Tarian erotis masuk kampung, antara
budaya siri (malu) dan bisnis obral selangkangan.....
Siapa
bilang penyakit sosial, seperti pornoaksi hanya menjangkiti masyarakat perkotaan?
Kehidupan di daerah Sulawesi Barat, Polewali Mandar pun nyaris terancam rusak
akibat munculnya tarian erotis keliling kampung yang disebut candoleng-doleng
Sengatan
cahaya mentari mulai redup pertanda sore telah tiba. Sekelompok anak mulai
bergegas keluar dari rumahnya masing-masing. Bahagianya mereka menyambut sore
dengan bermain bersama di halaman.
Canda
ria penuh tawa membuat suasana semakin menyenangkan. Ada yang bermain
rumah-rumahan, main ibu-ibuan, main-main kawinan bahkan ada yang bermain bola
dan bersepeda keliling kampung.
Disaat
temaram mulai turun menyelimuti kampung, tersiar pula kabar bahwa ada pesta
pernikahan di kampung seberang, persisnya di dusun Loka Batue, Desa Aju Bissue,
Kecamatan Dua Pitue, Kabupaten Sidrap. Jamilah, putri Pak Kades akan dinikahkan
dengan Jamal, putra tunggal juragan beras paling tersohor dan kaya raya di
kecamatan itu.
Anca
dan Anci, dua saudara kembar berusia 14 tahun yang paling lebar senyumnya
tatkala teringa mereka telah disusupi kabar itu. Belakangan ini anak-anak muda
di kampung itu mendadak girang dan selalu menunggu ada orang yang akan segera
menikah.
“Mudah-mudahan
besok ada lagi gadis yang menikah di kampung kita,” celetuk Anci yang saat itu
sedang membetulkan kandang ayam peliharaan ibunya. “Amin…” sambut Anca yang
sibuk memandikan ayam.
“Memangnya
kenapa kalau ada gadis yang menikah di kampung kita?” Tanya Ammang, sepupunya
yang baru datang dari rantau, turut pula menimpali. “Wah, Mang… makanya jangan
merantau terus… kita sekarang ada hiburan baru, namanya Candoleng-doleng!”
sambung Anci.
Candoleng-doleng
adalah istilah dalam bahasa Bugis yang artinya menggelantung atau bahasa
Jawanya gondal-gandul, kembali Anci memberi penjelasan. Masyarakat Bugis dan
Makassar mengenal adanya bulan baik dan bulan buruk untuk melangsungkan pesta
pernikahan.
Penentuan
bulan baik dan buruk tersebut berdasarkan pada perhitungan kalender Islam, atau
kalender Hijriah. Bulan baik untuk melangsungkan pernikahan biasanya, jatuh
pada bulan Sa’ban atau satu bulan menjelang Ramadhan, dan satu bulan setelah
Ramadhan yaitu Syawal.
Ramadhan
tidak dipilih sebagai bulan untuk melakukan pernikahan karena dianggap sebagai
bulan yang dikhususkan untuk memperbanyak amalan baik dan beribadah. Makanya
tidak heran jika sebelum dan sesudah Ramadhan, banyak ditemui pesta-pesta
pernikahan.
Selain
Ramadhan, bulan Zulkaidah dan Zulhijjah juga dianggap sebagai bulan yang tidak
tepat untuk melangsungkan pernikahan. Alasannya karena pada saat itu banyak
orang muslim yang sedang melakukan ibadah haji di Tanah Suci Mekkah. Sehingga
jika melangsungkan pernikahan pada saat itu, tentu banyak keluarga yang
dikhawatirkan tidak melihat acara pernikahan sanak saudaranya.
Bulan
Safar, Rabiul Awal, Rabiul Akhir, adalah bulan yang juga dianggap baik untuk
melaksanakan pernikahan. Seperti saat ini, bulan Juni dan Juli yang bertepatan
dengan Rabiul Awal dan Rabiul Akhir, juga sangat banyak ditemui pesta
pernikahan. Kepercayaan itu tentunya dianut juga di Kawasan Ajattappareng
(Pare-Pare, Barru, Sidrap dan Pinrang) Sulawesi Selatan.
Hilangnya
budaya siri (malu)
Sebagaimana
biasanya dalam penyelenggara pesta pernikahan kerap menyuguhkan hiburan organ
tunggal untuk menghibur para tamu dan undangan. Awalnya semua terlihat biasa,
para biduan dan biduanita melantunkan lagu-lagu pop, lagu daerah bugis dan juga
lagu-lagu dangdut.
Selang
beberapa jam kemudian, ketika menjelang sore hari disaat undangan sudah mulai
sepi suasana mulai berubah. Para pemuda, orang tua, anak-anak dan beberapa
ibu-ibu yang mendapat posisi strategis duduk di depan panggung semakin
bersemangat dengan mata yang tak berkedip seperti tidak mau kehilangan momen
istimewa dari pemandangan yang sudah biasa mereka saksikan sebelumnya.
Diiringi
hentakan music “house music dangdut”, tiga orang penyanyi wanita meliuk-liuk di
atas panggung. Namun ada yang aneh, jarang sekali dari mulut mereka terdengar
nyanyian. Di tengah pementasan mereka justru lebih sering mengumbar
desahan-desahan seolah seperti sedang (maaf) berhubungan intim. Desahannya mirip
Miyabi atau versi terbaru Ariel dan Luna Maya “Oh… No… No… Ah… Ah… Ah” mungkin
dari kata inilah muncullah band baru yang bernama NOAH
Semakin
lama goyangan mereka semakin “brutal”. Mereka berjoget-joget sambil membuka
pakaian yang sebenarnya sudah terbilang mengundang syahwat itu. Menit-menit
berikutnya adegan demi adegan panas mereka suguhkan. Beberapa saat kemudian
beberapa biduan bahkan mengeluarkan semua pakaian yang mereka kenakan tanpa
malu-malu. Para bocah-bocah usia belasan pun ikut melotot. Dan budaya siri
(malu) yang dipegang teguh oleh nenek moyang masyarakat Bugis mulai terkikis
perkembangan jaman.
Pemandangan
itu beberapa tahun terakhir sering dijumpai di acara-acara pesta pernikahan,
masyarakat setempat menyebut hiburan itu candoleng-doleng. Walaupun sudah
sering ditindak oleh aparat yang berwenang, namun budaya perusak moral itu
semakin lama semakin marak saja seakan tak ada jera-jeranya.
Berjuntai-juntai
Awal
mula penyebutan candoleng-doleng berasal sari plesetan syair lagu penyanyi dangdut
Itje Trisnawati. Dalam bahasa Indonesia, candoleng-doleng berarti
berjuntai-juntai, yang dikonotasikan posisi alat kelamin pria atau (maaf)
payudara.
Goyang
candoleng-doleng mulai dikenal di Sidrap pada tahun 2003 lalu. Dalam sekejap,
goyang erotis itu menjadi sangat pupuler karean ditampilkan secara murah meriah
pada pesta kelompok pemuda tertentu.
Entah
siapa awalnya yang mempopulerkan candoleng-doleng, tapi ada desas-desus yang
tersebar dari mulut ke mulut bahwa yang pertama kali mempopulerkan hiburan
candoleng-doleng ini adalah pemilik salah satu elekton yang tinggal di Kota Pinrang. Kabarnya dia melakukan hal tersebut karena di ceraikan
oleh istrinya, dan pemilik elekton itu kesulitan keuangan makanya mereka
membuat sebuah hiburan seronok buat menambah pundi-pundi keuangannnya dan untuk
membalas sakit hatinya pada mantan istrinya, karena sang suami sekarang
dikelilingi oleh wanita-wanita cantik penggoda iman.
Namun
yang jelas wabah hiburan erotis itu, kini kerap dijumpai. Hiburan seronok yang
biasanya dilakukan malam hari ini, pun kini dapat dijumpai pada siang hari.
Mengapa
mereka melakukan aksi candoleng-doleng tersebut? Salah seorang artis yang
berinisial AP mengungkapkan bahwa sebenarnya ia malu melakukan aksi goyang
candoleng-doleng, apalagi jika mengingat anak perempuannya yang berumur 7
tahun. Tapi himpitan ekonomi yang membuat perempuan ini melakukan aksi
tersebut. Diakuinya, sangat sulit mendapatkan pekerjaan yang dianggap “tidak
haram” oleh masyarakat.
Beberapa
waktu yang lalu, dengan berbekal ijazah Sekolah Menengah Atas (SMA) dia melamar
di beberapa perusahaan di kota Makassar. Namun hingga beberapa bulanm sejak
mengajukan lamaran, dia tidak pernah dihubungi oleh satu pun perusahaan untuk
mengikuti tes.
Saat
ditanya mengapa tidak membuka usaha sendiri? AP langsung menyela pertanyaan
itu; “Membuka usaha butuh modal sama sekali. Saya juga tidak bisa mengandalkan
bantuan dari keluarga, karena saya juga berasal dari keluarga tidak mampu.
Tapi
menurut pendapat penulis, sebenarnya tanpa modal yang besar pun bisa membuka
usaha sendiri seperti berjualan kue, makanan, jajanan tradisional dll.
Masalahnya mayoritas orang Bugis gengsinya sangat tinggi sekali, apalagi kalau
pekerjaannya rendahan seperti beternak ayam, bertani, dorong gerobak untuk jual
bakso misalnya. Jarang sekali Anda akan menemukan orang Bugis yang melakoni
pekerjaan ini, usaha kecil yang dilakoninya paling mentok buka kios, jual
ikan/nelayan kalau mereka masih tinggal di kampung sendiri, kecuali orang Bugis
yang tinggal di perantauan tidak akan malu melakukan pekerjaan ini. “Prinsipnya
toh tidak ada yang kenal saya”.
Hal
berbeda jika masih di kampung, kalau Anda lulusan sarjana misalnya terus
menggeluti profesi berternak ayam, jualan kue atau bakso pasti Anda akan
dicemooh oleh beberapa orang keluarga dan orang-orang sekitarnya. Masak sarjana
kerjanya cuma begitu, toh itu kan pekerjaan halal memang kenapa kalau sarjana
berwirausaha seperti perternak ayam misalnya. Bagaimana dengan lulusan sarjana
peternakan, pertanian, perkebunan yang seharusnya dapat melakukan pekerjaan ini
sesuai dengan ilmu yang di dapat di kampus. Hitung-hitung bisa jadi dokter
hewan, ahli pertanian yang bisa menemukan varietas bibit unggul.
Belum
lagi kalau perempuan biasanya gengsinya paling tinggi, tidak mau kalau bajunya
bukan barang bermerek made in Amerika, Made In Italia, bedak dan gincunya harus
Made In Amerika dengan harga selangit, apalagi perhiasan emas biasanya di pamer
mulai dari tangan sampai siku dan kalungnya ukurannya besar seperti pelek
sepeda.
Bedak
dan gincunya tebalnya 5 cm dan hal itu basanya dapat dengan mudah dijumpai pada
saat pesta pernikahan atau acara-acara tertentu. Prinsipnya “BIAR MISKIN ASAL
PENAMPILAN” hahahaha. Makanya banyak yang malu melakukan pekerjaan rendahan
seperti jualan kue, padahal pekerjaan sebagai artis candoleng-doleng lebih
memalukan dan lebih murahan, dan derajatnya sama dengan kotoran babi.
Meski
terhimpit oleh masalah ekonomi, AP mengaku selama menjadi artis elekton, dia
tidak pernah menerima tawaran untuk berkencan dengan penontonnya, meskipun
dengana bayaran yang mahal. “Goyang candoleng-doleng dianggap bertentangan
dengan agama, saya tidak mau lagi menambah dosa dengan menerima tawaran
berkencan dengan penonton saya,” katanya dengan lirih.
Untuk
tampil dalam satu pesta semalam suntuk atau sehari suntuk, mereka hanya
mendapatkan bayaran paling tinggi 70 ribu rupiah. Upah tersebut memang sangat
murah, karena untuk menyewa peralatan elekton, lengkap dengan artis dan
playernya hanya dibutuhkan uang sekurang-kurangnya 700 ribu rupiah.
Pemilik
elekton tentu membagi uang tersebut untuk membayar artis yang biasanya
berjumlah tidak kurang dari enam orang, ditambah lagi player, dan tehnisi
peralatan elekton, dan tentunya biaya sewa atas peralatan elekton.
Oleh
karena itu jika “musim pernikahan” tiba, itu dianggap sebagai rezeki yang
sangat melimpah oleh para artis elekton. Betapa tidak, pada saat itu mereka
tentunya akan semakin sibuk karena kebanjiran order manggung di beberapa pesta.
Jika
aksi goyang candoleng-doleng dikaitkan dengan persoalan ekonomi,maka sangat
sulit mengambil kesimpulan jika artis elekton tetap melakukan pekerjaan yang
dianggap “haram” tersebut oleh masyarakat dan ulama.
Karena
persoalan ekonomi sangat sistematis. Dimulai dari kondisi Negara yang memang
tidak stabil atau mengalami krisis, ditambah dengan pemerintah yang kurang
mampu menyediakan lapangan pekerjaan bagi rakyatnya, akhirnya bermuara pada
tingkat kesejahteraan rakyat yang sangat rendah.
Kalau
kondisinya sudah demikian, maka masyarakat akan melakukan apa saja untuk
mempertahankan hidupnya dan keluarganya. Termasuk bergoyang candoleng-doleng
seperti yang dilakukan oleh artis elekton.
Sulit
diberantas
Mengapa
tarian candoleng-candoleng itu sulit dihilangkan atau diberantas oleh pihak
kepolisian. Menurut pengamatan penulis saat berkunjung ke pesta pernikahan salah
seorang teman di desa Lampoko, Kecamatan Balusu Kab. Barru Sulsel pada awal
tahun 2010 lalu, ternyata yang melindungi acara musik candoleng-doleng aparat
kepolisian itu sendiri karena mereka dibayar oleh yang punya hajatan.
Waktu
itu saya ingin merekam tarian candoleng-doleng itu menggunakan Handycam yang sering
kubawa-bawa kemana pun saya pergi. Polisi itu menegur saya “Dek, shooting saja
yang penting jangan shooting saya dan polisi di sini lagi menonton
candoleng-doleng, tidak enak nanti naliatki boska”. Ternyata mereka takut kena
sorot kamera karena ketiga polisi yang jaga di pesta itu mengenakan seragam
polisi lengkap, bukan pakaian preman. Mereka kira aku wartawan kali jadi mereka
takut masuk acara Infotainment. Hahahaha… (Emangnya artis kaleeee…..)
Ini
adalah cuplikan video candoleng-doleng yang saya ambil menggunakan handycam
sendiri, maaf bagian adegan vulgar dan buka-buka pakaiannya saya potong habis
karena terlalu vulgar dan takut video tersebut di hapus dari youtube karena
mengandung konten pornografi. Jadi hanya goyangan erotisnya saja yang saya tonjolkan,
silahkan bayangkan sendiri jika artis dalam video tersebut melepaskan
pakaiannya satu persatu mulai dari baju, beha, hingga celana dalam (Selamat
Menghayal).
Bahkan ada adegan bapak-bapak dan kakek-kakek
sedang isap payudara dan pegang-pegang payudara serta dicium-cium oleh artis biduan
tersebut, asalkan mau bayar 50 ribu, Anda bebas sesuka hait memegang barang
para biduan tersebut sepuasnya mulai dari payudara hingga selangkangan.
Banyak
orang yang penasaran dan belum tahu tentang tarian candoleng-doleng, terutama
orang luar Sulawesi Selatan dan kebetulan saya berada di Kota Kupang NTT serta
membawa beberapa video candoleng-doleng. Memperlihatkannya pada teman dan
kenalan yang ada di sini dan semua orang yang habis nonton video
candoleng-doleng di Kota Kupang NTT ini, semuanya mengatakan “Nona di sana Puki
Mai, Ke’ Babi, Ke’ Anjing, Ke’ Sapi, Ke’ Tai pada suka obral No’o”. Sekedar
info No’o dalam bahasa Kupang artinya alat kelamin wanita. Tapi sudahlah bahasa
diatas adalah bahasa sehari-hari di sini dan sudah menjadi bahasa gaul ala Kota
Kupang. hehehehe
Dan
ada teman-teman bilang seandainya di Kupang sini ada tarian begitu sudah hancur
itu nona-nona Bugis di salome (Satu lobang rame-rame) sama pemuda di sini. Apalagi
kalau pemuda sini lagi habis pesta minuman tuak Sofi saat ada acara pesta
pernikahan, bisa tambah parah tuh nona!.
Dan
saya selaku orang Bugis merasa malu dengan tarian candoleng-doleng ini, apalagi
pandangan sinis orang-orang diluar suku Bugis yang menganggap murahan
gadis-gadis di sana. Bukankah budaya Bugis sangat menjunjung tinggi budaya siri
(malu), dan gadis-gadisnya juga mahal-mahal bukan murahan, karena kalau mau melamar
gadis Bugis mesti dibutuhkan doe pannaik (uang mahar) minimal 50 juta rupiah.
Ini
sebenarnya seperti terkena hukum karma, karena pandangan beberapa orang tua
jaman dahulu yang melarang para pemuda Bugis menikahi Gadis Jawa karena
maharnya yang murah dan mereka menganggap Gadis Jawa itu murahan karena uang
maharnya hanya senilai uang penutup malu (aib) gadis Bugis yang lagi hamil
duluan (misal cuma 1 juta red). Justru pandangan orang luar dari suku Bugis
juga berpandangan lain dan menganggap Gadis Bugis murahan sehabis menonton video
candoleng-doleng tersebut.
Padahal
tidak semuanya begitu, hanya beberapa oknum saja yang terlibat, begitu pula
dengan orang Jawa tidak semua gadis Jawa itu murahan dan suka selingkuh hanya
gara-gara uang maharnya sedikit. Karena banyak juga orang Jawa yang iman dan
aqidahnya kuat walaupun uang maharnya sedikit, karena itu memang sudah sesuai
dengan budaya Islam dan budaya Jawa. Dalam pernikahan Jawa masing-masing
keluarga mempelai yang menanggung sendiri biaya pernikahannya masing-masing.
Kalau
di daerah Bugis yang menanggung biaya pernikahan mempelai wanita yaitu mempelai
laki-laki, makanya uang maharnya mahal bahkan ada yang sampai 1 milyar. Apalagi
kalau gadis tersebut bersatus sarjana, haji dan keturunan bangsawan yang
bergelar “Andi”. Karena memikirkan biaya sewa tenda dan kursi, sewa gedung atau
sarapo, biaya satu ekor sapi dan berbagai bahan makanan, mendatangkan artis
sekelas 3 Diva atau yang murah meriah tarian candoleng-doleng pengumbar syahwat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar