Selasa, 30 Oktober 2012

Undangan Berpartisipasi Dalam Ubud Writers & Readers Festival ( UWRF) 2013


Undangan Berpartisipasi Dalam Ubud Writers & Readers Festival ( UWRF) 2013

Pecinta sastra Indonesia,

Ubud Writers & Readers Festival kembali membuka seleksi karya untuk festival 2-6 Oktober  2013.

UWRF akan memilih 15 penulis emerging Indonesia yang kehadiran serta partisipasinya di festival akan didanai oleh UWRF dan lembaga funding mitra Hivos.

Pemilihan akan didasari pada sejumlah kriteria, termasuk kualitas karya, prestasi dan konsistensi dalam berkarya, serta dedikasi pada pengembangan kesusastraan Indonesia.
Seleksi dilakukan oleh Dewan Kurator yang beranggotakan penulis-penulis senior Indonesia.

Kegiatan festival meliputi: Panel Diskusi, pembacaan karya, lokakarya, peluncuran buku, pementasan seni, serta beberapa acara satellite yang diadakan di beberapa kota di Indonesia.

Bila Anda adalah penulis Indonesia, atau mengenal penulis yang Anda anggap layak, layangkan pendaftaran sesuai syarat dan ketentuan di bawah ini:
  • Penulis adalah warga negara Indonesia ( menyertakan fotokopi KTP)
  • Menulis karya sastra, baik berupa puisi, prosa ( cerpen, novel atau novelet), naskah drama maupun karya non- fiksi.
  • Karya dapat berupa buku, kumpulan naskah yang belum ataupun sudah pernah diterbitkan di media massa.
  • Penulis yang sudah menerbitkan buku silahkan mengirimkan beberapa buku karyanya.
  • Bagi penulis yang belum menerbitkan buku dipersilahkan mengirimkan 30 karya puisi terbaik atau 8 karya cerpen terbaik, atau 5 karya essai, atau 3 naskah drama dengan dijilid.
  • Karya dapat juga dikirimkan melalui email dan panitia akan meminta hardcopy jika diperlukan.
  • Sertakan biodata diri, nomor kontak / HP dan alamat email dengan jelas. Silahkan melampirkan tentang aktivitas sastra dan keterlibatan dalam komunitas yang diikuti. Apabila anda menggunakan nama pena, mohon sertakan juga nama lengkap yang asli.
  • Koresponden dan pengumuman seleski akan dilakukan melalui Email.

Kirim ke sekretariat panitia UWRF paling lambat tanggal 30 Januari 2013  (cap pos). Pengumuman 15 penulis yang terpilih akan di umumkan pada akhir Mei 2013.

Pengiriman Aplikasi ditujukan kepada :

Kadek Purnami- Ubud Writers & Readers Festival
Jl. Raya Sanggingan Ubud - Indus Restaurant. PO Box 181, Ubud Bali 80571. Telp : 0361-7808932
Email : kadek.purnami@ubudwritersfestival.com           www.ubudwritersfestival.com

Senin, 29 Oktober 2012

Candoleng-doleng dari Bumi Ajattappareng


Tarian erotis masuk kampung, antara budaya siri (malu) dan bisnis obral selangkangan.....

Siapa bilang penyakit sosial, seperti pornoaksi hanya menjangkiti masyarakat perkotaan? Kehidupan di daerah Sulawesi Barat, Polewali Mandar pun nyaris terancam rusak akibat munculnya tarian erotis keliling kampung yang disebut candoleng-doleng

Sengatan cahaya mentari mulai redup pertanda sore telah tiba. Sekelompok anak mulai bergegas keluar dari rumahnya masing-masing. Bahagianya mereka menyambut sore dengan bermain bersama di halaman.

Canda ria penuh tawa membuat suasana semakin menyenangkan. Ada yang bermain rumah-rumahan, main ibu-ibuan, main-main kawinan bahkan ada yang bermain bola dan bersepeda keliling kampung.

Disaat temaram mulai turun menyelimuti kampung, tersiar pula kabar bahwa ada pesta pernikahan di kampung seberang, persisnya di dusun Loka Batue, Desa Aju Bissue, Kecamatan Dua Pitue, Kabupaten Sidrap. Jamilah, putri Pak Kades akan dinikahkan dengan Jamal, putra tunggal juragan beras paling tersohor dan kaya raya di kecamatan itu.

Anca dan Anci, dua saudara kembar berusia 14 tahun yang paling lebar senyumnya tatkala teringa mereka telah disusupi kabar itu. Belakangan ini anak-anak muda di kampung itu mendadak girang dan selalu menunggu ada orang yang akan segera menikah.

“Mudah-mudahan besok ada lagi gadis yang menikah di kampung kita,” celetuk Anci yang saat itu sedang membetulkan kandang ayam peliharaan ibunya. “Amin…” sambut Anca yang sibuk memandikan ayam.
“Memangnya kenapa kalau ada gadis yang menikah di kampung kita?” Tanya Ammang, sepupunya yang baru datang dari rantau, turut pula menimpali. “Wah, Mang… makanya jangan merantau terus… kita sekarang ada hiburan baru, namanya Candoleng-doleng!” sambung Anci.

Candoleng-doleng adalah istilah dalam bahasa Bugis yang artinya menggelantung atau bahasa Jawanya gondal-gandul, kembali Anci memberi penjelasan. Masyarakat Bugis dan Makassar mengenal adanya bulan baik dan bulan buruk untuk melangsungkan pesta pernikahan.

Penentuan bulan baik dan buruk tersebut berdasarkan pada perhitungan kalender Islam, atau kalender Hijriah. Bulan baik untuk melangsungkan pernikahan biasanya, jatuh pada bulan Sa’ban atau satu bulan menjelang Ramadhan, dan satu bulan setelah Ramadhan yaitu Syawal.

Ramadhan tidak dipilih sebagai bulan untuk melakukan pernikahan karena dianggap sebagai bulan yang dikhususkan untuk memperbanyak amalan baik dan beribadah. Makanya tidak heran jika sebelum dan sesudah Ramadhan, banyak ditemui pesta-pesta pernikahan.

Selain Ramadhan, bulan Zulkaidah dan Zulhijjah juga dianggap sebagai bulan yang tidak tepat untuk melangsungkan pernikahan. Alasannya karena pada saat itu banyak orang muslim yang sedang melakukan ibadah haji di Tanah Suci Mekkah. Sehingga jika melangsungkan pernikahan pada saat itu, tentu banyak keluarga yang dikhawatirkan tidak melihat acara pernikahan sanak saudaranya.

Bulan Safar, Rabiul Awal, Rabiul Akhir, adalah bulan yang juga dianggap baik untuk melaksanakan pernikahan. Seperti saat ini, bulan Juni dan Juli yang bertepatan dengan Rabiul Awal dan Rabiul Akhir, juga sangat banyak ditemui pesta pernikahan. Kepercayaan itu tentunya dianut juga di Kawasan Ajattappareng (Pare-Pare, Barru, Sidrap dan Pinrang) Sulawesi Selatan.

Hilangnya budaya siri (malu)

Sebagaimana biasanya dalam penyelenggara pesta pernikahan kerap menyuguhkan hiburan organ tunggal untuk menghibur para tamu dan undangan. Awalnya semua terlihat biasa, para biduan dan biduanita melantunkan lagu-lagu pop, lagu daerah bugis dan juga lagu-lagu dangdut.

Selang beberapa jam kemudian, ketika menjelang sore hari disaat undangan sudah mulai sepi suasana mulai berubah. Para pemuda, orang tua, anak-anak dan beberapa ibu-ibu yang mendapat posisi strategis duduk di depan panggung semakin bersemangat dengan mata yang tak berkedip seperti tidak mau kehilangan momen istimewa dari pemandangan yang sudah biasa mereka saksikan sebelumnya.

Diiringi hentakan music “house music dangdut”, tiga orang penyanyi wanita meliuk-liuk di atas panggung. Namun ada yang aneh, jarang sekali dari mulut mereka terdengar nyanyian. Di tengah pementasan mereka justru lebih sering mengumbar desahan-desahan seolah seperti sedang (maaf) berhubungan intim. Desahannya mirip Miyabi atau versi terbaru Ariel dan Luna Maya “Oh… No… No… Ah… Ah… Ah” mungkin dari kata inilah muncullah band baru yang bernama NOAH

Semakin lama goyangan mereka semakin “brutal”. Mereka berjoget-joget sambil membuka pakaian yang sebenarnya sudah terbilang mengundang syahwat itu. Menit-menit berikutnya adegan demi adegan panas mereka suguhkan. Beberapa saat kemudian beberapa biduan bahkan mengeluarkan semua pakaian yang mereka kenakan tanpa malu-malu. Para bocah-bocah usia belasan pun ikut melotot. Dan budaya siri (malu) yang dipegang teguh oleh nenek moyang masyarakat Bugis mulai terkikis perkembangan jaman.

Pemandangan itu beberapa tahun terakhir sering dijumpai di acara-acara pesta pernikahan, masyarakat setempat menyebut hiburan itu candoleng-doleng. Walaupun sudah sering ditindak oleh aparat yang berwenang, namun budaya perusak moral itu semakin lama semakin marak saja seakan tak ada jera-jeranya.

Berjuntai-juntai

Awal mula penyebutan candoleng-doleng berasal sari plesetan syair lagu penyanyi dangdut Itje Trisnawati. Dalam bahasa Indonesia, candoleng-doleng berarti berjuntai-juntai, yang dikonotasikan posisi alat kelamin pria atau (maaf) payudara.

Goyang candoleng-doleng mulai dikenal di Sidrap pada tahun 2003 lalu. Dalam sekejap, goyang erotis itu menjadi sangat pupuler karean ditampilkan secara murah meriah pada pesta kelompok pemuda tertentu.

Entah siapa awalnya yang mempopulerkan candoleng-doleng, tapi ada desas-desus yang tersebar dari mulut ke mulut bahwa yang pertama kali mempopulerkan hiburan candoleng-doleng ini adalah pemilik salah satu elekton yang tinggal di Kota Pinrang. Kabarnya dia melakukan hal tersebut karena di ceraikan oleh istrinya, dan pemilik elekton itu kesulitan keuangan makanya mereka membuat sebuah hiburan seronok buat menambah pundi-pundi keuangannnya dan untuk membalas sakit hatinya pada mantan istrinya, karena sang suami sekarang dikelilingi oleh wanita-wanita cantik penggoda iman.

Namun yang jelas wabah hiburan erotis itu, kini kerap dijumpai. Hiburan seronok yang biasanya dilakukan malam hari ini, pun kini dapat dijumpai pada siang hari.

Mengapa mereka melakukan aksi candoleng-doleng tersebut? Salah seorang artis yang berinisial AP mengungkapkan bahwa sebenarnya ia malu melakukan aksi goyang candoleng-doleng, apalagi jika mengingat anak perempuannya yang berumur 7 tahun. Tapi himpitan ekonomi yang membuat perempuan ini melakukan aksi tersebut. Diakuinya, sangat sulit mendapatkan pekerjaan yang dianggap “tidak haram” oleh masyarakat.

Beberapa waktu yang lalu, dengan berbekal ijazah Sekolah Menengah Atas (SMA) dia melamar di beberapa perusahaan di kota Makassar. Namun hingga beberapa bulanm sejak mengajukan lamaran, dia tidak pernah dihubungi oleh satu pun perusahaan untuk mengikuti tes.

Saat ditanya mengapa tidak membuka usaha sendiri? AP langsung menyela pertanyaan itu; “Membuka usaha butuh modal sama sekali. Saya juga tidak bisa mengandalkan bantuan dari keluarga, karena saya juga berasal dari keluarga tidak mampu.

Tapi menurut pendapat penulis, sebenarnya tanpa modal yang besar pun bisa membuka usaha sendiri seperti berjualan kue, makanan, jajanan tradisional dll. Masalahnya mayoritas orang Bugis gengsinya sangat tinggi sekali, apalagi kalau pekerjaannya rendahan seperti beternak ayam, bertani, dorong gerobak untuk jual bakso misalnya. Jarang sekali Anda akan menemukan orang Bugis yang melakoni pekerjaan ini, usaha kecil yang dilakoninya paling mentok buka kios, jual ikan/nelayan kalau mereka masih tinggal di kampung sendiri, kecuali orang Bugis yang tinggal di perantauan tidak akan malu melakukan pekerjaan ini. “Prinsipnya toh tidak ada yang kenal saya”.

Hal berbeda jika masih di kampung, kalau Anda lulusan sarjana misalnya terus menggeluti profesi berternak ayam, jualan kue atau bakso pasti Anda akan dicemooh oleh beberapa orang keluarga dan orang-orang sekitarnya. Masak sarjana kerjanya cuma begitu, toh itu kan pekerjaan halal memang kenapa kalau sarjana berwirausaha seperti perternak ayam misalnya. Bagaimana dengan lulusan sarjana peternakan, pertanian, perkebunan yang seharusnya dapat melakukan pekerjaan ini sesuai dengan ilmu yang di dapat di kampus. Hitung-hitung bisa jadi dokter hewan, ahli pertanian yang bisa menemukan varietas bibit unggul.

Belum lagi kalau perempuan biasanya gengsinya paling tinggi, tidak mau kalau bajunya bukan barang bermerek made in Amerika, Made In Italia, bedak dan gincunya harus Made In Amerika dengan harga selangit, apalagi perhiasan emas biasanya di pamer mulai dari tangan sampai siku dan kalungnya ukurannya besar seperti pelek sepeda.

Bedak dan gincunya tebalnya 5 cm dan hal itu basanya dapat dengan mudah dijumpai pada saat pesta pernikahan atau acara-acara tertentu. Prinsipnya “BIAR MISKIN ASAL PENAMPILAN” hahahaha. Makanya banyak yang malu melakukan pekerjaan rendahan seperti jualan kue, padahal pekerjaan sebagai artis candoleng-doleng lebih memalukan dan lebih murahan, dan derajatnya sama dengan kotoran babi.

Meski terhimpit oleh masalah ekonomi, AP mengaku selama menjadi artis elekton, dia tidak pernah menerima tawaran untuk berkencan dengan penontonnya, meskipun dengana bayaran yang mahal. “Goyang candoleng-doleng dianggap bertentangan dengan agama, saya tidak mau lagi menambah dosa dengan menerima tawaran berkencan dengan penonton saya,” katanya dengan lirih.

Untuk tampil dalam satu pesta semalam suntuk atau sehari suntuk, mereka hanya mendapatkan bayaran paling tinggi 70 ribu rupiah. Upah tersebut memang sangat murah, karena untuk menyewa peralatan elekton, lengkap dengan artis dan playernya hanya dibutuhkan uang sekurang-kurangnya 700 ribu rupiah.

Pemilik elekton tentu membagi uang tersebut untuk membayar artis yang biasanya berjumlah tidak kurang dari enam orang, ditambah lagi player, dan tehnisi peralatan elekton, dan tentunya biaya sewa atas peralatan elekton.

Oleh karena itu jika “musim pernikahan” tiba, itu dianggap sebagai rezeki yang sangat melimpah oleh para artis elekton. Betapa tidak, pada saat itu mereka tentunya akan semakin sibuk karena kebanjiran order manggung di beberapa pesta.

Jika aksi goyang candoleng-doleng dikaitkan dengan persoalan ekonomi,maka sangat sulit mengambil kesimpulan jika artis elekton tetap melakukan pekerjaan yang dianggap “haram” tersebut oleh masyarakat dan ulama.

Karena persoalan ekonomi sangat sistematis. Dimulai dari kondisi Negara yang memang tidak stabil atau mengalami krisis, ditambah dengan pemerintah yang kurang mampu menyediakan lapangan pekerjaan bagi rakyatnya, akhirnya bermuara pada tingkat kesejahteraan rakyat yang sangat rendah.

Kalau kondisinya sudah demikian, maka masyarakat akan melakukan apa saja untuk mempertahankan hidupnya dan keluarganya. Termasuk bergoyang candoleng-doleng seperti yang dilakukan oleh artis elekton.

Sulit diberantas

Mengapa tarian candoleng-candoleng itu sulit dihilangkan atau diberantas oleh pihak kepolisian. Menurut pengamatan penulis saat berkunjung ke pesta pernikahan salah seorang teman di desa Lampoko, Kecamatan Balusu Kab. Barru Sulsel pada awal tahun 2010 lalu, ternyata yang melindungi acara musik candoleng-doleng aparat kepolisian itu sendiri karena mereka dibayar oleh yang punya hajatan.

Waktu itu saya ingin merekam tarian candoleng-doleng itu menggunakan Handycam yang sering kubawa-bawa kemana pun saya pergi. Polisi itu menegur saya “Dek, shooting saja yang penting jangan shooting saya dan polisi di sini lagi menonton candoleng-doleng, tidak enak nanti naliatki boska”. Ternyata mereka takut kena sorot kamera karena ketiga polisi yang jaga di pesta itu mengenakan seragam polisi lengkap, bukan pakaian preman. Mereka kira aku wartawan kali jadi mereka takut masuk acara Infotainment. Hahahaha… (Emangnya artis kaleeee…..)

Ini adalah cuplikan video candoleng-doleng yang saya ambil menggunakan handycam sendiri, maaf bagian adegan vulgar dan buka-buka pakaiannya saya potong habis karena terlalu vulgar dan takut video tersebut di hapus dari youtube karena mengandung konten pornografi. Jadi hanya goyangan erotisnya saja yang saya tonjolkan, silahkan bayangkan sendiri jika artis dalam video tersebut melepaskan pakaiannya satu persatu mulai dari baju, beha, hingga celana dalam (Selamat Menghayal).


 Bahkan ada adegan bapak-bapak dan kakek-kakek sedang isap payudara dan pegang-pegang payudara serta dicium-cium oleh artis biduan tersebut, asalkan mau bayar 50 ribu, Anda bebas sesuka hait memegang barang para biduan tersebut sepuasnya mulai dari payudara hingga selangkangan.


Banyak orang yang penasaran dan belum tahu tentang tarian candoleng-doleng, terutama orang luar Sulawesi Selatan dan kebetulan saya berada di Kota Kupang NTT serta membawa beberapa video candoleng-doleng. Memperlihatkannya pada teman dan kenalan yang ada di sini dan semua orang yang habis nonton video candoleng-doleng di Kota Kupang NTT ini, semuanya mengatakan “Nona di sana Puki Mai, Ke’ Babi, Ke’ Anjing, Ke’ Sapi, Ke’ Tai pada suka obral No’o”. Sekedar info No’o dalam bahasa Kupang artinya alat kelamin wanita. Tapi sudahlah bahasa diatas adalah bahasa sehari-hari di sini dan sudah menjadi bahasa gaul ala Kota Kupang. hehehehe

Dan ada teman-teman bilang seandainya di Kupang sini ada tarian begitu sudah hancur itu nona-nona Bugis di salome (Satu lobang rame-rame) sama pemuda di sini. Apalagi kalau pemuda sini lagi habis pesta minuman tuak Sofi saat ada acara pesta pernikahan, bisa tambah parah tuh nona!.

Dan saya selaku orang Bugis merasa malu dengan tarian candoleng-doleng ini, apalagi pandangan sinis orang-orang diluar suku Bugis yang menganggap murahan gadis-gadis di sana. Bukankah budaya Bugis sangat menjunjung tinggi budaya siri (malu), dan gadis-gadisnya juga mahal-mahal bukan murahan, karena kalau mau melamar gadis Bugis mesti dibutuhkan doe pannaik (uang mahar) minimal 50 juta rupiah.

Ini sebenarnya seperti terkena hukum karma, karena pandangan beberapa orang tua jaman dahulu yang melarang para pemuda Bugis menikahi Gadis Jawa karena maharnya yang murah dan mereka menganggap Gadis Jawa itu murahan karena uang maharnya hanya senilai uang penutup malu (aib) gadis Bugis yang lagi hamil duluan (misal cuma 1 juta red). Justru pandangan orang luar dari suku Bugis juga berpandangan lain dan menganggap Gadis Bugis murahan sehabis menonton video candoleng-doleng tersebut.

Padahal tidak semuanya begitu, hanya beberapa oknum saja yang terlibat, begitu pula dengan orang Jawa tidak semua gadis Jawa itu murahan dan suka selingkuh hanya gara-gara uang maharnya sedikit. Karena banyak juga orang Jawa yang iman dan aqidahnya kuat walaupun uang maharnya sedikit, karena itu memang sudah sesuai dengan budaya Islam dan budaya Jawa. Dalam pernikahan Jawa masing-masing keluarga mempelai yang menanggung sendiri biaya pernikahannya masing-masing.

Kalau di daerah Bugis yang menanggung biaya pernikahan mempelai wanita yaitu mempelai laki-laki, makanya uang maharnya mahal bahkan ada yang sampai 1 milyar. Apalagi kalau gadis tersebut bersatus sarjana, haji dan keturunan bangsawan yang bergelar “Andi”. Karena memikirkan biaya sewa tenda dan kursi, sewa gedung atau sarapo, biaya satu ekor sapi dan berbagai bahan makanan, mendatangkan artis sekelas 3 Diva atau yang murah meriah tarian candoleng-doleng pengumbar syahwat.






Sabtu, 27 Oktober 2012

Gadis Berjilbab Rela Jadi Pemulung



Ming Ming Sari Nuryanti
Demi Bayar Kuliah
Gadis Berjilbab Rela Jadi Pemulung

Dulu saya berangkat ke kampus dari rumah di Rumpin, Bogor,” kata mahasiswi Universitas Pamulang Jurusan Akuntansi. Dalam jarak tak kurang 10 km yang menghabiskan waktu hingga 3 jam itulah ia kerap sambil bekerja, memulung bekas gelas atau botol air mineral maupun kemasan bekas susu formula. Pekerjaan yang dilakoninya sejak tahun 2004, saat ia duduk di bangku kelas satu SMA Negeri 1 Rumpin, Bogor.

Dua bulan belakangan gadis yang bernama Ming Ming Sari Nuryanti yang akrab dipanggil Muna ini tinggal bersama teman-teman kampusnya di sekretariat UKM Muslim yang terletak di belakang kawasan kampus Umpam. Orang tua, terutama ayahnya, Syaepuddin (45) akhirnya mengijinkan Muna tinggal bersama teman-teman karena efektivitas waktu.

Sampai saat ini, aktivitas memulung Muna memang masih berjalan meski tidak seaktif biasanya karena ia harus kuliah dan mengerjakan tugas-tugas kuliah. Semenjak tinggal di UKM Muslim beberapa temannya bahkan membantu dengan mengumpulkan gelas dan botol bekas air mineral selepas ada kegiatan kampus.




Sebelumnya, Muna telah menjalani aktivitas memulung sejak kelas satu SMA, tahun 2004. Ayahnya bekerja di tempat bowling di kawasan Ancol sebagai pemungut bola dan membawa perlengkapan pengunjung.

Lepas SMP, Muna sadar bahwa keluarganya sedang dalam taraf “paceklik”, pengunjung bowling sepi hingga penghasilan sang Ayah menipis. Saat itulah, salah seorang teman ayahnya mengatakan bahwa gelas dan botol air mineral bekas dapat menghasilkan uang.

Maka mulailah Muna sekeluarga memulung untuk kemudian dijual ke pengepul.

“Awalnya minder pas pertama kali mau terjun buat mulung, shock gitu lah. Seiring dengan perjalanan waktu akhirnya ada kesadaran bahwa islam tidak mengajarkan kita untuk minder dan menangisi nasib, kita harus sabar dan tawadhu, dijalani dengan senang hati semangat semuanya dilakukan dengan niat karena Allah,” kata gadis yang sudah aktif di Rohis sejak SMA ini.

Bukan hal yang mudah bagi anak SMA untuk menjalani profesi sebagai pemulung. Di saat ABG lain sedang berlomba menampilkan sisi lain menarik dari diri mereka. “Pernah ketemu teman satu sekolah pas lagi mulung. Tadinya saya mau menyapa duluan tapi dia langsung kabur, mungkin shock melihat temannya dalam kondisi ini. Mungkin dia belum pernah ketemu sama temannya yang dalam keadaan memulung,” kata Muna yang selalu berusaha untuk berbaik sangka pada orang lain.

Lambat laun, guru-guru di sekolah pun tahu kondisi Muna karena ia sering telat bayar uang sekolah. “Sering dapat kebijakan dari sekolah karena saya bilang kalau saya dapat uang itu ya terbatas, paling 3 bulan sekali karena dapat uang itu dari memulung,” ungkap sulung dari tujuh bersaudara.

Meski dalam keterbatasan, bukan alasan bagi Muna dan juga keluarganya untuk mengorbankan pendidikan. Terbukti, ia dan adik-adiknya tak ada yang tidak bersekolah. Adik-adiknya, Lisa Sab Nuryanti saat ini sedang menunggu pengumuman hasil tes masuk masuk di UIN.

Melati Sab Putri saat ini duduk di kelas 2 SMAN 1 Rumpin, Kenny Puja Nurwati kelas 1 SMP Informatika, Rohani Nurfitri kelas 6 SDN Kertajaya VI, Romadhon Syawaluddin kelas 5 SDN kertajaya VI, dan Mia Syaprianti kelas 2 SDN.

Diliput Media

Bukan hal yang mudah pula bagi Muna menyicip bangku kuliah. Lulus SMA, sambil menunggu waktu masuk perguruan tinggi, ia sempat bekerja di Temprint di kawasan Palmerah selama dua bulan. Saat memilih universitas, diantara sekian banyak pilihan, ia memilh Umpam dengan pertimbangan biaya sebasar Rp. 900.000 dan dapat dicicil perbulan Rp. 150.000.
Padahal jarak yang harus ia tempuh bukan jarak yang dekat. Sebelum tinggal di UKM Muslim, ia malah terbiasa berjalan kaki atau menumpang truk untuk pulang dari Pamulang ke Bogor. “Dulu makan juga cuma sekali, di rumah aja, tapi porsinya jadi dobel,” kenangnya, tertawa. Saat ini, ia boleh sedikit berlega hati karena bias memasak dan tinggal dekat dengan kampus. “Tiap minggu saya pulang ke Rumpin” katanya.

Di sela-sela kesibukannya kuliah, Muna masih sempat mengumpulkan gelas dan botol aqua bekas hingga kini. “Alhamdulillah saya nggak merasa bosan dengan pekerjaan ini,” kata gadis kelahiran 28 April 1990 ini.

Meski begitu, ia tak menampik jika lahan sekarang semakin sempit akibat jumlah pemulung yang bertambah dan ruang geraknya yang berkurang. Saat ini untuk mengumpulkan satu karung botol dan gelas air mineral bekas ia memerlukan waktu berhari-hari, padahal perkilogram botol mineral bekas hanya seharga Rp. 5000 dan gelas air mineral Rp. 10.000.

Tidak sedikit yang mencibir atas profesi yang dilakoni gadis yang mengidolahkan Rasulullah ini. Bahkan komentar bernada negative kerap didapatnya dari tetangga di Rumpin, tak jarang ia menjumpai raut muka tak bersahabat dari orang-orang yang dikenalnya.

Meski begitu, Muna mengaku tak pernah drop semangat dengan semuanya itu. “Alhamdulillah nggak sempet drop semangat karena pendapat-pendapat yang nggak enak. Karena kan kalau yang namanya komentar negative begitu lebih baik tidak dipedulikan. Kan yang memberi rezki itu Allah, bukan mereka,” tukas Muna ringan.

Keprihatinan yang dialami keluarga Muna baru diketahui ketika kawan-kawannya berkunjung ke rumahnya. Semenjak itu, ia semakin mendapat perhatian dari pengurus UKM Muslim dan kawan-kawannya dengan memberinya bantuan yang memang jumlahnya belum cukup signifikan.
Ust. Harist, salah seorang Pembina Muslim merekomendasikan Muna untuk mendapat bantuan beasiswa melalui DPU DT. Alhamdulillah, setelah mengikuti seleksi akhirnya Muna lolos menjadi anggota program Bea Mahakarya DPU DT.

Dalam program Bea Mahakarya ini selain mendapat bantuan finansial ia juga memperoleh serangkaian pendidikan dan pelatihan yang dapat menjadi bekal bagi dirinya kedepan. Muna terlihat semakin optimis mengejar cita-citanya.

Selain itu pula atas usaha dan dukungan kawan-kawannya ia dapat diliput dibeberapa media cetak dan elektronik yang mudah-mudahan dapat dijadikan pintu keluar bagi keprihatinan yang ia alami sekeluarga selama ini.
Cita-citanya adalah menjadi seorang pendakwah yang sekaligus akuntan, ini sesuai dengan hobinya yang senang menasehati dalam beberapa kebenaran (watawassaubilhaq). Apa targetnya dalam waktu dekat? “Menikah sebeluum S1,” tutupnya mantap. Semoga bermanfaat dan mebuat kita berfikir lebih sebagai inspirasi kita.

Sumber : Tabloid FENOMENAL Edisi 61 (21-27 Oktober 2012)