Kamis, 31 Januari 2013

Novel True Story (Belum Ada Judul)


Genre novel ini romance untuk target 18 tahun ke atas

Inilah yang pernah saya bilang tempo hari ada seorang teman yang di tolak cintanya hanya karena lelaki itu bukan keturunan bangsawan yang bergelar ANDI. Woww… saya dari lelaki rakyat jelata, darah saya seperti mendidih padahal ini bukan masalah saya. Tapi sepertinya mereka memandang rendah seseorang gara-gara status sosial yang disandangnya, bukan bangsawan, orang miskin, pengangguran dll.

Tapi saat pertemuan teman lelaki ini di Pangkep tahun 2010 lalu, saya pernah datang ke rumah lamanya di desa. Rumahnya orang tuanya hanya rumah panggung reot yang kayu-kayunya sudah lapuk di makan usia. Profesi orang tuanya hanyalah petani dan berkebun jagung di dekat Pabrik Semen Tonasa. Tapi teman saya ini pekerjaannya sudah lumayan sebagai tehnisi listrik di PT. Semen Tonasa Pangkep dengan gaji lebih dari 1 juta yang sudah cukup untuk biaya hidup di Sulsel.
Teman ini yang berinisial “A” sangat mencintai pacarnya saat itu dan hendak melamarnya tapi orang tua si gadis menolak dengan mentah-mentah hanya gara-gara lelaki ini tidak memilik gelar “ANDI” di depan namanya. Dia sempat frustasi berat saat itu dan hanya selang beberapa bulan setelah putus. Wanita ini (mantan pacar si A) pacaran lagi dengan seseorang berinisial “T” dan kedua-dua pacarnya saya kenal, tapi saya lebih akrab dengan pacarnya yang pertama walaupun hanya kenal sesaat.

Kebetulan wanita ini adalah teman kuliah mantan pacar saya si Anti di Universitas Pancasakti. Anti ini adalah mantan pacar saya alias cinta pertama saya saat masih duduk di bangku kelas 1 SMP dan ketemu untuk kedua kalinya saat kuliah. Saya ketemu dia juga tidak sengaja, dia melihat saya saat jadi tukang ojek di lampu merah Jl. Pajjaiyyang Daya Makassar dengan helm merah nomor 425 merek DMB pada bulan September tahun 2003.

Saat pertemuan dengan teman lelaki ini, saya ketemu dan melihat istrinya lebih cantik dari mantan pacarnya dulu yang bangsawan itu. Mereka sudah memiliki sebuah rumah mewah menurut saya. Karena sudah terbuat dari bangunan permanen (batu bata) dengan luas 20 X 15 meter dengan ornament yang sudah mewah dibanding rumah orang tuanya dulu. Kebetulan saya datang pas ada acara syukuran rumah barunya dan saya diundang ke pangkep pada tahun 2010 lalu. Disitulah saya sempat curhat untuk minta izin menulis kisahnya, karena dia mengetahui saya berminat jadi seorang penulis. Kisah ini saya gabung dengan kisah hidup saya dalam NOVEL TRUE STORY yang belum saya kasih judul. Jadi kisah hidup saya hanya 70%, terus 30% cerita fiksi tapi nyata (maksudnya kisah hidup teman-teman saya, akan kumasukkan dalam kisah hidup tokoh/karakter utama dalam cerita novel ini).



Semua orang yang ada dalam foto ini tidak berjodoh.

Oebufu, Kupang. 31 Januari 2013

Kamis, 24 Januari 2013

Naseng La Kellu Jamping

Istilahnya anak muda Pinrang pada tahun 1990-an "Naseng La Kellu Jamping, Mappatongenggi La Helleng". Ceritanya begini dulu Wak Kellu tetanggaku itu menjanjikan rokok satu bungkus satu orang sama anak muda Jalan Ambo Dondi Pinrang untuk membantu mengangkat barang di rumahnya. Tapi janji itu tidak di tepati alias anak muda di bohongi maka keluarlah Istilah "Naseng La Kellu, Jampiiiinggg...!!.

Istilah ini menyebar ke seluruh geng/kelompok anak muda Kota Pinrang dan sering melantik teman yang suka bohong (Ingkar janji) dengan Istilah "Naseng La Kellu, Jamping Mappatongengngi La Helleng" artinya di bilang La Kellu, Jumping. Membenarkan (kata-kata La Kellu) oleh La Helleng. Istilah ini populer waktu saya masih SD malahan ada teman SD-ku pernah di kandetto ulunna (Di jitak kepalanya) sama Wa Kellu karena ngomong kata-kata itu di depan orangnya langsung. Banyak orang di Kota Pinrang yang tidak kenal La Kellu secara langsung hanya mengenal istilah ini. Istilah ini sempat tenar sampai saya SMA

Dihadang Kuntilanak dan diculik setan zombie


Dihadang Kuntilanak dan
diculik setan zombie
Oleh : Jemy Harianto

Di keremangan malam, kulihat wajah perempuan itu pucat sekali. Kedua matanya bolong. Dan dari kedua lubang matanya, memancar sinar merah. Rambut awut-awutan.
****
Kisah menyeramkan ini terjadi dan dituturkan langsung oleh pelaku yang tinggal di Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat. Dimana selama seminggu dirinya tak sadarkan diri setelah tubuhnya ditemukan di atas kuburan. Pada hari malam Jumat Kliwon, enam tahun lalu, aku mengalami suatu kejadian itu. Dan sampai sekarang kejadian itu masih membekas jelas di ingatanku. Mungki ini akan menjadi sebuah pengalaman mistis sepanjang hidupku.

Sebelumnya, aku tidak percaya sama sekali tentang cerita berbau mistik, hantu dan sejenisnya. Namun hal itu berubah setelah aku sendiri mengalami sebuah peristiwa sangat menyeramkan dan mengerikan. Dari pengalaman ini pula menjadi hidayah bagiku untuk kembali ke jalan Tuhan. Sejak peristiwa itu aku kembali rajin menjalankan sholat. Padahal sebelumnya aku termasuk pemuda berandal. Karena pengalaman itu pula setiap malam aku menjadi rajin membaca kitab suci Al Quran.

Sebagai pemuda yang masih lajang, setiap malam, aku suka menonton hiburan musik, yang ditanggap orang pada sebuah pesta atau hajatan. Baik itu di kampungku ataupun di kampung-kampung tetangga. Selain sekedar mencari hiburan, siapa tahu ada gadis yang mau denganku untuk kujadikan pacar. Biasanya kami selalu pergi berombongan dengan mengenderai sepeda motor.

Ceritanya, malam itu terpaksa aku pulang sendiri dari menonton acara musik di kampung seberang. Jarak kampungku dengan kampong seberang kurang lebih 3 km. jalan penghubung satu-satunya dari kampungku ke kampong seberang harus melalui perkebunan sawit. Semua teman-temanku malam itu sudah pulang duluan. Sebenarnya salahku sendiri, karena sebelumnya kami sudah sepakat, jam setengah dua belas malam harus sudah berkumpul di satu tempat yang sudah disepakati untuk pulang bersama-sama. Karena keasyikan menonton acara itu, hingga aku lupa pada kesepakatan itu. Mungkin, karena ditunggu-tunggu sampai pukul dua belas aku belum muncul juga, akhirnya teman-temanku memutuskan untuk pulang duluan. Semua teman-temanku mengira, aku sudah pulang terlebih dahulu.

Sialnya, malam itu aku tidak membawa kendaraan sendiri. Saat berangkat aku dibonceng sepeda motor temanku. Dengan perasaan jengkel, kuputuskan pulang sendirian dengan berjalan kaki waktu jarak yang akan kutempuh cukup lumayan jauh untuk ukuran jalan kaki. Perasaan takut tak jadi masalah bagiku.

Dari kecil aku tak pernah kenal dengan yang namanya takut. Aplagi dengan hantu, aku sama sekali tidak mempercayai keberadaannya.

Suara jengkrik mengiringi langkahku menyusuri jalanan yang sunyi. Sesekali suara burung hantu terdengar di kejauhan. Pohon-pohon karet berdiri membisu berjajar di kiri-kanan jalan. Untung saat itu bulan purnama, hingga keadaan jalan tidak begitu gelap.

Untuk mengusir kesunyian, sengaja aku bersiul-siul menyanyikan lagu kegemaranku. Anehnya, begitu sampai di tengah-tengah kebun kelapa sawit, entah mengapa tiba-tiba saja badanku merinding. Kulihat jam di tanganku menunjukkan pukul satu malam.

Bertemu Kuntilanak

Tiba-tiba sebatang cabang kayu yang cukup besar jatuh tepat di hadapanku. Suaranya mengejutkanku hingga jantungku hampir copot. Karena menghalangi jalan, kucoba untuk menyingkirkan cabang kayu itu ke samping. Belum lagi cabang kayu itu berhasil kusingkirkan, tiba-tiba terdengar suara tawa cekikikan. Suara itu nyaring sekali.

Hati kecilku berkata, “Jangan-jangan ini kuntilanak!”

Kuperhatikan sekelilingku tetapi tidak ada apa-apa. Kembali suara tawa cekikikan itu terdengar. Kembali kuperhatikan sekelilingku. Tapi tetap aku tidak melihat apa-apa. Hanya pepohonan sawit yang berdiri mematung tertimpa cahaya bulan. Lagi-lagi suara tawa cekikikan itu terdengar. Kali ini malah lebih keras dan berulang-ulang.

“Benar ini pasti Kuntilanak!” kataku dalam hati.

Karena suara tawa it uterus saja terdengar, bukannya takut malah timbul rasa jengkelku. Dengan penuh emosi, aku berteriak menantang.

“Heiii… Jangan ganggu aku. Kalau berani jangan sembunyi-sembunyi, tunjukkan wujudmu. Kau piker aku takut, dasar setan. Keluar kau!” teriakku malam itu.

Begitu aku selesai berteriak, suara tawa itu pun berhenti. Karena dari kecil aku dikenal sebagai anak yang pemberani menghadapi keadaan seperti ini, tidak ada sedikit pun rasa takut di benakku. Malah timbul rasa penasaranku. Seperti apa sih wujud Kuntilanak itu. Kutunggu beberapa saat, tapi suara tawa itu tidak terdengar lagi. Dengan perasaan jengkel kembali aku bermaksud melangkahkan kakiku. Tapi belum sempat kakiku melangkah, tiba-tiba bahuku ada yang menepuk dari belakang, diiringi sapaan suara perempuan.

Dengan terkejut, buru-buru kuputar badanku menghadap ke belakang. Seorang perempuan dengan wajah tertunduk berdiri tepat di belakangku. Entah darimana datangnya. Aku mundur beberapa langkah ke belakang, sambil terus memperhatikan perempuan itu. Kulihat baju putih panjangnya menutupi kaki dan tangannya. Saat itu aku juga mencium aroma bunga kantil. Belum sempat aku bertanya pada perempuan itu, tiba-tiba dengan perlahan-lahan perempuan itu menengadahkan mukanya. Di keremangan malam, kulihat wajah perempuan itu pucat sekali. Kedua matanya bolong. Dan dari kedua lubang matanya memancar sinar merah. Rambutnya awut-awutan.

Spontan rasa takut menyergapku. Baru kali ini aku merasakan ketakutan. Jantungku berdebar kencang manakala secara tiba-tiba perempuan itu tertawa cekikikan sambil memperlihatkan taringnya. Lalu kedua tangannya diacungkan padaku, seolah ingin mencekikku. Kembali aku dibuat terkejut. Ternyata jari-jari tangannya tinggal tulang semua.

“Kun… Kun… Kuntilanak!” teriakku dengan tergagap. Tanpa pikir panjang lagi kuambil langkah seribu. Melihat aku lari, Kuntilanak itupun ikut  berlari mengejarku. Sekilas dapat kulihat tubuhnya melayang-layang terbang, dengan suara cekikikannya nyaring mengerikan. Dengan sekuat tenaga kupercepat lariku. Tapi Kuntilanak itu terus saja mengejarku dengan disertai suara tawanya yang menakutkan. Sementara rasa takut yang kurasakan, semakin menjadi-jadi. Baru kali ini aku merasakan takut yang teramat sangat.

Diculik Setan Zombie

Di saat genting itu, tiba-tiba ada cahaya lampu dari arah depanku. Begitu ada cahaya lampu, suara tawa Kuntilanak itupun hilang. Dengan terengah-engah kuhentikan lariku. Kulihat ke belakang ternyata benar Kuntilanak itu sudah menghilang. Mungkin karena takut dengan cahaya lampu itu, pikirku. Sambil mengatur nafas, kutunggu cahaya lampu yang kukira lampu sepeda motor itu mendekat. Kupikir mungkin salah seorang temanku yang ingin menjemputku. Tapi semakin dekat cahaya lampu itu ke arahku, ternyata bukan suara sepeda motor yang terdengar. Justru bau kemenyan dan bunga kantil yang menusuk hidung. Kembali rasa takut mulai menjalaniku.

Begitu cahaya lampu itu tiba di depanku, aku pun nyaris pingsan dibuatnya. Astaga! Ternyata cahaya itu adalah rombongan hantu pengusung keranda mayat. Mereka berjalan tanpa menginjak tanah. Badanku seolah tak berdarah lagi. Jantungku berdegup kencang. Keberanian yang dulu kubangga-banggakan hilang sudah. Dengan amat jelas kulihat satu orang tanpa kepala dan leher berlumuran darah, membawa lampu berupa bulatan cahaya yang sangat terang.
Empat orang pengusung keranda mayat, mukanya hancur semua. Dengan badan dipenuhi bercak-bercak darah di sana-sini. Sementara orang-orang yang mengiringi di belakang, tubuhnya juga tidak ada yang utuh. Mataku melotot tidak bias dikedipkan. Sungguh sebuah pemandangan yang sangat mengerikan.

Tiba-tiba, rombongan pengusung keranda mayat itu berhenti saat lewat di depanku. Lalu secara serentak makhluk-makhluk mengerikan itu memalingkan wajahnya dan menatap ke arahku.

Rasa takut yang kurasakan semakin menjadi-jadi. Nafasku memburu karena menahan takut. Wajah-wajah makhluk itu sangat mengerikan. Mereka menatapku tajam. Lalu salah seorang datang mendekatiku. Wajah berlumuran darah mengerikan. Salah satu matanya menggantung keluar hamper copot. Isi perutnya terburai keluar. Jalannya seperti robot, kumpulan makhluk jelek itu mendekatiku.

Ingin rasanya aku lari, tapi kedua kakiku tidak dapat digerakkan. Lalu dengan cepat tangan makhluk itu mencengkram bahuku. Kucoba meronta melepaskan cengkeramannya. Tapi tidak berhasil. Tenaga makhluk itu sangat kuat sekali. Tubuhku diangkatnya dengan mudah. Lalu dengan cepat tubuhku dilemparkan melayang menuju keranda. Dengan tiba-tiba pula, penutup keranda itu terbuka sendiri. Lalu denga telak tubuhku jatuh ke dalam keranda. Dengan cepat penutup keranda itupun menutup kembali. Aku sudah di dalam keranda, meronta-ronta kesana kemari. Dengan sekuat tenaga kucoba membuka penutup keranda itu. Tapi penutup itu seakan terbuat dari beton dan sulit untuk mengangkatnya.

Aku coba berteriak meminta pertolongan. Tapi tak ada satu katapun yang bisa keluar dari mulutku. Bagai tikus terkena perangkap, aku terus saja meronta-ronta kesana-kemari. Sambil terus berusaha membuka penutup keranda, tapi usahaku sia-sia. Pada saat bersamaan, makhluk-makhluk itu tertawa mengerikan. Kemudian mereka mulai lagi berjalan dengan membawaku, yang terus meronta-ronta. Karena dicekam rasa takut yang teramat sangat, ditambah tenagaku yang semakin lemah, akhirnya aku pun jatuh pingsan. Setelah itu aku tak ingat apa-apa lagi.

Sayup-sayup kudengar suara orang membaca ayat-ayat suci. Sesekali diiringi suara orang memanggil-manggil namaku. Dengan perlahan-lahan kucoba membuka mataku. Kulihat disamping kananku ada pak Ustadz yang tengah khusuk membaca ayat suci. Sementara disamping kiriku, kulihat ibuku yang tengah memandangiku dengan kedua matanya yang sembab, menandakan kalau ibuku habis menangis. Begitu melihat aku membuka mata, langsung ibuku memelukku dan mencium pipiku sambil terus menangis.

“Alhamdulilllah, kau sudah sadarkan anakku. Terima Kasih ya Tuhan,” ratap ibuku berkali-kali.

Ayahku yang duduk di samping ibuku, segera menenangkan ibuku yang terus menangis sambil memelukku. Semantara aku hanya diam. Aku bingung, apa sebenarnya yang telah terjadi denganku. Pak Ustadz yang sedari tadi duduk di sampingku membaca Kalam Illahi, dengan senyumnya yang teduh menyuruhku meminum segelas air putih yang dipegangnya.

“Sudah satu minggu kamu pingsan! Kamu ditemukan tergeletak di tengah kuburan,” kata pak Ustadz menjelaskan.

Mendengar kata kuburan, aku teringat kembali pada kejadian yang menimpaku. Dengan perasaan yang masih diliputi rasa takut, kuceritakan semua kejadian yang kualami dari awal hingga akhir. Semua orang yang hadir di ruangan itu bergidik ngeri mendengarkan ceritaku.

Sejak kejadian itu hingga sekarang, aku kian rajin mendekatkan diri pada Tuhan.

Kukerjakan lagi sholat, setelah sekian lama kutinggalkan. Kubuka lagi kitab suci, setelah sekian lama tidak pernah kubaca. Walaupun kejadian itu masih membuatku trauma pada kesunyian, namun aku kian menyadari bahwa memang ada dimensi kehidupan lain yang diciptakan Allah di samping kehidupan manusia yang nyata ini. Aku berharap atas kejadian yang telah menimpaku ini bisa menjadi hikmah dan pembelajaran bagi kita semua.


Sumber : Majalah Victory Edisi 67/2013


Misteri Tanah Kuburan


Misteri Tanah Kuburan
Oleh : Dawai Putra Asmara

Secara perlahan-lahan Santi menuangkan air dari kendi kecil ke dalam gelas. Tangannya terlihat bergetar. Peluh Nampak membasahi keningnya.

“Hati-hati, jangan sampai tumpah,” bisik Suhendra, suaminya. Santi tidak menjawab. Kedua bola matanya tetap saja tertuju pada air yang mangalir memenuhi gelas. Seharusnya gelas itu terisi penuh, tidak boleh tumpah meski setetes pun. Sementara itu, kembang tujuh rupa yang ada di dalam gelas telah menyembul dan mengapung lebih dulu.

“Ya, cukup sampai disitu saja,” bisik Suhendra lagi. Sepasang suami istri itu kemudian duduk bersimpuh di depan pembakaran dupa yang terus mengepulkan asap dan meninggalkan bau harum yang khas.

Sedangkan di hadapan mereka, KI Saworekso telah duduk bersila sambil memejamkan mata. Mulutnya terus saja komat-kamit membaca mantera. Napasnya sedikit tersengal, seolah menahan beban yang amat berat.

Sesaat kemudian Ki Saworekso menarik napas panjang. Dia menarik pundaknya, lalu matanya yang terpejam di bukanya perlahan. Tangan lelaki setengah abad itu pun mengambil dupa yang telah dipecah kecil-kecil.

Dengan gerakan cepat, dupa-dupa itu ditaburkannya diatas anglo (tungku yang terbuat dari tanah) pembakaran. Asap tebal tampak menggumpal diatas anglo. Bau wangi terasa menyengat, menyebar ke seluruh ruangan.

“Sekarang berdoalah menurut keyakinan kalian. Ucapkanlah pula semua yang kalian inginkan. Kalau sudah, tahan napas dan minumlah air kembang yang ada di dalam gelas itu,” perintah Ki Sawerekso.

Santi segera melaksanakan apa yang diperintahkan sang dukun. Sementara Suhendra hanya mengamati dengan seksama. Bathinnya terus bergejolak sambil mengamati sekeliling.

“Sekarang kembang tujuh rupa yang ada di dalam gelas itu kamu bungkus dengan daun pisang. Nanti dalam perjalanan pulang kalian lemparkan bungkusan itu kea rah kuburan tua di dekat sungai itu,” ujar Ki Saworekso.

Santi hanya terdiam sambil mengangguk pelan. Suaminya langsung mengambil selembar daun pisang kelutuk yang telah disiapkan sebelumnya. Daun itu lalu dijulurkan ke arah sang istri. Dengan sangat hati-hati perempuan ayu itu segera membungkus kembang tujuh rupa itu seperti yang telah diperintahkan sang dukun.

“Ini saja, Mbah?” tanya Suhendra ingin tahu.

“Sabar, masih ada persyaratan yang harus kalian lakukan,” jawab Ki Saworekso.

Lelaki berjenggot yang menggenakan pakaian serba hitam itu bangkit dari tempat duduknya dan mengambil sebuah periuk tembikar yang ada disisinya.

Dari dalam periuk itu ia mengambil sesuatu dan membungkusnya dengan sobekan kertas. Bungkusan kecil itu langsung diasapi dengan asap dupa sambil dibacakan mantera.

“Ini juga harus kalian bawa. Nanti pada saat emmbuang kembang di kuburan, ambil sedikit tanah kuburan itu, lalu jadikan satu dengan isi dalam bungkusan ini. Setelah itu dibungkus rapat, lalu dibawa pulang. Nanti bungkusan itu kalian masukkan ke dalam sumur orang yang kalian maksud,” jelas Ki Saworekso.

“Jadi setelah kami campurkan dengan tanah kuburan, bungkusan ini langsung kami masukkan ke dalam sumur Pak Camat?” tanya Santi. Pertanyaan wanita berambut ikal sebahu itu pun hanya di jawab anggukan ringan.

“Baiklah Mbah. Kalau begitu kami permisi dulu,” tukas Suhendra.

“Kenapa buru-buru pulang, hah?” tanya Ki Saworekso.

“Kami mau  langsung menuju kuburan tua di pinggir sungai itu, Mbah. Biar semua urusan ini cepat selesai,” jawab Suhendra.

“Tapi jangan sekarang, nanti saja setelah larut malam. Oya, cara mengambil tanahnya harus diatas jam dua belas malam. Lebih baik, sekrang kalian tiduran atau duduk-duduk saja dulu,” kata Ki saworekso. Suhendra dan istrinya tidak bias berbuat banyak selain menuruti perintah sang dukun.

Menuju Kuburan Tua

Ketika waktu telah menunjukkan tepat tengah mlam, Suhendra melirik istrinya yang sempat tertidur dan langsung berpamitan pada Ki saworekso. Dari rumah sang dukun, Suhendra dan istrinya langsung menuju  ke arah kuburan tua yang ditunjuk oleh Ki Saworekso.

Demi keinginan yang harus diraihnya, Suhendra mau tidak mau harus melewati beberapa jembatan untuk menuju kuburan tua itu.

“Jangan lupa membaca manteranya lebih dulu, lalu lemparkan kembangnya,” perintah Suhendra pada istrinya. Santi menurut saja dan melakukan perintah suaminya dengan baik.

Sementara Suhendra menuju ke arah pusara yang telah using, kotor dan berlumut. Dengan sigap, diambilnya tanah kuburan itu, lalu dibungkusnya dengan selembar kain putih yang telah berisi mantera pemberian Ki Saworekso, dukun andalan mereka.

Usai menjalankan hajatnya, kedua orang itu langsung meninggalkan makam tua yang berada di ujung desa. Tapi keduanya tidak langsung pulang, melainkan berhenti di sebuah sungai yang memisahkan Desa Batu Putu dan Desa Pularan. Suhendra dan isterinya meniti jembatan bamboo dengan sangat hati-hati, agar kaki mereka tidak tergelincir jatuh ke sungai berbatu.

Dengan menempuh perjalanan yang cukup melelahkan, akhirnya mereka sampai dihalaman belakang rumah Pak camat. Tangan Santi tampak gemetar begitu tahu siapa yang akan dihadapinya.

“Siapa yang disuruh memasukkan bungkusan ini ke dalam sumur itu, Mas?” tanya Santi, setengah berbisik.

“Aku!” jawab suaminya.

Dengan sangat hati-hati Suhendra menceburkan bungkusan berisi tanah kuburan itu ke dalam sumur Pak Camat. Usai melakukan tugasnya, suami-isteri itu bergegas pergi. Santi terus mengikuti langkah suaminya seraya menggandeng tangannya. Tanpa menemui hambatan apapun, keduanya langsung memacu mobil keluar dari Desa Pularan.

Jarum jam menunjukkan pukul 03.00 pagi. Mobil Suhendra sampai di sebuah warung kecil yang ada di pinggiran kampung. Keduanya langsung memesan teh hangat dan dua porsi nasi goring. Betapa kagetnya mereka, ketika sedang asyik menikmati lezatnya makanan, keduanya dikejutkan oleh sebuah mobil yang telah lama mereka kenal. Mobil kijang warna biru metalik, yang melaju dengan kecepatan tinggi itu menuju ke arah selatan.

“Lho, itu kan mobilnya Pak Camat. Ada apa ya, sepertinya buru-buru sekai?” celetuk pemilik warung dengan mulut menganga.
“Barangkali ditelepon istri mudanya yang akan melahirkan,” timpal seorang pembeli. Suhendra dan istrinya hanya diam, seolah-olah tidak mendengar omongan orang-orang di warung itu.

Setibanya di rumah, keduanya sempat melihat mobil Pak Camat parkir dibawah pohon rambutan, di pinggir kandang sapi. Meski sempat menahan rasa penasaran yang amat besar, namun keduanya berusaha tak ambil pusing. Perlahan-lahan, Santi membuka pintu pagar, lalu masuk ke dalam rumahnya.

Tapi ketika hendak menutup pintu, ia mendengar suara gerakan yang amat mencurigakan di belakang rumahnya. Keduanya langsung mengendap-endap ke arah datangnya suara. Benar sekali, di sana ada dua orang bertopeng dan berpakaian serba hitam tengah berdiri di pintu dapur mereka. Seketika Santi langsung berteriak, “Maliing…! Maliiing…!!”

Begitu mendengar teriakan yang tak terduga itu, dua orang bertopeng tak dikenal tampak kelabakan. Mereka langsung melarikan diri ke arah mobil yang terparkir. Warga kampong segera berdatangan ke rumah Suhendra.

Ketika beberapa warga menyorotkan lampu senter ke wajah dua orang bertopeng itu, mereka cukup bisa mengenali wajah kedua lelaki yang disangka maling itu. Astaga! Ternyata kedua lelaki bertopeng itu adalah Pak Camat dan Solihin, sopirnya.

Suhendra tampak geram melihat kelakuan orang yang kini menjadi saingannya itu mendatangi rumahnya secara diam-diam. Maka dengan sigapnya, Suhendra langsung mengarahkan bogem mentah pada lelaki yang pernah menjadi atasannya itu.

Para warga yang mendengar teriakan Santi langsung bergerombol mengepung Pak Camat dan sopirnya. Sebagian lainnya malah ikut menghajar lelaki setengah baya yang dikenal doyan berjudi dan main perempuan.

Seluruh tubuh Pak Camat babak belur, bahkan nyaris pingsan dihakimi warga. Begitu pula dengan sopir pribadinya, Solihin. Dengan penuh kekhawatiran, Suhendra meminta kepada para warga untuk bersabar, dan menyuruh kepada warga menggotong tubuh Pak Camat dan sopirnya masuk ke dalam rumahnya.

Secara tak sengaja, Suhendra melihat saku Pak Camat sedikit menggelembung. Lalu diambilnya barang mencurigakan itu dari sakunya. Astaga! Ternyata sebuah bungkusan yang sama dengan miliknya, yang baru saja dibuangnya ke dalam sumur lelaki itu.

“Tanah apa ini! Ayo, jawab! Ini tanah kuburan, kan?!” bentak Suhendra geram. Pak Camat hanya terdiam sambil menahan sakit disekujur tubuhnya. Kepalanya tampak mengangguk pelan.

“Jadi barang ini sengaja akan kamu masukkan ke dalam sumurku, heh?!” tanya Suhendra lagi. Pak Camat makin terperanjat dengan tudingan Suhendra yang tak terduga itu. Kembali lelaki bertubuh tambun itu mengangguk. Banyak para warga yang merasa heran dengan tunduknya Pak Camat pada kata-kata Suhendra malam itu.

Suhendra tak peduli lagi dengan orang-orang disekelilingnya. Bayangannya langsung tertuju pada Ki Saworekso, sang dukun yang berasal dari Desa Pagelaran. Pada malam menjelang subuh itu Suhendra berpesan kepada beberapa warga untuk menyerahkan kasus Pak Camat pada pihak kepolisian setempat.

Saat itu juga Suhendra segera tancap gas menuju rumah Ki Saworekso di Desa Pagelaran. Begitu sampai di rumah sang dukun, orang-orang telah banyak berkumpul di rumah itu. Suhendra tetap tidak peduli. Dia tetap masuk ke rumah sang dukun. Namun, jantungnya terasa berhenti berdetak ketika melihat jenazah Ki Saworekso telah terbujur kaku ke arah utara. Tubuh lelaki tua itu telah terbungkus kain kafan.

“Suami saya sudah tidak bisa membantu lagi, Nak. Dia meninggal akibat diserang makhluk halus berwujud mengerikan…” jawab istri Ki Saworekso dengan raut wajah penuh kesedihan. Tubuh Suhendra seketika menjadi lemas. Ia duduk sebentar dan dan membacakan doa, lalu berpamitan.

Sumber : Majalah Victory Edisi 67/2013

majalahvictory@yahoo.com

LA MAGGULILING


LA MAGGULILING
Robin Hood Versi Bugis
Karya : La Dawan Piazza

Pada zaman penjajahan Belanda yang menjajah Nusantara termasuk daerah Kerajaan Sawitto yang berada di Sulawesi Selatan (Sekarang menjadi Kota Pinrang). Lahir seorang pemuda gagah berani bernama La Magguliling dari kampung Ammassangeng. Dia lahir dari pasangan suami istri yang bernama La Beddu dan I Sitti yang berprofesi sebagai petani serabutan.

La Magguliling adalah anak yang sholeh dan rajin mengaji dan sholat dan sering membantu orang tuanya menanam padi dan sering menolong warga sekitarnya jika memerlukan bantuan. La Magguliling dan kedua orang tuanya tinggal didaerah yang dikuasai oleh tuang tanah dari etnis Tionghoa bernama Ming Houw Peng.

Touke Hopeng dan anak buahnya memungut pajak dan upeti yang terlalu tinggi pada warga sekitar yang miskin bersama anak buahnya, mereka merampas paksa harta warga Sawitto berupa kambing, ayam, sapi dan hasil panen mereka berupa beras.

Tuan tanah ini adalah centeng Belanda dan mendapat dukungan dari pemerintah Belanda untuk melakukan perampokan terhadap warga Sawitto. Hasilnya rakyat Sawitto diperlakukan tidak adil dan semena-mena oleh Belanda, mereka dipaksa kerja rodi tanpa mendapat imbalan hasilnya banyak warga Sawitto yang mati kelaparan.

Melihat hal itu terjadi La Magguliling pemuda yang pemberani dari Sawitto merasa iba dengan penderitaan warga. Beliau ingin membantu penderitaan warga dengan mengajak dua orang temannya yang bernama La Helleng dan La Kellu untuk merampok orang-orang kaya yang kebanyakan dari bangsawan Belanda dan etnis Tionghoa.

#Sebuah cerpen saya yang bertema Kepahlawanan dengan tujuan, demi membangkitkan semangat patriotisme pada anak-anak jaman sekarang yang sudah mulai pudar. Cerita ini hanya fiksi belaka, tapi nama tokohnya yang bernama La Magguliling adalah tokoh nyata yang terkenal sebagai perampok di jaman penjajahan dulu di Kota Pinrang, dia tinggal di Jalan Diponegoro (Kebetulan bertetangga dengan nenekku di masa lalu). Setelah saya berusaha korek cerita sebenarnya nenek saya tidak tahu menahu, karena waktu itu dia masih kecil tapi intinya La Magguliling adalah perampok yang sangat ditakuti dijamannya.

Adapun nama tokoh tambahan La Helleng dan La Kellu sebagai teman La Magguliling adalah fiktif tapi nama kedua nama itu nyata kebetulan asenna balibola'e (Namanya tetanggaku) begitu juga La Beddu sibawa I Sitti namanya tetanggaku juga yang saya pinjam namanya. Karena nama ini nama pasaran dan pasti banyak yang memakai nama ini.

Adapun tokoh dari etnis Tinghoa bernama Ming Houw Peng adalah nama yang sering saya sebut waktu masih belajar mengaji Quran kecil dan sering diledekin sama teman mengaji "Allasina Ate'amahong Meng Jueng Wa Amanahong Meng Hopeng" (Surah Al Quraish ayat 4)