesai ditulis di Kota Pinrang, Sulsel tanggal 26 Oktober 2010

Baca kisah selengkapnya di sini KEONG RACUN DAN TOKEK BELANG 2

Tidak ada komentar: