SERI CERITA DONGENG
(EDISI REVISI)
SATU :
KEONG RACUN DAN TOKEK BELANG
Part 1. Terkena kutukan
Karya : La Dawan Piazza
Konon, cerita ini berawal dari Cangkringan,
sebuah desa terpencil di Klaten, Yogyakarta yang tidak ada akses jalan untuk
menjangkaunya. Karena daerah ini terletak di antara dua buah gunung yang hanya
bisa dilalui dengan berjalan kaki melewati jalan setapak. Waktu itu hiduplah
sepasang suami istri miskin, bernama Paijo dan Sartiyem. Mereka ditemani oleh
dua orang anak kembarnya yang bernama Shinta dan Jojo.
Kedua anak kembar ini sejak dilahirkan
sudah mengalami kelainan genetik pada kulitnya, sehingga tampak terlihat
seperti gadis buruk rupa. Mereka termasuk gadis yang tidak mau bergaul dengan
warga sekitar gara-gara sering dihina oleh orang sekampung. Soalnya penampilan
kedua gadis ini kurang menarik akibat penyakit kulit yang dideritanya.
Sehari-hari Paijo berprofesi sebagai petani
di desanya, sedangkan istri dan kedua anaknya bekerja mengumpulkan kayu bakar
di hutan untuk dijual ke pasar. Maklum, pekerjaan utama di desa ini adalah
petani dan pengumpul kayu bakar.
Suatu ketika Shinta dan Jojo pergi ke hutan
untuk mencari kayu bakar. Saat mereka berada di tengah hutan lalu turun hujan
yang sangat deras. Mereka pun memutuskan untuk mencari tempat berteduh. Shinta
Jojo berlarian sambil menutup kepalanya dengan dedaunan agar tidak basah.
Setelah sekian lama berlari mencari tempat berteduh, lalu Jojo berkata “Shinta,
sepertinya di sana ada gua, ayo kita ke sana berteduh, yuk!” ajak Jojo sambil
menunjuk gua yang dimaksud.
“Ayolah kalau begitu, buruan larinya nanti
pakaianku basah semua, nih!” seru Shinta.
Mereka berlari-lari kecil menghindari
rintik-rintik hujan yang semakin deras menuju gua tersebut dalam kondisi baju
setengah basah kuyup. Saat mereka masuk ke gua itu, terlihatlah cahaya yang
terang benderang dari dasar gua. Rupanya kondisi lorong-lorong gua tersebut
semakin Anda masuk, maka semakin menjorok ke dalam perut bumi.
“Jojo, cahaya apakah itu yang tampak dari
dalam gua?” tanya Shinta.
“Saya juga kurang tahu, Jo. Gimana kalau
kita lihat saja ke sana,” jawab Jojo.
Sesampainya ke sumber cahaya tadi, mereka
menemukan sebuah kolam berisi air yang mengeluarkan cahaya berkilauan.
“Darimanakah asal cahaya yang berada
dipermukaan air ini?” gumam Jojo keheranan.
Belum hilang rasa penasarannya, tiba-tiba
muncullah mahluk astral (gaib)
menyerupai sosok lelaki tua berjenggot putih memakai blankon Jawa dan
jenggotnya panjang menyentuh tanah dari balik dinding gua.
“Ho… ho… ho… “ tawa lelaki tua itu. “Hai,
Anakku. Ada apa kalian datang kemari?”
tanyanya.
“Kami kemari hanya menumpang berteduh dari
hujan, Mbah!” seru Shinta dan Jojo serentak.
“Tapi Mbah ini siapa, ya?” tanya Shinta
ketakutan.
“Namaku Mbah Marijan, penunggu gua keramat
ini,” jawab lelaki tua itu.
“Ta… ta… ta… pi tadi Mbah muncul dari balik
batu itu, gimana caranya?” tanya Jojo gemetaran.
“Jangan takut, Anakku! Mbah ini bukan orang
jahat, Mbah bisa membantu segala kesulitan kalian dan Mbah juga tahu masalah
apa yang sedang kalian alami, Anakku. Kalian ini kan, merasa minder dalam
pergaulan dan dikucilkan oleh warga,” kata Mbah Marijan.
“Iya, Mbah! Tapi
bagaimana Mbah bisa mengetahui semua masalah kami?” tanya Shinta. “Ketahuilah
wahai Anakku, Mbah ini mampu mengetahui setiap permasalahan setiap manusia yang
masuk ke dalam gua keramat ini. Oleh sebab itu Mbah bisa tahu semua masalah
kalian. Tapi jangan khawatir, Mbah bisa membantu kalian,” jawab Mbah Marijan.
“Mbah bisa membantu kami menghilangkan
kulitku yang buruk rupa ini?” ujar Jojo.
“Iya, Anakku. Basuhlah kedua wajah kalian
dan siramkan air kolam itu ke seluruh tubuh kalian. Kemudian ambil
masing-masing satu kendi airnya dan minumlah air itu sesampainya di rumah,
tepat pada saat terjadinya Super Moon
(bulan purnama sempurna),” ujar Mbah Marijan.
“Penyakit kulit yang kalian derita akan
hilang dalam sekejap dan kalian akan menjadi wanita tercantik di desa
Pamarayang,” lanjut Mbah Marijan.
“Benarkah itu, Mbah?” ucap Shinta
berseri-seri.
“Benar, Anakku. Tetapi ada syarat yang
kalian harus patuhi dan itu tidak boleh dilanggar apalagi dikhianati!” kata
Mbah Marijan.
“Syaratnya itu apa, Mbah!” kata Jojo.
“Syaratnya kamu tidak boleh berduaan dengan
laki-laki yang bukan mahrammu. Hanya lelaki yang setia dan mencintai kamu apa
adanya yang boleh berjodoh dengan kalian. Jika syarat ini dilanggar, kalian dan
lelaki itu akan aku kutuk menjadi seekor binatang. Dan kutukan itu baru bisa
lepas jika ada orang yang menemukan kalian dan bersedia menerima kamu apa
adanya. Orang itulah yang mampu membebaskan kutukan itu,” pesan Mbah Marijan.
“Iya, Mbah kami akan selalu ingat
pesan-pesannya!” janji Shinta dan Jojo serentak.
Setelah mendapatkan petuah dari Mbah
Marijan, mereka berdua bergegas pergi dari gua keramat itu dengan membawa dua
buah kendi yang berisi air dari kolam bercahaya tadi. Mereka berjalan di tengah
hutan belantara dengan penuh rasa was-was, takut diganggu oleh binatang buas
yang banyak terdapat di hutan itu.
Sesampainya mereka di rumah, Shinta berkata
pada Jojo. “Jo, jangan bilang siapa-siapa ya, tentang keberadaan gua keramat
itu. Cukup kita berdua saja yang tahu, bahkan kedua orang tua kita pun tidak
boleh tahu.”
“Iya Mbak, kita memang harus rahasiakan
kejadian ini,” jawab Jojo.
Malam harinya, mereka pun teringat dengan
air ajaib yang diambil dari gua keramat itu. Mereka lalu memandangi langit,
apakah malam ini rembulan menampakkan diri dari peraduannya. Tapi sepertinya
malam itu belum tampak Super Moon.
Dua minggu setelah mereka mengambil air di
gua keramat dan pada malam harinya terjadilah bulan purnama (Super Moon) dengan bulatan besar yang
sempurna. Shinta dan Jojo pun teringat dengan air ajaib yang belum sempat
mereka minum. Mereka juga masih ingat pesan Mbah Marijan, penunggu gua keramat.
Bahwa air itu harus diminum pada saat bulan purnama. Lalu mereka bergegas
mengambil air ajaib itu dan segera meminumnya. Namun waktu itu belum tampak
perubahan pada wajah kedua gadis buruk rupa tersebut.
Mentari pagi datang menggantikan rembulan
malam, ia menampakkan diri dari persembunyiannya di balik bukit. Shinta Jojo
akhirnya terbangun dari tidurnya setelah terdengar bunyi kokok ayam jantan yang
bertaluh-taluh. Di saat mata Jojo sudah melek, ia memandangi wajah Shinta yang
tidur disampingnya.
“Shinta, bangun… bangun…
wajah kamu sudah berubah…,” ucap Jojo kaget.
“Oaaahmm… ada apa sih,
bangunin aku pagi-pagi gini,” jawab Shinta yang tampak masih mengantuk.
“Lihat! Lihat! Wajah
kamu tidak jelek lagi, Shin..!!” kata Jojo.
“Apaaa! Wajah kamu juga
tidak buruk rupa lagi Jo,” pungkas Shinta yang tersentak dari tidurnya karena
kaget melihat wajah Jojo yang juga telah berubah jadi cantik jelita. “Hei Jo,
ternyata air ajaib ini benar-benar manjur, ya! Sekarang kita sudah berubah
menjadi wanita tercantik di desa ini,” lanjut Shinta.
“Iya, kita nggak usah minder lagi bergaul
dengan orang-orang kampung,” ujar Jojo.
Mendengar adanya suara gaduh di kamar
anaknya, Sartiyem ibu Shinta dan Jojo terbangun dan hendak melihat keadaan
anaknya di kamar.
“Ada apa nih, pagi-pagi
udah berisik amat?” kata Sartiyem.
“Nggak ada apa-apa kok,
Ma,” ucap Shinta dari balik kamar.
Setelah
membuka pintu kamar, alangkah kagetnya Sartiyem melihat wajah kedua anaknya
yang sudah tampak cantik.
“Astaga! Anak kembarku berubah menjadi
putri jelita, apa saya tidak salah lihat! Apakah ini benar anak-anakku,” teriak
ibunya kaget.
“Tidak, Ma! Emak tidak salah lihat. Dan ini
Shinta dan Jojo, anak Emak!” jawab Jojo.
“Pak! Pak! Kemari dulu lihat apa yang
terjadi pada kedua anakmu!” teriak Sartiyem memanggil Paijo, ayahanda Shinta
dan Jojo.
“Astagfirullah! Anakku sudah sembuh dari
penyakitnya, kalian berobat di mana sehingga bisa jadi cantik seperti ini?”
tanya ayahnya.
“Aku juga nggak tahu Yah, soalnya tadi
malam kami masih jelek tapi pagi harinya sudah berubah jadi begini,” jawab
Shinta Jojo.
“Mungkin ini anugerah dari Tuhan, Pak!
Tuhan telah mencabut penyakit yang diderita anak kita. Kita harus mensyukuri
karunia ini, Pak!” jawab Sartiyem.
Setelah sembuh dengan penyakit kulitnya,
Shinta Jojo pun menjadi bahan perbincangan warga desa dan menjadi idola serta
dikagumi oleh pemuda-pemuda desa yang melihat kecantikan kedua gadis buruk rupa
ini.
Suatu ketika, Shinta dan Jojo berdua pergi
ke pasar untuk menjual kayu bakar. Di tengah keramaian pasar mereka agak sedikit
terganggu dengan dua orang pemuda tampan yang kebetulan juga sedang berada di
pasar. Kebetulan kedua pemuda ini sejak tadi memperhatikan kedua gadis ini.
Kedua pemuda itu masih memiliki hubungan darah antara anak dan bapak, tapi
mereka mengaku hanya sebatas teman kepada kedua gadis kembar tersebut.
“Apa gerangan gadis cantik berada di pasar
berdua?” tanya pemuda yang masih muda.
“Tidak ada, hanya sekedar jualin kayu bakar
dari desa, Bang,” jawab Shinta singkat.
“Emangnya si Eneng tinggal di desa mana?”
tanya pemuda yang agak tua.
“Kami tinggal di desa Cangkringan, di kaki
gunung sana,” jawab Shinta sambil menunjuk ke sebuah gunung yang memang tampak
terlihat dari pasar desa tetangga.
“Kalau boleh tahu, siapakah nama kalian?”
tanya pemuda yang sudah separuh baya.
“Perkenalkan, nama saya Shinta,” kata
Shinta memperkenalkan diri sama pemuda yang lebih muda.
“Nama saya Nazar,” ujar pemuda tadi.
“Kalau nama saya Jojo,” kata Jojo kepada
pemuda yang lebih tua dari pemuda pertama.
“Namaku Udin,” kata pemuda yang lebih tua.
Setelah perkenalan itu, mereka bergegas
pergi dan pulang ke rumah masing-masing. Selang beberapa hari kemudian, Shinta
dan Jojo kembali ke pasar lagi untuk menjual kayu bakarnya. Tak disangka mereka
bertemu kembali dengan kedua pemuda yang mereka kenal tempo hari.
“Hai cewek, ketemu lagi
nih!” sapa Nazar.
“Iya, nggak nyangka kita
bakalan ketemu lagi di pasar ini,” jawab Shinta.
“Jualin kayu bakar lagi
ya, Neng?” tanya Nazar.
“Iya, inilah pekerjaan
saya sehari-harinya untuk menghidupi keluarga kami, Bang,” jawab Shinta.
“Eh… ngomong-ngomong kalian lagi ngapain di
sini?” tanya Jojo.
“Oh… kebetulan kami juga jualan di pasar
ini,” jawab Udin yang tertarik sama Jojo.
“Kalau boleh tahu, Abang ini jualan apa
ya?” tanyanya.
“Kami menjual buah-buahan hasil dari kebun.
Itu kios kami dan sudah mau kami tutup,” jawab Udin sambil menunjuk ke arah
dagangannya.
“Eh… nanti pas pasar bubaran kita pulang
bareng ya, kebetulan rumah kami juga berada di kaki bukit sana,” ajak Nazar.
“Berarti kita searah, dong! Kalau gitu kita
pulang bareng- bareng aja, biar ramai,” jawab Shinta senang.
Suasana pasar hari itu sudah tampak sunyi
dan semua penjual bergegas untuk pulang. Mereka lalu pulang bersama melewati
jalan setapak pegunungan yang pemandangannya masih tampak alami dengan udara
yang sejuk. Tak dirasa hari itu mereka terkesan sangat akrab antara satu sama
lain. Nazar yang tertarik sama Shinta saling berpegangan tangan selama di
perjalanan, sedangkan Udin dengan Jojo juga tampak mesra sekali.
Jauhnya perjalanan membuat mereka kelelahan
dan hendak istirahat sambil mencurahkan perasaan pada pasangan masing-masing.
Nazar dan Shinta memutuskan memilih posisi istirahat di pematang sawah petani
yang sawahnya tampak indah karena terletak di tebing dengan sawah yang
bertingkat-tingkat (terasering),
sedangkan Udin dan Jojo memilih beristirahat di bawah pohon beringin besar yang
daunnya sangat lebat dan menghembuskan semilir angin sepoi-sepoi.
Mereka tampak mesra dengan pasangannya.
Tapi entah setan apa yang membuat mereka khilaf
(lupa diri). Di saat lagi asyik bermesraan, Shinta dan Jojo sepertinya lupa
dengan pesan Mbah Marijan, penunggu gua keramat itu. Shinta tergoda dengan
rayuan gombal Nazar, hingga melanggar janjinya berduaan dengan lelaki yang bukan
mahramnya. Dan keanehan pun tiba-tiba terjadi,
kedua pasangan itu dalam sekejap berubah menjadi sepasang Keong Racun
yang akan menjadi penghuni sawah untuk selama-lamanya.
Sedangkan Jojo dan Udin yang lagi asyik
pacaran di bawah pohon beringin juga lupa diri, sehingga ia melakukan pacaran
terlarang. Mereka pun berubah menjadi sepasang Tokek Belang karena warnanya
yang agak belang dan menjadi penghuni pohon beringin tersebut.
Mengetahui kedua anak kesayangannya tidak
pulang-pulang, orang tua Shinta Jojo pun bersedih. Sudah tiga bulan anaknya
tidak kembali ke rumah. Tubuh Paijo dan Sartiyem menjadi kurus kering karena
jarang makan, sebab selalu memikirkan nasib kedua anak kembarnya yang tidak
diketahui rimbanya. Mereka tidak mengetahui bahwa kedua anaknya itu sudah
menjadi penghuni sawah dan pohon beringin. Karena telah dikutuk menjadi Keong
Racun dan Tokek Belang akibat melanggar sumpah yang sudah disepakati dengan
Mbah Marijan, penunggu gua keramat.
Setiap melihat kedua orang tuanya melintas
di pematang sawah dekat pohon beringin, Shinta dan Jojo yang sudah berubah
menjadi Keong Racun dan Tokek Belang selalu menangis dan berteriak memanggil
orang tuanya.
“Bapaaak….! Ibuu…..! Tolongin kami. Ini
Shinta dan Jojo, anak Ibu dan Bapak!” teriak Shinta dari balik tanaman padi dan
Jojo di atas pohon beringin.
Tapi apa daya teriakan mereka tidak
terdengar oleh bapak ibunya karena mereka sudah jadi binatang yang terkutuk.
***************
Pesan Moral : Hikmah dari cerita ini, bahwa orang yang
melanggar sumpah atau ingkar janji itu akan mendapatkan keburukan hidup,
apalagi jika sepasang muda-mudi yang bukan muhrimnya berduaan di tempat sepi (Pacaran Terlarang) karena yang ketiganya
adalah setan, apalagi dilarang oleh adat dan agama karena merupakan dosa besar.
Cerita
ini selesai ditulis di Kota Pinrang, Sulsel tanggal 26 Oktober 2010
Baca kisah selengkapnya di sini KEONG RACUN DAN TOKEK BELANG 2
Tidak ada komentar:
Posting Komentar