Kamis, 27 Januari 2011

R.A KOSASIH KETIKA KERTAS GAMBAR DIGANTIKAN KERTAS KALKIR

TRUE  STORY
Bekasi, 18 Januari 2011
R.A KOSASIH

KETIKA KERTAS GAMBAR
 DIGANTIKAN KERTAS KALKIR

Ditulis ulang oleh: Mac Dhawanks

           Di sebuah meja kayu kecil mungil, sejarah pewayangan bergerak mengikuti R.A Kosasih. Suatu saat, muncul kerajaan Hastinapura. Tak lama kemudian, Indraprasta yang digambarkan. Ketika kertas gambar diganti lagi dengan yang baru, gemuruhnya Pandang Kurusetra yang diwujudkan di situ. Dari lima jari-jari yang keriput, lahirlah Sumbadra yang cantik, Srikandi yang gagah, Yudhistira yang bijaksana, dan Dursasana yang durjana.
  Yang dibutuhkan untuk semua itu bukan karya tinta gambar hitam, yang biasa disebut tinta bak atau tinta cina. Merek Tastra, kuas merek Pagoda, dan rapido ukuran 0,5. Tapi sama pentingnya adalah imajinasi dan kemampuna Kosasih menggambarkan lewat garis, arsir, dan kadangkala, blok-blok hitam. Hingga, beribu, mungkin berjuta, anak Indonesia merasakan bahwa Pandawa Lima dan Kurawa sungguh-sungguh hidup di antara kita.
Diringi music Harirang Bandung yang dipasang pada sebuah taperecorder tua merek JNC, dan tik-tok sebuah jam wewker yang tua, Kosasih mulai mencoret-coret di kertas. Di dalam kamar 3 X 3 m beralas tikar itu, ada sebuah tempat tidur kecil, sebuah meja yang menghadap jendela, dan sebuah lemari reyot. Lemari itu hanya berisi sebuah sisir yang sudah rontok giginya, sebotol minyak rambut, dan ratusan buku komik karyanya. Itulah teman-teman serta Kosasih sehari-hari.
Pelukis komik itu biasanya mulai mengerjakan komiknya setelah makan pagi. “Saya hanya berhenti untuk makan siang, lalu mulai bekerja lagi.” pecandu rokok kawung, di masa mudanya, ini menuturkan. “Dulu, saya bias menggambar hingga jauh malam. Sekarang tidak kuat. Apalagi nggak boleh merokok lagi, waduuhh, jadi pusing lagi….” katanya sambil tertawa.
  Proses lahirnya karya komik Kosasih biasanya, seperti ini setelah menentukan plot dan jumlah halaman, ia menggambarkan garis tepid an tiap halaman, dilanjutkan membuat sketsa adegan-adegan. Menurut pengalamannya, pada saat pengisian dialog dengan balon teks dan narasi, terjadi perkembangan, ide-ide, yang bias saja mengubah sketsa-sketsa adegan.
  Juga, sebagaimana umumnya pelukis yang mengawali karyanya denga sketsa atau rencana, ketika Kosasih mulai menumpuki garis pensil dengan tinta Cina, perubahan masih juga terjadi. Baik perubahan adegan maupun pengeditan teks. Dan ini yang mungkin tak diketahui oleh banyak pecinta komik Kosasih: tulisan teks bukan dari tangan Kosasih tapi keponakannya yang bernama Atmadja.
  Jadi, setelah Atmadja mengisi balon-balon itu dengan tulisan rapi sesuai dengan teks yang diberikan Kosasih, ia akan membuat penyelesaian akhir dengan pengarsiran dan seluruh naskah siap dibuatkan klisenya dan dibawa ke percetakan.
  “Tapi itu proses masa lalu,” kata Kosasih agak sedih. Sekarang untuk penghematan biaya, Penerbit Maranatha minta Kosasih menggambarkan di kertas kalkir, kertas yang mirip kertas minyak, berwarna putih. “Saya diminta menggambarkan di kertas kalkir dan penerbit akan langsung membuat filmnya berdasar kertas ini tanpa harus membuat copy master. Artinya, osasih harus menggambar satu kali saja. Dulu, ia menggambarkan dalam ukuran besar, kemudia diperkecil.
Perbedaan teknis ini, harus diakui, mempengaruhi kualitas gambar. Kosasih sendiri mengakuinya. Ambil saja contoh adegan Pandawa Seda terbitan tahun 1966 dalam adegan para Pandawa sedang mencari abu para sesepuh yang terbakar di tengah hutan. Pada karya yang masih menggunakan teknik lama, garis-garis Kosasih tampak lebih halus, detail, indah dan menarik. Tampak Bima sedang sibuk memindahkan batang-batang gelondongan kayu, dan wajah yang eksprensif. Pada produksi Kosasih tahun 1980-an. Bima digambarkan dari belakang, yang tampaknya bukan wajahnya tapi punggungnya. Di situ, garis-garis kuas Kosasih terasa lebih kasar.
Contoh yang lain. Adegan pembicaraan antara Betara Indra dan Kresna. Dalam Pandawa Seda produksi tahun 1966, digambarkan adegan berlangsung di suatu pantai dengan pohon kelapa yang begitu indah denga dua siluet tokoh itu yang menggambarkan seriusnya pembicaraan mereka. Teks hanya singkat. Bandingkan dengan lukisan Kosasih tahun 1980-an, yang terkesan kedua tokoh berbicara di siang hari dengan latar yang agak gersang. Padahal Negeri Dwaraka terkenal dengan keindahannya.
Tapi Kosasih tidak semata menekankan perbedaan itu pada persoalan teknis saja. “Setiap kali saya menggambarkan ulang, memang ada perbedaannya.” Dan itu tak selalu berarti yang kemudian lebih menurun mutunya. Misalnya pada Damarwulan yang pertama kali diterbitkan pada 1953 oleh Penerbit Melodi. Di situ, gambar-gambar lebih terasa sebagai ilustrasi. Gambar lebih bertugas menjelaskan teks.
Tapi pada Damarwulan edisi tahun 1973, yang diterbitkan oleh Maranatha, gambar-gambar adegan terlihat lebih filmis dan ritmis. Dari satu adegan ke adegan lain, tak perlu banyak teks, dan bahkan sesekali tanpa teks. Ini tentu pengaruh komik baru yang mulai melanda Indonesia Indonesia. Lihat saja, contoh yang jelas, komik Tintin yang lucu itu. Dalam dua halaman bisa hanya menceritakan Tintin lari dari rumah ke halaman. Mirip film kartun.
Teks dan keterangan adegan karya Kosasih juga mengalami perubahan dari zaman ke zaman. Di dalam Pandawa Seda produksi tahun 1966, terkesan kata-kata yang digunakan Kosasih sangat efisien dan pendek-pendek. Ia terasa lebih mengutamakan gambar. Coba bandingkan. “Sebab Saudara pun mengerti, negeri ini didirikan hanya sementara bukan?” kata Betara Indra yang sedang memberikan isyarat pada Kresna bahwa sudah waktunya ia mencabut dirinya dari mayapada, dan meminta rakyat Dwaraka meninggalkan negeri itu, karena harus musnah juga. Pada produksi 1980, Betara Indra berkata, ”Karena Negara ini didirikan hanya untuk Sri Kresna wafat, negeri ini pun lenyap pula.”
Adalagi perubahan-perubahan fisik yang menarik, misalkknya bagaimana seseorang memberi salam. Di dalam Pandawa Seda produksi 1966, Parikesit yang bertemu dengan Arjuna di hutan langsung berlutut memberi sembah. :Oh, cucuku, Parikesit….kau telah dewasa kini,” kata Arjuna. Pada produksi 1980, Kosasih tampak menyimpan emosi Arjuna. Pertemuan antara Arjuna dan Parkesit terjadi dimuka istana dan pertemuan itu dibiarkan tanpa dialog. Sementara itu, Kosasih hanya menggambarkan Parkesit yang menangkapkan kedua tangan tanda hormat pada Arjuna dan Sumbadra. Ia tidak digambarkan berlutut.
Kosasih sandiri menganggap perubahan-perubahan yang dilakukannya sesuai dengan yang dirasakannya saat itu. Ia tidak bisa berprentensi melepaskan diri dari bahasa dan tema apa yang tengah mengalir memasuki ruang dan waktu.
Suatu hari, di kamar kerjanya, Kosasih tengah menggambarkan Arjuna Wiwaha di selembar kertas kalkir. Disamping kertas itu, terdapat buku komik Arjuna Wiwaha produksi lama.
“Hasilnya lumayan apa….” Katanya sendiri menatap lembaran kertas kalkir itu. “Yang penting, pembaca bisa senang membacanya,” katanya.
Sebagai seorang seniman, Kosasih tetap menginginkan perubahan dalam karyanya. Ia tidak ingin terus-menerus mengulang yang telah diciptakannya. Meski harus menanggung risiko, perubahan menyebabkan karya barunya lebih menurun. “Saya sudah senang bila ada anak-anak yang membacanya dan merasa bahagia,” ia menambahkan.
Tidak banyak orang yang bias membahagiakan orang lain melaui karya-karyanya. Dan, untuk itu, Kosasih susah berhasil.

Sumber : Tulisan Leila S. Chudori di Majalah Tempo No. 43 Tahun XXI – 21 Desember 1991



Tapi kini kondisi Maestro Komik Indonesia kita, sedang terbaring lemah di RS sejak bulan Agustus 2010. Dan bagi para pecinta komik Kosasih dari zaman ke zaman yang mungkin sudah mapan dalam ekonomi, bisa membantu pengobatan beliau dengan memberi sedikit sumbangan buat pengobatan beliau, dan sumbangan yang terkumpul akan dikirim langsung kepada keluarga Kosasih di Bogor :
        Salurkan bantuan anda ke No. Rekening 156-00-0084612-3 Bank Mandiri KCP Bekasi Villa Nusa Indah,  atas nama = Muhammad Ridwan, S.Kom. Semoga dana yang terkumpul dapat meringankan biaya pengobatan beliau. Wassalam !!




R.A KOSASIH SANG KOMIKUS


TRUE  STORY
Bekasi, 18 Januari 2011
R.A KOSASIH
SANG KOMIKUS

Ditulis ulang oleh: Mac Dhawanks

           Suatu hari pada 1968, seorang bapak tua yang nyaris tak berambut memeriksa keadaan dada dan kerongkongannya pada seorang dokter di daerah Kebayoran Jakarta. Sambil mencatat resep, si dokter, dr. Surjani, menanyakan pekerjaan bapak tua pasiennya. “Say mah cuma tukang gambar, Bu Dokter.” Dokter Surjani memerlukan jawaban rinci dengan menanyakan tukang gambar apa, “Yaah, gitu……gambar komik wayang.”
Si dokter tertarik. “Nama bapak siapa, sih?” tanyanya. Si bapak tua menjawab, “Kosasih.” Sang dokter berhenti mencatat,ia melotot terkejut. “R.A Kosasih yang bikin komik Mahabharata dan Ramayana?” Kosasih,komikus yang memang pemalu dan rendah hati itu, mengangguk. “Astaga,” ujarsang dokter terpesona, “Saya dulu mengumpulkan semua komik karya Bapak. Dari SMP saya sudah baca komik Bapak.”
R.A Kosasih. Siapa tak kenal nama itu? Dari anak-anak sekolah hingga orang tua, komik wayang R.A Kosasih menjadi bacan keluarga di Indonesia. Tapi tak banyak yang mengenal kehidupannya.
Pergilah ke Bogor, dan tanyakan nama Kosasih, orang akan menunjuk sebuah gang kecil di Jalan Pahlawan. Di sebuah pavilyun sederhana yang berdempeten dengan rumah utama, Kosasih “bertapa” sembari sekali-sekali masih membuat komik. “Kini saya sudah tua, tangan saya sudah gemetar kalau kedinginan, saya Cuma bias menggambar kalau sedang hangat,” katanya pada wartawan TEMPO Leila S. Chudori pada tahun 1991, pada suatu hari munggu yang basah.
Di rumah kecil berkamar satu ini, Kosasih tinggal sendirian. Istrinya kini tinggal di Jakarta mengurusi cucu dari putri satu-satunya, Yudowati Ambiana. Namun setiap Minggu keluarga Kosasih berkumpul di Bogor.
Hari Minggu itu kebetulan istri, anak, menantu, dan cucunya sedang berkunjung. “Biasanya, saya sendirian dari kedinginan. Paling-paling melukis sambil mendengarkan music Sunda, soalnya TVnya rusak, “katanya sambil menggosok-gosok kaca matanya yang tebal.
Kosasih lahir di Desa Bondongan, Bogor 72 tahun silam (Pada saat berita ini dimuat tahun 1991 di Majalah Tempo), tetapi sekarang beliau sudah berumur 92 tahun dan saat ini sedang terbaring sakit di RS. Ia lahir sebagai anak bungsu dari tujuh bersaudara “Ayah saya Raden Wiradikusuma, pedagang dari Purwakarta, dan ibu saya Sumarni, asal Bogor,” katanya. Sambil masih juga menggosok kaca matanya, Kosasih bercerita bagaimana masa kecilnya dihabiskan dengan menggambar.
“Ketika saya masih kelas satu SD di Inlands School, Bogor, saya selalu menunggu ibu kembali dari pasar. Soalnya, bungkusan sayur-mayur belanjaan ibu biasanya potongan Koran yang ada komiknya. Saya ambil bungkusan sayur itu, saya baca komik Tarzan, meski cuma sepotong-potong,” katanya dengan logat Sunda yang kental. Selain memburu komik potongan ini. Kosasih kecil juga rajin menonton bioskop dan wayang golek. “Waktu itu saya kagum betul, tuh sama Gatotkaca, karena bisa terbang,” tuturnya.
Setelah lulus dari Inlands School pada 1932, Kosasih melanjutkan pelajaran ke Hollandsch Inlands School (HIS) Pasundan. “Di HIS inilah saya mulai tertarik pada seni menggambar secara formal. Sebab, ilustrasi pada buku-buku pelajaran bahasa Belanda bagus-bagus, jadi buku catatan saya banyak yang cepat habis karena saya gambari,” katanya tertawa. Setelah lulus HIS, Kosasih tidak meneruskan sekolahnya. Ia sebenarnya punya peluang meneruskan sekolah untuk menjadi pamong, tapi ia tak mau.
Kegemarannya menggambar dan menonton wayang golek tak pernah berhenti. “Saya suka pulang pagi kalau lakonnya bagus, terutama yang menyangkut Gatotkaca, Bima, dan Arjuna. Saya sampai hafal tokoh-tokoh itu dan di mana letaknya dalam susunan jejer. Begitu senangnya pada wayang golek sampai hafal gaya para dalang.” Pada saat itulah Kosasih mulai mencoba menvisualkan kekagumannya pada tokoh-tokoh wayang dalam bentuk gambar. “Saya pikir, seandainya cerita wayang itu dipersingkat tapi tetap berbobot, pasti akan disukai orang.”
Kosasih mengenal seni wayang golek. Ia sempat mempelajari alat musik siter dan seruling yang paling disukainya dalam perangkat gamelan wayang golek. Alat musik siter sampai kini masih sering dimainkannya untuk mengalunkan lagu-lagu Sunda.
Pada 1939, kosasih melamar pekerjaan sebagai juru gambar di Departemen Pertanian Bogor. “Kerja saya member ilustrasi buku-buku penerbitan departemen itu. Rata-rata, yang saya gambar tanaman dan binatang. Dan untuk itu, saya harus melihat insect di bawah mikroskop,” katanya tertawa. Gaji yang diterimanya, meski tak berlebihan, cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Jepang dating. “Seingat saya, masa pendudukan Jepang adalah masa penderitaan. Saya ingat, untuk mendapatkan makanan susah. Namun, di masa ini ia menemukan komik-komik bekas, di antarnya komik Flash Gordon. “Dari sini, saya mulai mencoba membuat buku-buku komik sendiri dengan sisa-sisa kertas. Lantas saya bagikan kepada anak-anak tetangga. Ternyata banyak yang senang. Setelah Indonesia merdeka, Koran-koran dan penerbitan mulai bermunculan. “Saya ingat betul, di tahun 1953 harian Pedoman bandung memuat iklan dicari pelukis komik, lalu saya mencoba melamar. Saya kirimkan beberapa gambar saya, ternyata saya diterima.” Sejak itu Kosasih memuaskan kesenangannya menggambar komik meski pada siang hari ia bekerja pada Departemen Pertanian.
“Serial pertama yang saya buat Sri Asih,” katanya. Sri asih adalah seorang superhero wanita. “Saya menciptakan tokoh Sri Asih karena kagum dengan wanita gagah. Saya anggap dalam banyak hal wanita lebih mampu menyelesaikan persoalan disbanding laki-laki. Dan untuk digambar, wanbita lebih bagus. Saya terpengaruh kisah Wonder Woman komik lama yang sekarang ditelevisikan. Ternyata, banyak yang suka.”
Komik pertama Kosasih dicetak 3000 eksemplar. Langsung licin tandas. “Saya ingat, harga komik Sri Asih saat itu seringgit, setelah laku keras dinaikkan menjadi Rp 3,50. Jadi, sebulan saya bias mendapat Rp. 4000. Gaji saya sebagai pegawai waktu itu Cuma Rp. 150.”
Kosasih membuat serial Sri Asih sesuai dengan cerita-cerita lokal yang sedang popular saat itu. Misalnya edisi Sri Asih VS Gerombolan DI/TII yang saat itu ramai diberitakan.
Suksesnya Sri Asih membuat Kosasih bergairah untuk membuat serial baru dengan tokoh bernama Siti Gahara. Perbedaan karakter Sri Asih dan Siti Gahara sebenarnya tidak terlalu banyak. Keduanya cantik, sakti, penolong kaum lemah. Bedanya, sri Asih mengenakan kostum wayang Sunda, sedangkan Siti Gahara mengenakan celana Aladin dari kisah 1001 malam.
Masih didasari kekaguman pada wanita perkasa, Kosasih melahirkan serial Sri dewi. “Saya terpengaruh komik Flash Gordon, ketika membuat edisi Sri dewi Kontra dewi Sputnik,” tutur Kosasih. “Saya mau menunjukkan yang modern. Sri dewi harus tetap menang, ha..ha..ha..ha….”
Bencana datang, ketika Kosasih menikmati derasnya inspirasi, Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat, Organissai organ PKI) menuding komik-komiknya mencerminkan kebudayaan yang kebarat-baratan. Omset komik-komik Kosasih turun secara umum. Sementara itu, komik produksi RRC membanjir menggantikan komik yang dianggap kebarat-baratan tadi.
Menyadari gejala itu., Kosasih dan rekan-rekannya mencoba menandinginya dengan membuat komik-komik berdasarkan cerita klasik lokal seperti Mundingkaya Dikusuma dan Ganesha Bangun. Kosasih, yang merasapasarnya terambil, mencoba terus untukmerebut pasar kembali. Pada 1953, ia mendapat gagasan untuk menggambar komik wayang. “Lantas saya usul pada Penerbit Melodi untuk menerbitkan komik wayang. Mereka langsung menolak usul saya, ha..ha..ha…”
Kosasih memang bukan orang yang melihat hidup dengan kaca mata hitam. Ia mencoba memahami alas an Penerbit Melodi yang khawatir wayang tak akan disukai masyarakat. “Mereka mengatakan wayang dianggap sakral oleh masyarakat Jawa, jadi nanti tidak enak,” katanya mengisahkan. Tapi penolakan itu tidak membuatnya puuts asa. Ia mencoba mengomikkan Burisrawa Gandrung, sebuah kisah wayang yang dianggapnya tak berbelit-belit, dan yang penting kira-kira disukai pembaca. Terbitlah komik Bunisrawa Merindukan Bulan.
Komik pertama setebal 48 halaman itu mendapatkan reaksi positif dari masyarakat. Diluar dugaan Penerbit Melodi, komik wayang Burisrawa itu laku keras. Maka mulailah Kosasih mengembangkan ide-ide komik wayang, dari kisah-kisah klasik Mahabharata dan Ramayana.
Suatu ketika ia pergi ke perpustakaan Bogor dan menemukan Bagavat Gita yang sudah diterjemahkan Balai Pustaka. Ia menemukan gagasan. “Saya piker, sebaiknya saya memakai versi asli dalam membuat komik wayang.” Ide ini disampaikan pada Penerbit Melodi. Alasan Kosasih saat itu, belum banyak masyarakat yang mengenal cerita Mahabharata dan Ramayana dari sumber asli. Menurut Kossaih, ini juga sekaligus untuk bahan perbandingan dengan Mahabharata adaptasi Jawa.
Mahabharata menunjukkan hubungan emosional Kosasih dengan tokoh-tokoh yang digambarkannya. “Saya sangat mengangumi tokoh-tokoh di dalamnya. Misalnya Gatotkaca. Sejak kecil, saya memang sudah lama menjagoinya. Ia rela berkorban di Bharatayudha,” katanya. Kosasih menganggap adegan kematian Bisma paling mengharukan.
Tokoh lain yang dikaguminya, Dewi Drupadi, Istri Prabu Yudhistira. “Saya tahu, orang Indonesia paling menyukai Srikandi, sampai sering lambang kepahlawana wanita yang dinamakan Srikandi. Tapi, menurut saya tokoh, Srikandi tidak sepenting Drupadi. Di mata Kosasih, pujangga Jawa telah membuat Srikandi penting dengan mengawinkan tokoh ini dengan Arjuna. “Tokoh perempuan yang paling kuat di mata saya adalah Drupadi,” katanya. “Ia bersedia berkorban mengikuti suami dan saudara-saudaranya mengembara selama 12 tahun ke hutan.”
Pengamat sejarah komik Marcell Bonneff berkomentar, komik R.A Kosasih telah berhasil membendung arus kmik asing di Indonesia. Sayang penerbit Melodi, yang menerbitkan komik wayang telah bangkrut, sehingga sulit dilacak berapa ribu eksemplar yang terjual. “Seingat saya, paling tidak satu bulan bias terjual 30.000 eksemplar untuk satu buku. Saya Cuma ingat, setiap minggu, selalu habis dan dicetak lagi,” kata Kosasih.
Sukses Kosasih tentu saja menimbulkan arus pertumbuhan komik wayang. Berbagai epigon Kosasih nongol, dan Kosasih yang rendah hati menyambut kedatangan para pelukis muda itu. Namun, cirri khas Kosasih tidak tertandingi. Kekhasan Kosasih, misalnya ia punya sikap dalam menggambarkan tokohnya. Kalau perlu dengan mengubah pakem. Ia menggambarkan Bima sebagai orang yang bertubuh besar, bukan raksasa. Kosasih juga menolak gambaran Kresna berkulit hitam.
Hubungan Kosasih dengan penerbit Melodi bukan hubungan bisnis resmi. “Kami tidak pakai kontrak-kontrakan seperti zaman sekarang. Namanya juga zaman baheula. Setelah komik laku dijual, saya dapat persen lagi, gitu aja. Dengan suksenya Mahabharata dan Ramayana, saya bias membangun rumah kecil ini,” katanya bangga. Kosasih mengaku, ia tak pernah diberi tahu berapa banyak bukunya laku saat itu. “Tapi yang jelas semua keperluan pribadi saya dipenuhi.”
Agaknya, karena hubungan pelukis dan penerbitnya bukan bisnis resmi. Kosasih tidak pernah mempersoalkan hak cipta. “Kurang jelas kalau soal hak cipta, saya nggak tahu mestinya gimana.”
Pada 1955, karena permintaan melukis komik semaikn meningkat dan Kosasih kewalahan membagi waktu, ia memutuskan berhenti dari pekerjaannya sebagai pelukis di Departemen Pertanian. “Soalnya saya lebih suka melukis komik pada siang hari ketika matahari masih hangat, artinya bentrokan dengan waktu kerja saya di Departemen Pertanian.” Karena berhenti atas permintaan sendiri, Kosasih tidak mendapat pension. Sejak itu, hidupnya memang hanya dari melukis komik.
Kosasih mulai professional dalam bekerja. Ia berusaha efisien, menghadapi banyaknya naskah komik yang harus dibuatnya. Pada masa ini Kosasih mempekerjakan keponakannya Atmadja “Saya menggambar dan mengarang teks, Atmadja yang menyalin teks itu dengan huruf lebih rapi ke gambar.” Dengan cara ini, pada tahun 1956 serial Mahabharata dan Ramayana selesai di gambar.
Kosasih kemudian kembali ke komik superhero, seperti Kala Denda. Tapi, karena intensnya hubungan Kosasih dengan proses menggambar Mahabharata dan Ramayana, tak bias dihindari komik-komiknya yangbaru menampakkan pengaruh wayang, mulai dari kostum, gerak-gerik tokoh, hingga dialognya.
Pada tahun 1960-an, terjadi perubahan manajemen penerbit Melodi. Pergantian ini mempengaruhi kreativitas Kosasih. Ia enggan mengingat masa itu, tapi ia mengaku nafkahnya bergantung hanya pada hasil cetak ulang komik yang sudah ada. “Pada saat itu pula saya diminta bekerja lagi di Departemen Pertanian, karena menurut mereka saya diperlukan untuk menggambar. Saya terima tawaran itu. Tapihanya betah beberapa bulan, lalu keluar lagi, ha…ha…ha…”
Satu-satunya serial baru Kosasih pada masa itu, serial Cempaka, Tarzan wanita versi Indonesia. Keberhasilan komik Tarzan berbagai versi menggugah Kosasih menciptakan Tarzan Indonesia. Ia berpendapat, Indonesia kaya dengan hutan yang dilukiskan dalam cerita-cerita Tarzan. Tapi, lagi-lagi Tarzan yang diciptakannya, wanita bertubuh tinggi, seksi, dan tentu saja berpakaian loreng mini.
Cempaka juga digambarkan sebagai Tarzan yang sigap meloncat dari satu pohon ke pohon lain sembari membawa pisau. Yang menarik, para binatang diperlakukan Kosasih seperti manusia. Baik gajah, serigala, amupuin badak berbincang-bincang dan berfilsafat tentang keserakahan manusia yang selalu memburu binatang, dan Cempaka menjadi corong hati mereka.
Pada 1964, Kosasih pindah ke Jakarta. Meski Jakarta dianggap kota yang riuh-rendah dan bising. Kosasih tetap bias mencipta. “Yang penting ada meja dan tinta cina,” katanya. Melalui penerbit UP Lokajaya, Kosasih menerbitkan serial Kala Hitam dan Setan Cebol. Tiga tahun kemudian, ia di minta menggambar ulang serial Ramayana. Dan gambar ulang ini ternyata berbeda dengan gambar sebelumnya. Kosasih mengakui, setiap kali ia menggambar ulang, dia mengikuti perasaannya yang tidak terlalu persis dengan komik yang sudah diterbitkannya.
Pada 1968, kesehatan Kosasih menurun. “Saya disuruh berhenti merokok dan beristirahat,” kata Kosasih. Selama hamper setahun, Kosasih tidak menyentuh pen dan tinta cina. Karena merasa tak tentram di Jakarta Kosasih kembali ke Bogor.
Saat itu, ia mulai berhubungan dengan Penerbit Maranatha dari Bandung untuk menerbitkan kembali serial komik Mahabharata dan Ramayana. Menurut pihak took buku Maranatha, Mahabharata dan Ramayana dicetak 1500 sampai 2000 eksemplar untuk setiap serial. Harus diakui, mulai tahun 1980-an, minat pembeli terhadap komik wayang menurun. Kedua komik yang pernah sangat laku itu tidak terlalu diminati pembaca komik. Disamping itu, Kossaih mengakui produktivitasnya juga tidak sedahsyat dulu.
Pada tahun-tahun itu pula, sempat ada serangan terhadap peran komik secara umum. “Seingat saya, serangan itu mengatakan komik bias menurunkan minat baca,” kata Kosasih. Karena Kosasih ingin menunjukkan tanggungjawab bagi anak-anak pembacanya, ia sempat mengubah gaya penyajian komiknya. Misalnya dalam serial Egul mayangkara, Kosasih menyajikan teks yang lebih banyak, hingga panil komik lebih dipenuhi kata-kata daripada gambar. Tapi ini tak berlangsung lama. Setelah banyak pecinta komik membela komik sebagai kesenian, Kosasih kemblai lagi dengan gayanya yang semula.
Kosasih mengaku, membanjirnya komik impor membuat komiknya tak berkutik. “Komik-komik itu bagus semua. Saya selalu membacanya,” kata Kosasih mengakui.
Kosasih kini lebih sering di Jkarta bersama anaknya cucunya. Ia mengaku hanya bias menyelesaikan satu komik dalam satu bulan. “Selama satu bulan, saya bekerja selama 20 hari saja, 10 hari saya pakai untuk libur.” Libur untuk Kosasih artinya: nonto wayang, nonton film silat dan film India, mendengarkan music Sunda, bermain dengan cucu, sesekali “olahraga”. Olahraga Kossaih, selain jalan kaki, menyapu dan mencuci baju dan loncat-loncat di kamar mandi.
Sumber : Tulisan Leila S. Chudori di Majalah Tempo No. 43 Tahun XXI – 21 Desember 1991


Tapi kini kondisi Maestro Komik Indonesia kita, sedang terbaring lemah di RS sejak bulan Agustus 2010. Dan bagi para pecinta komik Kosasih dari zaman ke zaman yang mungkin sudah mapan dalam ekonomi, bisa membantu pengobatan beliau dengan memberi sedikit sumbangan buat pengobatan beliau, dan sumbangan yang terkumpul akan dikirim langsung kepada keluarga Kosasih di Bogor :
        Salurkan bantuan anda ke No. Rekening 156-00-0084612-3 Bank Mandiri KCP Bekasi Villa Nusa Indah,  atas nama = Muhammad Ridwan, S.Kom. Semoga dana yang terkumpul dapat meringankan biaya pengobatan beliau. Wassalam !!


Rabu, 19 Januari 2011

JEFFREY DAHMER PEMBUNUH 17 PRIA HOMOSEKS DARI MILWAUKEE, AS

TRUE  STORY
Pinrang, 18 Januari 2011
JEFFREY DAHMER PEMBUNUH 17 PRIA HOMOSEKS DARI MILWAUKEE, AS
MEMBURU NYAWA DI BAR HOMOSEKS

Di Posting oleh: Mac Dhawanks
           Ruang sidang mendadak gaduh ketika hakim membacakan vonis. Tepuk tangan bercampur dengan tangis, jeritan, dan luapan kegembiraan seperti meledak di ruang sidang. Seorang perempuan kulit hitam, Rita Isabel tak dapat mengendalikan dirinya, berteriak histeris. Ia mencerca terdakwa yang membunuh adiknya dengan cara yang sangat hina. Sambil mengeluarkan kata-kata kotor ia bahkan mencoba menerjang terdakwa yang masih duduk terpaku. Petugas, yang terkesima, hamper terlambat mengendalikan keadaan.
           Hari itu, Senin 17 Februari 1992, pengadilan Milawaukee, Negara bagian Wilconsin, menetapkan hukuman Jeffrey Dahmer. Pria berusia 32 tahun ini mendapat 15 kali hukuman penjara seumur hidup. Hakim menyatakan bahwa Dahmer,yang dihukum untuk kejahatan pembunuhan, tidak boleh dibebaskan dengan syarat apa pun, sampai 926 tahun ke depan.
           Jeffrey Dahmer, buruh pabrik coklat, membunuh secara berturut-turut 15 pemuda sejak tahun 1988. Semuanya pemuda homoseks dan kebanyakan berkulit hitam. Tapi kejahatannya tak cuma ini. Dahmer melakukan pula kekejian yang sulit dibayangkan bisa dilakukan manusia normal; meneyetubuhi mayat korban, mencincang, dan memekana dagingnya. Namun, juri berkesimpulan, pembunuh sinting itu melakukannya perbuatannya dengan pikiran waras.
           Dahmer, tinggi 175 cm, tegap dan berambut ikal, memang bagaikan tokoh film horor yang menjadi kenyataan. Dilemari es di dapur tempat tinggalnya, di West Allis, daerah pinggiran    Milwaukee, ia menyimpan dua jantung orang dan tiga kepala manusia. Di dapur itu ada sebuah gentong besar berwarna biru tempat melarutkan daging manusia dan sebuah panci untuk merebus kepala agar gampang dikuliti.
           Normalkah Dahmer? Inilah perdebatan dalam siding tiga minggu yang menarik perhatian umum dan disiarkan jaringan televisi secara nasional. Lima psikiater, dua psikolog, dan dua detektif polisi dikerahkan untuk mengungkap latar belakang kejiwaan Dahmer. Mereka secara bersama mewawancarai Dahmer selama 130 jam. Hasilnya diungkapkan dalam, sanity trial, sidang untuk membuktikan tingkat kewarasan pelaku kejahatan. Sidang inilah yang menentukan apakah Dahmer dihukum atau dimasukkan ke dalam rumah sakit jiwa, yang memungkingkan ia suatu waktu bebas.
           Dua psikiater berpendapat nekrofilia dan memakan orang adalah bukti sakit mental yang mendorongnya untuk melakukan pembunuhan. Ini pula inti pembelaan Gerald Boyle, penasihat hukum Dahmer yang bertugas membela terdakwa. Tindakan menyetubuhi mayat dan memakan daging sesama hanya dapat dilakukan oleh orang sakit jiwa,“ kata pembela. Tapi dikubu lain Dr. George Palermo yakin bahwa Dahmer seorang yang kompulsif, anti sosial yang membunuh karena desakan nafsu birahi. Tapi ia tidak gila. Pernyataan ini diperkuat seorang jaksa penuntut yang menyebutkan Dahmer punya perhitungan cermat. Ia, misalnya membutuhkan pil tidur untuk membuat korbannya menyerah.
           Normal atau tidak, Dahmer seorang manusia dari jenis yang sangat tidak biasa. Ketika ditangkap pada bulan Juli tahun 1991, Dahmer tak secuil pun menunjukkan perubahan emosi sewaktu membeberkan rangkaian kejahatannya. Ia ngomong soal membunuh orang seperti menuang air dalam gelas,“ kata wakil polisi wilayah West Allis, Robert Due. Dengan sikap ini pula ia mengisahkan semua kejadian, laporan modus operandi rangkaiannya setebal 160 halaman folio.
           Dahmer, yang pernah menjadi tentara, menggaet mangsa di tempat-tempat hiburan di Walker’s Point. Kadang-kadang di pusat perbelanjaan dan halte bus. Bercelana jeans dan kaus, begitu kebiasannya, ia masuk ke bar, disko atau tempat mandi para gay, dan mulai mengintai mangsanya. Bila menemukan sasaran, ia mulai melempar umpan, misalnya dengan sapaan bersahabat. “Hai, saya Jeff, saya suka gaya dansamu.”
           Januari 1988, Dahmer mendapat mangsa empuk di tempat pemberhentian bus. James Doxtator, remaja 14 tahun. Anak tanggung ini ditawari menjadi model foto telanjang dengan iming-iming duit, Doxtator mengiyakan. Maka, ia dibawa ke apartemen Oxford 213 – tempat Dahmer bersama neneknya yang sakit-sakitan. Yang terjadi,anak itu “diperkosa”. Sesudahnya, Doxtator dipaksa menenggak minuman yang telah dicampur obat tidur. Ia pingsan. Sang iblis dari Milwaukee ini lalu menggarap korbannya yang sudah menjadi mayat secara berulang-ulang sebelum dilenyapkan dengan rapi.
           Modus yang sama dipraktekkan pada korban kedua di Milwaukee. Kali ini korbannya Richard Guerrero, 23 tahun, yang dipancing di bar khusus gay. Masih dalam bulan itu, tamat pula riwayat Anthony Sears, 24 tahun. Kepala almarhum direbus sebelum dikuliti. Tengkoraknya dicat, entah untuk apa atau mungkin di pajang untuk karya seni ala Dahmer.
           Kelakuan laknat ini berhenti untuk sementara ketika ditangkap pada 1989. Bukan karena pembunuhan, tapi penganiayaan terhadap seorang anak 13 tahun. Sanksinya, ia diharuskan masuk pusat rehabilitasi Milwaukee selama1 tahun.
           Setelah hukuman itu lewat, Dahmer melanjutkan serial pembunuhannya. Kali ini mangsanya agak tua, Raymond Smith, 32 tahun dan Edward Smith, 27 tahun. (Tak dijelaskan apakah kedua Smith punya hubungan keluarga). Serial pembunuhan ini berlangsung terus sampai mencapai 15 orang. Sebenarnya ia membunuh 17 pria. Dalam peradilan di Milwaukee, hanya 15 kasus yang diadili. Pembunuhan yang dilakukannya di Milwaukee terjadi pada tahun 1988 sampai 1991. Dua pembunuhan itu terjadi sebelum 1988, pada masa remajanya di Negara Bagian Ohio.
           Dahmer punya cara pelenyapan mayat yang sistematis. Dimulai dengan memperkecil ukuran lewat pemotongan (mutilasi), lalu merendamnya dalam larutan asam untuk melunakkan tulang-tulangnya. Setelah itu, Dahmer tinggal memasukkan “sampah” ke dalam toilet, dan bagian-bagian manusia ini lenyap seperti kotoran di lubang peturasan.
           Namun, setan-setan di otaknya seperti mendorongnya melakukan tindakan lebih keji, lebih sensasional. Dahmer mendapat gagasan untuk menyantap korbannya. Dan sedikitnya ada tiga korban yang masuk ke dalam perutnya, Mayat Oliver Lacy disetubuhi dulu untuk memuaskan desakan nekrofilia dalam dirinya, lalu dicincang, dikuliti, disantap, sebelum dibuang.
           Konon, sejak umur 14 tahun, fantasi-fantasi Dahmer sudah mulai ganjil, antara lain membayangkan berhubungan intim dengan mayat. Masa kecil Dahmer memang muram. Ia dilahirkan di Milwaukee pada tahun 1960, sebagai anak seorang ahli kimia. Perkawinan orangtuanya rombeng. Ibu bapaknya bertengkar terus menerus.
           Masa kanak-kanaknya juga terluka oleh hal lain. Dahmer korban penganiayaan seksual tetangganya pada umur delapan tahun. Keadaan yang ringsek semacam ini membuat Dahmer menjadi pembohong kronis, rendah diri, dan sering dibayangi rasa bermusuhan. Menurut David, adik Dahmer, abangnya sering kelihatan memukul-mukulkan ranting ke sebatang pohon dengan penuh kemarahan.
           Ketika umur Dahmer menginjak 18, orangtuanya bercerai. Ia ikut ibunya tinggal di Bath Township, Ohio. Di sini ia berkenalan dengan mariyuana, hasyis, dan menjadi pemabuk. Suatu hari ibunya lenyap begitu saja bersama adiknya. Dahmer ditinggal sendirian, dan tak punya apa-apa.
           Pada periode kehidupan inilah, tahun 1978, Dahmer memulai debutnya sebagai pembunuh. Korbannya diduga Steven Hicks, kawan sebayanya. Dahmer suatu hari, memboncengnya pulang ke rumah. Ternyata, sang kawan diantar ke peristirahatan seumur hidup dengan sejumlah hantaman barbel. Jasadnya dirusak dengan palu. Tahun lalu polisi menemukan tak kurang dari 100 potong tulang Hicks ketika mengumpulkan barang bukti untuk menuntut Dahmer.
           Enam tahun berikutnya Dahmer tinggal dengan neneknya, di West Allis, pinggiran Milwaukke. Bapaknya kawin lagi dengan Shari. Sekitar 1979 Dahmer masuk angkatan darat AS dan ditugaskan di Jerman pada awal 1980. Hanya setahun ia bertugas. Ia dipecat karena ketahuan pemabuk berat dan diduga terlibat pembantaian dekat markas besar tentara AS di Jerman. Sekembalinya ke Milwaukke, Dahmer mencari nafkah sebagai pekerja giliran malam di pabrik cokelat Ambrosia.
           Dalam kesaksian Dr. George Palermo, sebelum di pabrik cokelat, Dahmer pernah bekerja di bank plasma darah. Hanya sebentar karena, kata Palermo yang juga staf di bank darah, penjahat berkaliber itu tak punya keberanian menusukkan jarum suntik ke tubuh pasien. Lalu bagaimana mungkin ia tega membantai bahkan mencincang orang ? Tak mudah memang menjelaskan keadaan jiwa yang sudah berbelok – belok.
           Ketika pada tahun 1986 Dahmer masuk lembaga rehabilitasi pemerintah, pengawas mencatat persoalan yang dihadapinya, perilaku seksual, pengendalian, emosi, alkohol, dan uang. Pada seorang kawan dekat ia konon pernah mengeluh soal homoseksnya. “Apa ada sesuatu pada saya?”, katanya pada kawan tadi – Sumber Newsweek yang dirahasiakan. Rupanya, Dahmer merasa terganggu dengan kelainan seksualnya. Ia diam-diam membenci dirinya. Ketika masuk program rehabilitasi, ia pernah mengatakan, “Saya akan bunuh diri. Cuma soal waktu.”
           Sekitar 1987, Dahmer mulai menebarkan bencana di Milwaukee. Ia merancang modus operandinya dengan seksama. Dimulai dari mencoba efek obat tidur terhadap korbannya. Ia mula-mula menjadi anggota Klub Milwaukee, tempat mandi uap khusus cowok. Setelah main cinta dengan teman yang ketemu di sana, ia biasanya menawarkan minuman untuk menambah tenaga. Empat atau lima teman kencannya mengeluh tak enak badan setelah menenggak minuman bikinan Dahmer. Baru pada “kelinci percobaan” kelima, Dahmer berhasil. Seorang tamu terjerambab pingsan. Manajer klub tersebut mencurigai Dahmer dan mencabut keanggotaannya.
           “Baiklah,” kata Dahmer ketika diberi tahu. Ia pindah ke bar Phoenix dan kembali memulai operasinya Februari 1988, ia mengajak Bobby Duane Simpson, 27 tahun, ke rumahnya di West Allis.
           Di ruang tidur Dahmer membisiki dia bahwa neneknya sudah tidur. Mereka berciuman, kemudian Dahmer pergi ke dapur membuatkan secangkir kopi. Simpson menyeruput dua kali, lalu pingsan.
           Ketika bangun, Simpson sudah berada di ruang bawah tanah. Bingung dan grogi. Di hadapannya, Dahmer berdiri telanjang. Kendati berhasil meloloskan diri, ia tidak melaporkan kejadian itu ke polisi. Tapi keesokannya, ketika ia bercerita di Phoenix, bar tender menatapnya dan berkata, “Kamu kena juga?”
           Korbannya selanjutnya Ronald Flowers. Digarap dengan cara yang sama dengan Simpson. Bedanya, bangun-bangun ia sudah di rumah sakit. Tak jelas siapa yang membawanya. Ia melapor ke polisi setempat dengan tuduhan Dahmer meracuninya dan mencuri duitnya US$ 240 dari dompet. Tapi ketika dilakukan pengetesan darah untuk melacak kebenaran laporannya, tidak ditemukan sisa racun. Kasus Flowers didrop. Dahmer, anak ahli kimia itu, pintar memilih pil Halcion, yang cepat lenyap bekasnya dalam darah.
           Seorang psikiater kondang, David Abrahamsen, menilai percobaan-percobaan itu menunjukkan bahwa terdakwa bukan cuma makhluk impulsif. “Ia tahu apa yang dilakukannya, dan ia sadar tindakan sebenarnya salah,” kata ahli jiwa yang pernah menangani kasus psikopat populer, Lee Harvey Oswald. Saksi ahli psikolog Judith Becker menambahkan, obsesi nekrofilia Dahmer mendapat pemuasan setelah ia nekat melaksanakannya pada korban pertama. Sensasi pemuasaan inilah yang kemudian terus-menerus mendorongnya untuk melakukannya kembali persetubuhan dengan mayat. Tidak ada jalan lain kecuali dengan membunuh.
           Namun, pengacara Gerald Boyle mengutarakan sebenarnya Dahmer mencoba mengontrol fantasi seksualnya lewat mencuri mayat dari kuburan. Pernah juga ia mencuri manekin dari sebuah toko. Analisa Boyle, Dahmer yang sangat pendiam dan pemalu itu, ingin menciptakan “zombie” (mayat hidup)”. Makhluk  ini diperlakukan sebagai teman setia. “Menurut pikirannya, ia bermaksud memelihara teman yang tak akan meninggalkannya itu,” kata Boyle.
           Tidak semua buruan Dahmer sampai dihabisi. Sedikitnya ada lima korban yang lolos. Misalnya pelapor yang minta namanya disamarkan sebagai Mr. A. Korban ini biseks keturunan Afrika. Mr. A terjerat gombal Dahmer di klub 219, Juli 1991, sekitar 48 jam sebelum Dahmer ditangkap. “Kamu laki-laki paling menarik yang pernah saya temui di Milwaukee,” kata Dahmer melontarkan jerat. Ia memperkenalkan diri sebagai ahli peralatan listrik dari Chicago yang kesepian. Ia menawarkan US$ 100 pada Mr. A sekedar untuk ngobrol, tanpa seks.
           Keduanya tiba di apartemen 213. Mr. A mencium bau tidak enak di kamar itu. Tiba-tiba matanya menangkap ada noda darah kering diseprai tempat tidur Dahmer dan sebilah pisau bergagang plastik biru. Ia menatap mata Dahmer yang ternyata tak berubah. Bulu kuduk Mr. A merinding. Ia tahu ada sesuatu yang tidak beres dan lalu berusaha kabur dari kamar itu. Ia berhasil setelah berteriak, menginjak kaki Dahmer, dan mendobrak pintu.
           Sebenarnya, serial kejahatan Dahmer bias dihentikan lebih dini. Di suatu pagi 27 Mei tahun l991, di jalanan dekat rumah Dahmer tampak seorang pemuda 14 tahun. Tubuhnya telanjang dan kakinya penuh darah bekas cakaran. Ia dikejar-kejar pemuda jangkung berambut pirang. Melihat ada yang tidak biasa, tetangga-tetangga Dahmer yang kebanyakan kulit hitam menelepon polisi.
           Tapi ketika petugas kepolisian datang, seorang pemuda berambut pirang yang ramah mendekati mereka. Pemuda pirang itu meyakinkan polisi bahwa anak muda yang limbung itu kekasihnya. Dia dan pacarnya, kata pemuda pirang itu, baru bertengkar. Akibatnya begitu, entah bagaimana polisi percaya saja. Petugas berseragam tersebut malah mengantarkan remaja bermata sipit itu ke apartemen si pirang tanpa menemukan keanehan apa pun. Mereka meninggalkan tempat kejadian sambil menertawakan insiden asmara homoseks itu.
           Bisa ditebak siapa lelaki berambut pirang tadi. Betul, Dahmer. Maka, polisi tak tahu bahwa di balik pintu rumah yang baru ditinggalkan, Dahmer melanjutkan aksi kejahatan yang sempat terhenti karena korban mencoba melarikan diri. Anak malang itu langsung dicekik. Belakangan baru jelas, remaja yang ngambek itu Konerak Sinthasomphone, berumur 14 tahun. Ia anak keluarga dari imigran laos.
           Seperti dalam pembunuhan berantai lainnya, korban-korbannya orang “pilihan” yang punya ciri-ciri serupa. Sebagian besar mangsa Dahmer berkulit hitam. Sisanya, “warga negara kelas dua” seperti imigran tadi. Bekas rekan-rekan Dahmer ingat bahwa si jagal itu selau mengomel tentang orang – orang Negro.
           Polisi menduga, Dahmer mengembangkan modus operandi itu karena merasa remaja dari kelompok minoritas lebih muda dimangsa. Dugaan lain, pilihan itu akan membuat aksi kejahatannya tertutup sempurna. Kalau Dahmer membantai orang-orang kulit putih, pembunuhan itu akan mendapat perhatian polisi lebih awal.
           Analisa polisi itu sempat menimbulkan gejolak dikalangan orang kulit hitam Milwaukee. “Ini kota yang sangat rasial,” kata aktivitas kulit hitam, Queen Hyler. Mereka menyalahkan polisi dalam kasus anak Laos itu. Mengapa polisi lebih percaya pada Dahmer hanya karena ia kulit putih daripada dua wanita hitam yang melaporkan kejadian di jalanan itu. Para pemimpin kelompok gay juga unjuk rasa. Mereka menuduh polisi kaku dan cuek. Tiga polisi yang “salah percaya” dalam kasus 27 Mei 1991 tadi akhirnya diskors.
           Karena kelambanan itu, borok Dahmer baru terungkap dua bulan kemudian. Ini berkat jasa calon korban Tracy Edward, 32 tahun, yang berhasil kabur kendati tangannya sudah diborgol. Edward langsung lari ke kantor Polisi. Malam itu juga petugas keamanan menggerebek apartemen 213, yang menjadi ladang pembantaian Dahmer. Dan polisi memang tercengang.
           Dua kepala manusia teronggok di lemari es, dan satu lagi yang sudah dikuliti di kotak pendinginnya. Tengkorak dan tulang berserakan di kamar mandi dan lemari arsip. Dan bekas-bekas tangan manusia dan kelamin tersimpan di cerek. Tak heran bila tetangga sering diterpa bau busuk.
           Dahmer, yang sekejam Dr. Hannibal Lecter dalam film The Silence of the Lamb, langsung ditahan dan diborgol. Di rumahnya masih tersimpan sisa-sisa 11 tubuh sejumlah korbannya. “Barangkali Tuhan mengirim saya ke apartemen itu untuk membongkar kebejatan Dahmer,” kata Edward. Seluruh paket kejahatan Dahmer, sesudah itu, terbongkar. Ditemukan berbagai barang bukti dan segudang saksi.
           Pembela Dahmer, berusaha keras menguatkan inti pembelaannya, yaitu “dalih ketidakwarasan” yang dapat meringankan hukuman. Tidak mudah membawa pembelaan ini karena secara umum hanya 10 persen dari pembunuh serial yang terbukti gila. Upaya ini juga mendapat tantangan berat dari masyarakat. Juri menyimpulkan Dahmer waras karena mengamati antara lain tindakan Dahmer terhadap remaja Laos yang disebutkan tadi. Ia masih bisa membohongi polisi hanya sesaat sebelum ia menjagal korbannya.
           Dahmer sendiri tampak pasrah. Dalam pernyataan terakhir sebelum hakim menjatuhkan vonis, Dahmer memohon maaf pada semua keluarga korban. “Mereka berhak membenci saya,” katanya. Ketika vonis dibacakan, para wartawan yang meliput persidangan mencatat “tak ada ekspresi di wajah Dahmer”.
           Sebelum menjalani hukumannya di Milwaukee, Dahmer akan dibawa ke Ohio untuk mempertanggungjawabkan pembunuhan yang terjadi di wilayah hukum negara bagian itu. Setelah persidangan selesai, ia akan dikembalikan ke Milwaukee untuk mendekam di kamar 2,5 X 3 meter, di Columbia Correctional Institution di Portage, sebuah daerah pedesaan di pinggiran Milwaukee.
           Dahmer termasuk penjahat yang harus mendekam di penjara khusus, penjara dengan pengamanan paling ketat. Di sini terdapat 28 layar monitor, pintu baja elektronik, pagar berduri, dan sistem deteksi dengan kamera-kamera di berbagai sudut. Dalam ilmu jiwa, manusia semacam ini memang bias membunuh lagi. Ia juga tidak bisa dipercaya, licik, pandai membual, nekat, buas dan berjiwa laknat.
Sumber : Tulisan Bunga Surawijaya di Majalah Tempo No. 53 Tahun XXI – 29 Februari 1992