Sabtu, 05 Mei 2012

Mengenal Suku Dawan


Oleh: Erick Sila

I. Pendahuluan
Suku Dawan adalah salah satu suku terbesar dari beberapa suku lain: “Tetun, Bunak, Helon, Kemak, Rote dan Sabu. Suku Dawan menempati seluruh wilayah Timor Barat yaitu kabupaten Kupang, Timor Tengah Selatan (TTS), dan Timor Tengah Utara (TTU). Masyarakat suku Dawan hidup dalam kelompok-kelompok berdasarkan kanaf (marga). Setiap kanaf memiliki adat istiadatnya masing-masing.
Masyarakat Timor Dawan disebut juga sebagai orang atoni (manusia). Orang atoni biasanya hidup di daerah pedalaman yang bersifat amat kering. Masyarakat Dawan umumnya bekerja sebagai petani. Oleh karena itu, hidup mereka sangat tergantung dari alam. Alam dapat membawa kebahagiaan dan kesejahteraan bagi manusia dan juga bisah mendatangkan malapetaka. Hal ini tergantug bagaimana manusia mengusahakannya.
Untuk menjaga keharmonisan dengan alam, masyarakat Dawan meiliki berbagai tradisi lisan. Tradisi-tradisi lisan tersebut umumnya berkaitan erat dengan bahasa-bahasa ritual dan upacara formal dalam masyarakat tersebut. Kehidupan masyarakat Dawan meliki hubungan yang erat antara ritus dan mitos pertanian, yang juga berhubungan erat dengan keyakinan religius tradisional. Kehidupan masyarakat dawan selalu diwarnai oleh berbagai ritus primitif dalam setiap kegiatan hidup mereka.
Salah satu ritus yang yang masih dikenal dan dipraktekkan oleh masyarakat Dawan primitif itu yakni fua pah. Ritus ini diciptakan untuk menyiasati alam yang gersang dan iklim yang kurang bersahabat. Fua pah adalah salah satu ritus yang berhubungan erat dengan sistem kepaercayaan masyarakat Dawan mengenai (Tuhan, Roh, Alam Semesta, Bumi dan Kerja). Fua pah merupakan penyembahan terhadap wujud tertinggi yang tidak diketahui dan dijangkau oleh daya nalar manusia. Akan tetapi, kehadiran dari wujud tertinggi tersebut dirasakan sebagai sesuatu yang dasyat yang melebihi kekuatan manusia.
Hal ini tidak akan kita pahami tanpa mengetahui hubungan antara bercocok tanam, Tuhan, dan pemujaan terhadap roh dalam ritus fua pah itu sendiri. Maka melalui tulisan ini, penulis ingin menggali makna yang tersirat dalam ritus ini.
II. Pola Hidup
Masyarakat Dawan Masyarakat Dawan yang hidup di daerah pulau Timor umumnya hidup dalam kelompok-kelompok, membentuk komunitas berdasarkan kanaf (marga). Komunitas ini hampir bersifat ekslusif dengan latar belakang budaya yang berbeda-beda. Masyarakat Dawan pada umumnya hidup dengan bercocok tanam dan beternak. Hal ini merupakan pengaruh yang sangat besar dari komposisi tanah, iklim dan sumber air di wilayah tersebut. Keadaan tanah berupa tanah liat berpori yang mengandung kapur sangat sulit bagi tumbuhnya vegetasi penutup. Pada saat musim hujan keadaan tanah banyak mengandung air dan mengembang ketika sudah penuh dengan air hujan.
Pada saat musim kemarau, tanah menjadi kering dan sangat sulit menemukan sumber air di daerah-daerah yang lebih rendah. Faktor-faktor alam seperti inilah yang mebuat masyarakat lebih memilih tinggal di daerah-daerah pegunungan yang banyak air. Daerah pegunungan merupakan pusat pemukiman dan pusat pertanian. Daerah pegunungan merupakan pusat pengembangan usaha tani lahan kering yang di dominasi oleh tanaman palawija dan jagung. Daerah atau wilayah yang keadaan tanahnya berupa tanah liat umumnya digunakan sebagai bahan dasar untuk kerajinan. Misalnya membuat periuk dari tanah liat, patung-patung, pot bunga, asbak rokok, dan jenis kerajinan tangan lainnya yang memiliki nilai jual yang tinggi. Sementara untuk tempat pertanian, umumnya mereka memilih dataran tinggi sebagai tempat mengembangkan usaha pertanian. Masyarakat Dawan mengembangkan usaha pertanian di daerah pegunungan; berpindah-pindah tempat dengan sistem tebas-bakar.
Itulah sebabnya, pusat pemukiman masyarakat Dawan umumnya ditemukan di wilayah-wilayah pegunungan yakni di daerah pedalaman pulau Timor yang kondisi tanahnya sangat kering. Maka tidak mengherankan bagi kita apabila orang Dawan menamakan dirinya Atoni Pah Meto, yang artinya “Orang daerah kering” atau “Orang tanah kering”.
III. Konsep Allah
Menurut Masyarakat Dawan Jauh sebelum agama Kristen masuk ke Pulau Timor, masyarakat Dawan telah memiliki konsep tentang “Yang Ilahi”. Pengalaman akan “Yang Ilahi” dialalami dalam seiap kegiatan hidup manusia. Pengalaman hidup merupakan titik tolak hidup religius atau beragama.
Sudah sejak zaman dahulu masyarakat Dawan mengahadapi kenyataan hidup yang tidak dapat ditangkap secara rasional. Apa yang dialami dalam kehidupannya ditanggapi sebagai suatu misteri. Misteri tersebut tidak sama dengan teka-teki. Ia adalah misteri besar yang tidak pernah dimengerti, namun tidak disangkal kebenarannya dalam setiap pengalaman manusia. Oleh karena itu, masyarakat Dawan menyebut “Yang Tertinggi” itu dengan sebutan Uis Neno.
Selain Tuhan langit, Masyarakat Timor Dawan juga mengakui adanya Tuhan bumi atau penguasa alam semesta. Tuhan bumi ini disebut Uis Pah atau Pah Tuaf (pah artinya dunia atau alam). Uis Neno dan Uis Pah atau Pah Tuaf diakui membentuk satu kesatuan ilahi. Walaupun demikian superioritas Uis Neno tetap nyata. Kuasa Uis Neno melampaui kekuasaan dewa manapun. Uis Neno dan Uis Pah atau Pah Tuaf memiliki sifat yang berbeda. Uis Neno merupakan sang pencipta, sang penyelenggara dan Mahakuasa.
Uis Pah atau Pah Tuaf diaggap sebagai pembawa malapetaka bagi manusia. Oleh karena itu, manusia harus berusaha mengambil hati mereka dengan berbagai upacara ritual. Salah satu upacara ritual seperti yang akan kita lihat pada bagian berikut adalah upacara Fua Pah.
A. Uis Neno (Tuhan )
Uis Neno berasal dari kata Uis atau Usi artinya Raja, Tuan, Yang Empunya, sedangkan Neno artinya hari, langit, Yang tertinggi. Uis Neno diartikan sebagai Dewa atau “Tuhan”.
Uis Neno adalah “Dewa Langit” atau “Dewa Tertinggi”, memiliki kekuatan yang lebih tinggi, dan berkuasa atas langit dan bumi yang diyakini oleh masyarakat Dawan sebagai “Tuhan”.
Uis Neno dianggap sebagai asal mula segala sesuatu; pencipta, pemelihara dan penguasa alam semesta. Uis Neno juga digambarkan sebagai Apinat ma Aklaat atau “Yang Bernyala dan Yang Membara”, Afinit ma Amnaut atau “Yang Tertinggi dan Yang Mengatasi Segala Sesuatu”.
Uis Neno juga diyakini sebagai pemberi Manikin ma Oetene atau “Yang memberi kita makanan dan kesehatan”. Uis Neno tidak boleh disebutkan namanya secara langsung. Ia adalah dewa pemberi hujan, sinar matahari, atau untuk medapatkan keturunan, kesehatan dan kesejahteraan.
Dalam tradisinya, Uis Neno adalah Dewa yang paling istimewa dari dewa-dewa lain yang ada dalam masyarakat suku Dawan.  Ritus Fua Pah Fua Pah adalah salah satu upacara ritual masyarakat Timor Dawan terhadap Uis Neno atau uis pah atau Pah Tuaf sebagai penguasa langit dan bumi. Upacara ritual ini dilaksanakan pada saat masyarakat Timor Dawan hendak mepersiapkan lahan pertanian yang baru maupun syukur atas panenan yang baru. Masyarakat Timor Dawan percaya bahwa Uis
Pengertian Tradisi Fua Pah Secara etimologis, Fua Pah berasal dari akar kata kerja fuat yang artinya menyembah, menengadah, dan memohon dengan harapan doa dikabulkan, sedangkan Pah artinya bumi, dunia atau alam. Dalam kaitannya dengan dunia agraris, Fua Pah bearti menyembah raja atau penguasa bumi atau alam.
Upacara ritual Fua Pah adalah sebuah upacara penyembahan kepada Tuhan Tertinggi dengan mempersembahkan sesajen. Upacara ini dilaksanakan dengan berbagai intensi sesuai dengan kebutuhan misalnya ketika hendak membuka lahan pertanian yang baru, syukur atas hasil panen dan sebagainya.
Tempat yang biasa digunakan untuk melangsungkan upacara ini adalah di gunung atau di ladang. Tempat-tempat semacam ini dianggap memiliki kekuatan dan dianggap suci. Anggapan akan tempampat-tempat suci seperti gunung, bukit, dan batu besar tidak hanya diakui oleh masyarakat Timor Dawan melainkan juga oleh berbagai suku di Indonesia. 
Peranan Uis Neno Bagi Masyarakat Dawan Kehadiran Uis Neno bagi masyarakat Timor Dawan lahir dari pengalaman perjumpaan dengan ciptaan yang lain. Pengalam itu dirasakan sebagai sesuatu yang menggetarkan dan melampaui daya nalar manusia. Pengalaman inilah yang membuat masyarakat Timor Dawan sampai pada suatu kesimpulan bahwa “sesuatu yang tidak dapat dimengerti itu adalah Tuhan, yang bagi masyarakat Dawan adalah Uis Neno.
Kehadiran Uis Neno menurut pemahaman masyarakat Timor Dawan adalah melalui air, tanah, langit, serta benda-benda alamiah lainya seperti batu besar, pohon beringin yang dianggap memiliki kekuatan dan dianggap sakral. Uis Neno yang adalah pencipta dan pemelihara sangat berperan dalam hidup manusia.
Peran Uis Neno dalam masyarakat Dawan, dilihat berdasarkan sifat-sifat ilahi-Nya yakni:
1. Apinat ma Aklaat: menyala dan membara Hal ini mengindikasikan Uis Neno dengan matahari. Kekuatan panas dan cahaya matahari yang dasyat tidak dapat ditandingi oleh kekuatan panas atau cahaya manapun. Uis Neno yang adalah Mahakuasa tidak dapat dilampaui oleh kuasa manapun. Uis neno adalah matahari dan cahaya sejati.
2. Amoet ma Apakaet: pencipta dan pemelihara Uis Neno adalah Tuhan pencipta alam semesta beserta segala isinya. Ia adalah penyebab segala sesuatu. Dia adalah penguasa langit dan bumi dan segala mahkluk harus tunduk kepada-Nya.
3. Alikin ma Apean: pembuka jalan dan mengatur kehidupan Uis Neno adalah penyebab awal dari segala sesuatu. Dia yang pertama memulai segala sesuatu dan segala mahkluk tergantung kepada-Nya. Ia juga yang mengatur seluruh perjalanan hidup manusia. Ia adalah alva dan omega, awal dan akhir.
B. Uis Pah atau Pah Tuaf (Dewa Bumi)
Uis Pah adalah sebutan untuk roh yang dianggap berkuasa atas tanah. Menurut kerpercayaan masyarakat Dawan, roh-roh tersebut adalah penghuni pohon-pohon besar, batu-batu besar, sungai dan gunung. Dewa ini dianggap sebagai dewi wanita yang mendampingi Uis neno.
Setiap roh yang mendiami tempat-tempat tersebut di atas memiliki peranannya masing-masing. “Roh-roh dan dewa-dewi ini, menurut H.G. Nordholt Schulte adalah berbagai variasi manifestasi dari dewa tertinggi orang Dawan Uis Neno […] dewa tertinggi ini memanifestasikan dirinya dalam berbagai jenis dewa-dewi rendah lainya dan diberi wewenang untuk menangani daerah-daerah atau bagian-bagian kehidupan tertentu”.
IV. Ritus Bercocok Tanam
Dengan kondisi alam yang tandus dan kering, masyarakat Dawan umumnya bertani berpindah-pindah tempat. Untuk persiapan lahan, masyarakat Dawan harus melewati beberapa tahap berikut: “(1) tahap menebas hutan/membersihkan kebun (ta’nelat hun mau), (2) tahap membakar hutan (polo nopo/sifo nopo), (3) tahap menanam (tapoen fini buke), (4) tahap pertumbuhan tanaman (eka ho’e), (5) tahap panen perdana (eka pen a smanan ma anne smanan)” .
Penjelasan tahap-tahap tersebut adalah sebagai berikut: a. Tahap menebas hutan/membersihkan kebun (ta’nelat hun mau) Hutan yang telah ditentukan dikerjakan secara bersama-sama atau gotong royong. Dalam tahap ini seekor binatang dikorbankan.
Hal ini bertujuan untuk memohonkan kekuatan dan semangat serta keselamatan bagi mereka yang sedang bekerja misalnya sengatan ular berbisa, ditimpa pohon dan luka akibat penggunaan parang. b. Tahap Membakar Hutan (polo nopo/sifo nopo) Tiga minggu berselang dan ranting-ranting sudah kering, maka tibalah saatnya untuk dibakar. Proses pembakaran biasanya dilakukan pada sore atau malam hari.
Dipilih pada sore atau malam hari karena pada saat itu angin yang bertiup tidak begitu kencang. Hal ini bertujuan agar api tidak merambah ke hutan disekitarnya. Setelah kebun baru dibakar, semua orang kembali ke kampung. Setibanya disana mereka disiram dengan air. Penyiraman kepada para pekerja mempunyai makna simbolis, yaitu menyeimbangkan kembali kekuatan-kekuatan alam. Bumi yang panas akibat pembakaran kebun memjadi dingin kembali.
Dengan demikian mereka berbesar hati untuk mendapatkan hasil yang berlimpah. c. Tahap Menanam (tapoen fini buke) Pada saat musim hujan tiba, masyarakat Dawan mulai mempersiapkan benih yang akan ditanam. Sebelum ditanam benih tersebut harus dibawa ke kepala suku atau amaf, untuk dimohonkan berkat atas benih-benih tersebut. Sebelum dimohonkan berkat, benih-benih tersebut diletakan di atas sebuah altar batu.
hal ini bertujuan agar benih-benih yang ditanam bebas dari serangan semut dan binatang-binatang lain. d. Tahap Pertumbuhan Tanaman (eka ho’e) Ketika tanaman sudah mulai tumbuh, dilakukan upacara eka ho’e. upacara ini dilangsungkan secara sederhana dengan mempersembahkn seekor hewan korban. Sebelum upacara makan bersama (tol tabua), amaf mendaraskan sebuah doa adat.
Hal ini bertujuan untuk menghindari erosi yang disebabkan oleh hujan lebat. e. Tahap Panen Perdana (eka pen a smanan ma anne smanan) Ketika tiba waktunya, dipilih beberapa jagung yang besar, lengkap dengan daun dan batangnya untuk dipersembahkan kepada Uis Pah. Semua bulir jagung yang dibawa oleh masyarakat diletakan diatas altar batu. Seorang amaf mendaraskan doa. Setelah itu, semua jagung yang dibawa masyarakat dimasak dan dimakan bersama-sama. Upacara ini menandakan bahwa jagung baru sudah bisa dimakan.
V. Tradisi Fua Pah
Telah dikatakan bahwa selain Tuhan tertinggi (Uis Neno), masyarakat dawan juga mengakui adanya Tuhan bumi (Uis Pah atau Pah Tuaf). Telah dikatakan juga bahwa keduanya memiliki sifat khasnya masing masing. Uis Neno memiliki sifat-sifat yang baik sedangkan Uis Pah atau Pah Tuaf memiliki sifat-sifat yang tidak baik atau merugikan. Oleh karena itu, manusia harus mengambil hati mereka denagan mengadakan upacara-upacara ritul. 
Asal Usul Pemberian Nama Uis Neno adalah “Dewa Tertinggi” yang tidak dapat disebutkan namanya secara langsung. Ia adalah “Tuhan” yang berkuasa atas langit dan bumi. Kepada “Dewa Tertinggi” ini, masyarakat Dawan Menyebutnya sebagai Uis Neno, Tuhan hari atau langit. Yang memberikan nama Uis Neno kepada “Tuhan-nya orang Dawan Kristen” adalah para msionaris pada zaman penjajahan Portugis.
Akan tetapi, Uis Neno di sini dimengerti sebagai “Raja Langit” orang Dawan sendiri tidak pernah menyebut Uis Neno sebagai wujud tertinggi secara langsung. Dalam berbagai upacara keagamaan, sebutan untuk Uis Neno selalu dikombinasikan dengan nama atau sebutan lain seperti Uis Pah atau Uis Naijan (raja bumi atau daratan, tanah). Hal ini mau menunjukkan pola pikir masyarakat Dawan sebagai dualitas paralel komplementaris.
Walaupun demikian, sebutan-sebutan ini tidak boleh dipisahkan satu dengan yang lainnya, melainkan harus selalu didahului oleh nama Uis Neno. Oleh karena itu, kita sering menjumpai sebutan seperti Uis Neno Uis Pah atau Uis Neno Uis Naijan. Masyarakat Dawan tetap mempertahankan pemahaman ini dengan tujuan menjaga dan mengakui aspek transendensi dan imanensi. Uis Neno diyakini sangat jauh di atas langit namun dekat. Kedekatannya diperlihatkan dalam alam yang diwakili oleh dewa-dewinya.  
Fungsi Intensifukasi. Fungsi identifikasi berkaitan erat dengan usaha pembaharuan dan peningkatan hidup. Pembaharuan ini tampak dalam upacara ritual kelompok dalam mengidentifikasi kesuburan, ketersediaan buruan, dan panenan. Misalnya, banyak bintang tampak di langit pada malam hari, orang Dawan mulai mengatakan bahwa di sungai banyak ikan. Pengidentifikasian semacam ini hanyalah dianggap mitos tetapi pada tingkat perilaku manusia tidak terlepas dari fenomena ritus dan mitos. Upacara Fua Pah dilandasi oleh motifasi identifikasi sebab masyarakat menginginkan panenannya berhasil.
VI. Penutup
Masyarakat Timor Dawan adalah masyarakat ritual yang memiliki banyak sekali upaca ritual yang mewarnai setiap hidup mereka. Tuntutan akan kebutuhan hidup yang berat akibat alam yang gersang dan iklim yang kurang bersahabat, ritus Fua Pah diciptakan sebagai cara untuk menyiasati hal tersebut.
Dengan kondisi alam yang tandus dan kering, masyarakat Dawan harus bekerja keras. Salah satu cara untuk menjinakkan alam yaitu dengan pemujaan dan penghormatan kepada Uis Pah yang diyakini bertanggung jawab atas kesuburan tanah. Dalam bercocok tanam masyarakat Dawan harus melewati tahap-tahap seperti: tahap menebas hutan/membersihkan kebun (ta’nelat hun mau), tahap membakar hutan (polo nopo/sifo nopo), tahap menanam (tapoen fini buke), tahap pertumbuhan tanaman (eka ho’e), dan tahap panen perdana (eka pen a smanan ma anne smanan).
Selain itu, ritus Fua Pah juga memiliki empat fungsi utama yakni: fungsi magis, fungsi religius, fungsi faktifis, dan fungsi identifikasi. Uis Neno adalah inti dan pusat terdalam dari keyakinan dan kepercayaan tersebut. Uis Neno adalah Tuhan yang sempurna, Tuhan yang terang, dan Tuhan seluruh alam raya. Ini adalah inti dari keparcayaan orang Timor Dawan. Dengan perkembangan budaya dan pengaruh agama Kristen, tempat-tempat pemujaan terhadap dewa-dewi atau roh sedikit demi sedikit dianggap sebagai tempat suci dimana Tuhan hadir. Namun, praktek ini terkadang masih kita jumpai dalam masyarakat Dawan.
VII. Refleksi
Kritis atas Tradisi Fua Pah Sebagai Bentuk Kepercayaan Masyarakat Dawan – Timor Kepada Wujud Tertinggi. Pengalaman hidup merupakan titik tolak hidup religius atau beragama. Sudah sejak zaman dahulu kala, orang-orang menghadapi kenyataan hidup yang tidak dapat ditangkap secara rasional.
Hal itu terjadi karena apa yang dihadapi tersebut melampaui daya nalar/tangkap manusia. Apa yang dialami tersebut ditanggapi sebagai suatu misteri. Misteri tersebut tidak serup Fungsi Faktitif. Fungsi ini bekaitan erat dengan peningkatan produktifitas dan kekuatan masyarakat Timor Dawan yang bertujuan memenuhi kebutuhan material secara bersama-sama atau kelompok.
Motifasi untuk meningkatkan kesejahteraan bersama dalam suku merupakan sebuah tindakkan faktifis yang nampak dalam ritus fua Pah. Fungsi ini tidak hanya diwujudkan melaui korban kepada para leluhur melainkan terlebih sebagai peran aktif mereka dalam setiap tindakkan demi kepentingan bersama. 
Fungsi Religius. Pelaksanaan ritus Fua Pah adalah sebuah tindakkan yang dapat digolongkan sebagai sebuah tindakkan religius yang bersifat kreatif dan memiliki dimensi sosial. Dalam upacara ini, seluruh anggota masyarakat berkumpul bersama kepala suku dan secara kreatif mempersembahkan upacara ini demi kepentingan bersama. Para leluhur kita juga melalukan hal semacam ini dan itu dianggap kudus. Oleh karena itu, ritus Fua Pah dalam masyarakat Timor Dawan juga memiliki fungsi religius dan simbol religi lokal masyarakat timor Dawan. 
Fungsi Magis. Fungsi ini berkaitan erat dengan pengunaan bahan-bahan dalam upacara Fua Pah yang diyakini bekerja karena adanya daya-daya mitis. Misalnya ramalan melalui hati hewan. Dari hati hewan kurban, dapat diketahui apakah permohonan dan doa-doa kita diterima atau tidak. Tindakan ini jelas merupakan sebuah tindakkan magis, yang melaluinya manusia dapat mengetahui kehendak dari yang ilahi (Uis Neno atau Uis Pah/Pah Tuaf). Melalui upacara Fua Pah, masyarakat Timor Dawan bermaksud untuk mengambil hati Uis Neno dan Uis Pah atau Pah Tuaf agar tidak mengganggu dan merusak tanaman. Hal ini ditunjukkan dengan bahasa puisi lasi tonis yang indah dan melalui persembahan hewan kurban. 
Fungsi Ritual Fua Pah Upacara dan tindakan ritual dalam tradisi Fua Pah dapat dikategorikan ke dalam empat fungsi. Fungsi-fumgsi tersebut berkaitan erat dengan hal-hal mitis yang melatar belakanginya. Keempat fungsi ini tidak hanya berciri mitis tetapi terutama berciri sosiologis. Keempat fungsi itu adalah sebagai berikut: Neno dan Uis Pah atau Pah Tuaflah yang menyebabkan semua hasil panen yang melimpah maupun terhadap gagalnya panenan. Upacar ritual ini biasanya dilaksanakan di tempat-tempat yang dianggap suci dan memiliki kekuatan gaib seperti gunung, bukit, batu besar, dan pohon beringin yang besar. Tempat-tempat semacam ini diakui oleh masyarakat Timor Dawan sebagai tempat Uis Neno maupun Uis Pah atau Pah Tuaf mewahyukan diri.
Di tempat-tempat inilah masyarakat Timor Dawan melaksanakan upacara ritual ini. Orang yang berperan penting dalam upacara ritual ini adalah tobe yakni “imam”. Orang yang berperan sebagai “imam” dalam upacara ritual ini adalah tua adat atau kepala suku yang dituakan dalam masyarakat Timor Dawan. Dalam upacara ritual ini, hal-hal yang diperlukan ialah hewan kurban (sapi, babi, ayam atau kambing), muti atau iun leko (kalung orang Dawan yang terbuat dari batu berwarna merah ada juga yang terbuat dari emas), puah ma manus (sirih-pinang), tua nakaf (sopi kepala, minuman keras terbaik orang Dawan).
Puah-manus dan tua nakaf berfungsi sebagai komunikasi religius dan menjaga hubungan baik dan serasi dengan Uis Neno dan yang terakhir adalah bete-tais (kain sarung orang Dawan). Upacara ritual untuk mempersembahkan kurban kepada Uis Neno ini dilasanakan sebanyak lima atau enam tahap mulai dari persiapan lahan pertanian yang baru sampai pada tahap menuai.
Pada bagian ke IV telah kita lihat kelima tahap kegiatan pertanian yakni: Tahap menebas hutan atau membersihkan kebun (ta’nelat hun mau), tahap Membakar Hutan (polo nopo/sifo nopo), Tahap Menanam (tapoen fini buke), Tahap Pertumbuhan Tanaman (eka ho’e), dan Tahap Panen Perdana (eka pen a smanan ma anne smanan). Upacara ritual ini dilaksanakan dengan pembacaan doa atau mantra untuk menunaikan pujian, permohonan dan syukur kepada Uis Neno. Doa-doa atau mantra dalam masyarakat Timor Dawan disebut sebagai lasi tonis.
Doa atau mantra ini disampaikan oleh seorang tobe atau “imam”, tua adat yang mendapat kepercayaan dari masyarakat setempat. Tobe dalam masyarakat Timor Dawan memiliki peranan penting dalam segala upacara adat maupun upacara seremonial lainnya. Tobe dalam masyarakat Timor Dawan adalah orang yang terberkati dan memiliki kekuatan magis religius. Segala ucapan doa atau mantra yang disampaikan oleh seorang tobe memiliki kekuatan yang dianggap melebihi sebuah mata pedang. Kata-kata doa atau mantra yang disampaikan oleh tobe dianggap mujarab dan menyampaikan kebenaran. Setelah pembacaan lasi tonis (doa atau mantra) oleh tobe, upacara ritual ini dilanjutkan dengan penyembelihan hewan kurban.
Darah dari hewan kurban tersebut dioleskan pada sebuah faot bena atau (batu plat) yang telah disediakan dan berfungsi sebagai mesbah. Selain pada faot bena, darah hewan kurban tersebut juga dioleskan pada benih yang akan ditanam. Setelah itu, daging hewan tersebut di masak untuk kemudian dipersembahkan kepada Uis Neno-Uis Pah atau Tuaf. Daging yang akan dipersembahkan kepada Uis Neno-Uis Pah atau Tuaf harus dipilih daging yang terbaik. Untuk hewan yang berkaki empat seperti sapi, kambing dan babi daging terbaik untuk persembahan adalah hati dan daging has, sedangkan untuk unggas seperti ayam harus daging bagian paha dan dada. Daging tesebut kemudian di letakkan bersama dengan nasi diatas mesbah sebagai persembahan kepada Uis Neno-Uis Pah atau Tuaf dengan pembacaan lasi tonis khusus.
Lasi tonis khusus tersebut berisi undangan kepada Uis Neno-Uis Pah atau Tuaf bahwa sajian telah siap dan kiranya Uis Neno-Uis Pah atau Tuaf berkenan menerimanya. Setelah tobe menyampaikan lasi tonis sajian tersebut, sajian itu wajib dimakan oleh “umat” yang hadir. a dengan teka-teki. Ia merupakan misteri besar yang tidak pernah dimengerti, namun tidak dapat disangkal kebenarannya dalam pengalaman manusia.
Menurut Rudilf Otto, misteri yang muncul dalam hidup manusia ditafsirkan sebagai ‘Yang Kudus’. Kata ‘suci’ dan ‘kudus’ hendaknya jangan pertama-tama diartikan secara moral sebagai saleh. Alim, dan sebagainya. Arti moral tersebut tidak mengungkapkan inti sari dan hakikat Yang Ilahi. Manusia pun dapat disebut kudus dan suci dalam arti moral. Kata ‘kudus’ menunjuk sesuatu yang dipisahkan dari yang lingkungan profan dan dikhususkan bagi Yang Ilahi. Maka untuk mengungkapkan inti pengalaman religius tersebut, Otto membuat istilah baru, yaitu ‘perasaan numinous’. Istilah ‘numen’ dalam Bahasa Latin berarti ‘kekuasaan ilahi’, dan memang ke-ilahian’ Yang Ilahi itulah yang menjadi arti utama dari kata ‘kudus’. Perasaan numinous memiliki dua aspek yang utama, yaitu perasaan takut yang religius (tremendum) dan perasaan terpesona/ tertarik (fascinans). Yang ilahi, yang merupakan misteri, serentak tampak sebagai kekuatan yang menakutkan dan mengagumkan.
Hal itu terjadi karena Ia berlainan sama sekali dari manusia. Yang Kudus muncul sebagai ‘mysterium tremendum et fascinas’. Numinous yang menampakkan diri memunculkan perasaan gentar/takut dari manusia terhadap-Nya. Menurut Otto, rasa takut dan gentar yang terdapat dalam jiwa manusia bukanlah bersumber dari murka Yang Ilahi melainkan realitas Yang Kudus, yang tidak dapat dimasuki. Yang Kudus itu dialami sebagai sesuatu yang berkuasa atas segala sesuatu. Ia tampak sebagai yang mulia. Di hadapan kemuliaan Yang Kudus tersebut, kita hanya bisa sujud dan hormat karena kita merasa lemah dan kecil.
Meskipun Yang Kudus melebihi manusia dan berada di luar lingkup yang biasa, namun Ia tidak dialami sebagai yang asing. Manusia dapat mengenal, mengerti, dan merasa dekat dengan-Nya. Secara tidak rasional, Yang Ilahi tersebut dialami sebagai sesuatu yang menarik. Yang Kudus dilihat sebagai suatu wujud yang penuh kebaikan, kegaiban, belas kasihan, dan rahmat. Rasa kagum dan terpesona tersebut mendorong manusia untuk menjalin relasi yang akrab dengan-Nya. Yang Kudus dapat menampakkan diri dalam benda-benda dunia (hierofani).
Pada dasarnya seluruh kosmos (segala sesuatu) dapat menampakkan Yang Kudus. Akan tetapi, umumnya hanya benda-benda tertentu saja yang dihayati sebagai sesuatu yang kudus misalnya gunung, bukit, batu besar dan sebagainya. Benda-benda dunia menunjuk ke arah sesuatu yang melebihi dirinya, sesuatu yang ilahi. Benda yang profan tersebut menjadi media bagi manusia untuk mencari dan menemukan Yang Kudus. Demikian halnya dengan masyarakat Timor Dawan yang melakukan praktek pemujaan kepada Uis Neno melalui upacara Fua Pah.
Masyarakat Timor Dawan meyakini bahwa melalui benda-benda profan tersebutlah Allah mewahyukan diri. Masyarakat Timor Dawan menyadari akan sesuatu yang lebih tinggi itu, berawal dari perjumpaan dengan segala sesuatu yang ada di alam semesta ini. Mereka menamakan yang lebih tinggi itu Uis Neno.
Masyarakat Dawan adalah masyarakat kultur yang meyakini adanya dewa-dewi seperti halnya bangsa-bangsa lain. Dalam Perjanjian Lama dikisahkan bahwa, ketika melintasi padang gurun bangsa Israel dilindungi oleh YAHWE yang selalu menang perang. Ketika memasuki tanah terjanji, mereka harus memulai cara hidup yang baru. Di mana mereka harus mulai tinggal menetap dan mengolah tanah untuk mempertahankan hidup mereka. Bangsa Israel melakukan praktek pemujaan kepada YAHWE yang dianggap dapat memberikan hasil panen yang berlimpah kepada mereka.
Demikian halnya dengan masyarakat Dawan yang melakukan praktek pemujaan kepada Uis Neno melalui upacara Fua Pah. Ritus-ritus kepercayaan dan pemujaan kepada Uis Neno melalui upacar Fua Pah, secara tidak langsung telah membentuk suatu kepercayaan akan adanya suatu yang lebih tinggi dan bersifat Ilahi. Ritus-ritus kepercayaan inilah yang pada akhirnya membawa mereka kepada pemahaman akan Allah yang satu dan Mahatinggi.
Pemahaman akan Allah yang satu dan Mahatinggi itu menjadi jelas dengan masuknya agama Kristen di Timor. Dengan masuknya agama Kristen di Timor pemahaman mengenai Uis Neno pun mulai mengalami pergeseran makna dan arti. Uis Neno tidak lagi dipahami sebagai dewa tertinggi yang samar-samar, melainkan Allah yang sesungguhnya nyata dan dikenal; sebagaimana Allah orang Kristen.
Dengan kehadiran agama Kristen di Timor, paham mengenai Uis Neno ini semakin dimurnikan. Kita yakin dan percaya bahwa Tuhan Allah kita hanya satu yakni Allah Bapa yang mengutus putera-Nya ke dunia untuk membebaskan manusia dari dosa. Dialah Yesus Kristus putera Allah yang menderita, wafat, dan bangkit demi keselamatan umat manusia.

Sudut Pandang: Gampang-Gampang Susah


Sudut pandang, Viewpoint, atau Point of View (POV), secara sederhana, adalah bagaimana penulis menempatkan dirinya dalam cerita, dan bagaimana ia menyampaikan cerita kepada pembaca. POV ditentukan saat mulai menulis. Digunakan konsisten dari awal hingga akhir cerita. Jadi tidak berubah-ubah sesukanya antaradegan. Ada beberapa pilihan POV:

1. POV orang pertama (aku): penulis menjadi si aku      dalam cerita, mengikuti pikiran dan aksi si aku. Penulis tidak bisa      menggambarkan apa yang tidak dilihat si aku, tidak bisa mengetahui      perasaan yang tidak dirasakan si aku. POV ini dianggap paling mudah,      terutama bagi penulis pemula, karena seperti menulis diari saja. Hati-hati: Apa pun yang diketahui si aku tidak bisa dirahasiakan      dari pembaca. Karena pembaca menjadi si aku.
Contoh:
Aku berlari mendaki bukit secepat mungkin. Aku harus meloloskan diri! Jantungku berdegup  kencang dan otot-otot kakiku mengejang. Sampai di puncak bukit, aku menoleh. Oh, tidak! Monster itu masih mengikutiku. Kudengar ia menggerung keras. Rasanya tak mungkin aku bisa lepas darinya. Jelas sekali ia marah karena tiga matanya terkena pasir lemparanku.

2. POV      orang kedua (kau): sangat jarang digunakan. Penulis seperti mengamati tindak      tanduk si tokoh (kau) melalui teropong, lalu menceritakan apa yang dilihatnya      kepada si kau juga.
Contoh:
Kau berlari mendaki bukit secepat mungkin. Kau harus meloloskan diri! Kaurasakan jantungmu berdegup  kencang dan otot-otot kakimu mengejang. Sampai di puncak bukit, kau menoleh. Oh, tidak! Monster itu masih mengikutimu. Ia menggerung keras. Tak mungkin kau bisa lepas darinya. Jelas sekali monster itu marah karena tiga matanya terkena pasir lemparanmu.

3. POV orang ketiga (dia/ia), subjektif,      konsisten di satu tokoh sepanjang      cerita. Batasannya hampir sama dengan si aku. Bedanya penulis masuk ke      dalam kepala satu tokoh saja, si dia/ia, dan mengikutinya dengan konsisten. Hal-hal      di luar pengatahuan si dia, tidak bisa digambarkan, seperti pikiran dan perasaan      tokoh-tokoh lain. Dengan POV orang ketiga subjektif ini, karakter dan karakterisasi satu tokoh utama      bisa dieksplorasi lebih dalam dan diperkuat. Hati-hati: Tidak mudah konsisten pada satu tokoh. Sering tanpa sadar      penulis berpindah memasuki kepala tokoh lain. Diperlukan latihan dan pengalaman untuk menyadari perpindahan ini dan kembali ke jalurnya.
Contoh:
Beno berlari mendaki bukit secepat mungkin. Ia harus meloloskan diri! Jantungnya berdegup kencang dan otot-otot kakinya mengejang. Sampai di puncak bukit, Beno menoleh. Oh, tidak! Monster itu masih mengikutinya. Beno mendengarnya menggerung keras. Tak mungkin ia bisa lepas dari makhluk itu, pikirnya. Jelas sekali monster itu marah karena tiga matanya terkena pasir. Beno tersenyum getir. Cuma pasir yang dimilikinya untuk melawan makhluk itu. Ke mana Ilya saat ia butuhkan?

 4. POV orang ketiga (dia/ia),      subjektif, lebih dari satu tokoh. Penulis      mengikuti dua atau tiga tokoh penting secara bergantian. Misalnya, ada      tiga sahabat--Beno, Ilya, dan Denisa. Penulis memakai POV Beno      di bab 1, Ilya      di bab 2, dan Denisa      di bab 3, dst. Berpindah-pindah      pada segmen yang jelas. Eksplorasi      tiga karakter utama pun jadi lebih kuat. Hati-hati: Tokoh minor sebaiknya tidak diberi jatah POV,      karena hanya akan merampas ruang untuk karakterisasi tokoh utama. Biasanya POV      seperti ini diterapkan pada novel. Jarang pada cerpen. Dalam cerpen, tokoh      dan adegan terbatas, ruang gerak terbatas, lebih baik didedikasikan      semaksimal mungkin untuk tokoh utama.
Contoh
(bab 1) Beno berlari mendaki bukit secepat mungkin. Ia harus meloloskan diri! Jantungnya berdegup kencang dan otot-otot kakinya mengejang. Sampai di puncak bukit, Beno menoleh. Oh, tidak! Monster itu masih mengikutinya. Beno mendengarnya menggerung keras. Tak mungkin ia bisa lepas dari makhluk itu, pikirnya. Jelas sekali monster itu marah karena tiga matanya terkena pasir. Beno tersenyum getir. Cuma pasir yang dimilikinya untuk melawan makhluk itu. Ke mana Ilya saat dibutuhkan? (dst mengikuti pemikiran Beno)

(bab 2) Ini desa mati. Ilya bisa merasakannya di udara. Keheningan yang aneh. Terlalu hening. Angin tak berembus. Air di palungan tak beriak sedikitpun. Ada genta angin dari kulit kerang tergantung di atap pondok terdekat. Rasanya Ilya mau memberikan semua uang di kantongnya sekarang untuk melihat genta itu berayun dan berbunyi. Ilya mengembuskan napas yang tanpa sadar ia tahan. Satu-satunya bunyi kehidupan. Lalu ia melangkah. Pasir berkeresek di bawah sandalnya. Satu lagi bunyi yang membuat keheningan semakin terasa. Aaah, di mana Beno saat ia membutuhkan anak itu! (dst mengikuti pengalaman Ilya)

 5. POV penulis segala tahu, playing God, omniscient. Penulis mengetahui      semua kejadian, perasaan dan pemikiran semua tokoh, di semua tempat dan      waktu. Sering dianggap paling mudah karena penulis jadi seperti dalang, hanya      menceritakan kejadian di sana-sini. Padahal omniscient berarti juga mengetahui      pemikiran dan perasaan semua tokoh. Artinya, penulis harus pandai      bermanuver ketika menceritakan interaksi dua tokoh yang saling berkonflik.      Bagaimana emosi dan pemikiran  dua      tokoh ini ketika mereka berdialog, misalnya. Tanpa kepiawaian ini, karakterisasi      tokoh-tokohnya kurang tergali, eksplorasi emosi tidak mendalam, dan akhirnya      seperti menggunakan POV orang ketiga objektif.
Contoh:
Beno berlari mendaki bukit secepat mungkin. Ia harus meloloskan diri! Jantungnya berdegup  kencang dan otot-otot kakinya mengejang. Sampai di puncak bukit, ia menoleh. Oh, tidak! Monster itu masih mengikutinya. Tak mungkin ia bisa lepas dari makhluk itu, pikirnya.

Di belakang Beno, Gora menggerung keras. Langkahnya dipercepat. Sebentar lagi ia bisa menyusul anak itu. Keterlaluan sekali kalau makhluk sekecil itu bisa lolos darinya. Si Perkasa Gora dari  Lembah Hitam tak pernah gagal menangkap buruannya. Apalagi buruan yang telah mempermalukannya di depan sang Raja. Ketiga mata Gora masih terasa pedih akibat pasir yang dilemparkan anak itu.

Sementara itu, di jendela menara, Denisa menurunkan teropongnya. Ia tak sanggup menyaksikan. Beno mungkin pandai berdebat, tapi terbukti caranya tak berhasil. Denisa yang harus bertindak sekarang. Beno dan Ilya harus mengakui, dialah  yang benar.

Denisa berpaling kepada Raja Lembah Hitam. “Panggil Gora pulang. Lepaskan Beno,” bisiknya lemah. "Kami akan membantumu."

Mendengar itu, Sang Raja tergelak. Mata majemuknya seolah berteriak serempak, "Apa kataku!" Lalu ia menjentikkan jari. Isyarat yang akan didengar jelas oleh Gora.  (dst.)

6. POV      orang ketiga objektif. Penulis hanya narator yang menceritakan peristiwa,      tanpa menggambarkan perasaan atau pemikiran tokoh-tokohnya. Karakterisasi      tidak dipentingkan. Tetapi ceritalah yang dibuat menarik sehingga pembaca      ingat pada tokoh-tokohnya. Contohnya adalah dongeng-dongeng tradisional      dengan tokoh hitam-putih. Sudah ditentukan oleh penulis dari awal, siapa      yang baik siapa yang jahat melalui deskripsi singkat, bukan melalui      perkembangan dramatis.

 7. POV      campuran. Lazimnya, novel menggunakan sudut pandang tunggal, orang kesatu      atau ketiga. Tapi banyak penulis (terutama sastra), menggunakan campuran      keduanya. Untuk satu tokoh, penulis konsisten menggunakan aku. Lalu untuk      kejadian-kejadian yang si aku tidak hadir di sana, atau untuk memberikan sudut pandang berbeda, penulis menggunakan POV      orang ketiga omniscient atau terbatas. James Patterson sering menggunakan      POV campuran ini dalam novel-novelnya, antara lain serial Maximum Ride.

Semoga terasa bedanya ya. Silakan bereksperimen.
Seperti aku bereksperimen dengan contoh-contoh di atas, yang sebagian aku karang dadakan. Bukan diambil dari novelku yang sudah terbit.

Salam kreatif
Ary Nilandari