Rabu, 06 Februari 2013

Bertarung Melawan Jin Penunggu Harta Karun


Bertarung Melawan Jin Penunggu Harta Karun

Oleh : Jemy Haryanto

Kisah mistik ini dituturkan langsung oleh pelaku. Dimana demi mengangkat setumpuk batangan emas, dirinya bertarung habis-habisan dengan sesosok jin penunggu harta karun itu. Namun, setelah berhasil mengalahkannya yang terjadi malah membuat dirinya sangat kecewa.

*****

Malam itu, sekitar pukul 22.00 WIB, tepatnya ketika aku sedang melakukan rutinitasku berdzikir, di kamar kosong di rumahku, mendadak isteriku membuyarkan konsentrasiku. Istriku memberitahu kalau di luar ada seorang tamu yang ingin bertemu denganku. Aku pun terpaksa keluar. Dan di ruang tamu itu kulihat Pak Soleh yang telah duduk di atas sofa sambil membuka-buka buku yang terletak di atas meja. Setelah basa-basi sebentar, ia kemudian membicarakan maksud dan tujuannya menemui diriku. Aku menyimaknya baik-baik.

“Kurang lebihnya begitulah kesimpulannya, mas. Karena Pak Indra yang memberi modal, berapa pun hasilnya nanti, dia siap membagi sama rata, “Pak Soleh menutup penuturannya.

Aku diam sejenak, kemudian berucap. “Begini Pak, yang saya pikirkan bukan masalah pembagiannya. Saya hanya heran saja, atas dasar apa bu Lena begitu percaya dan yakin kalau di rumahnya ada timbunan harta peninggalan almarhum? Apakah suaminya dulu itu orang kaya?” tukasku, ragu.

Sahabatku itu tersenyum mendengar penuturanku. “Soal itu saya juga tidak tahu. Tapi yang jelas, Bu Lena yakin seratus persen kalau harta itu memang ada,” katanya.

Kami memang sudah terbiasa ngobrol dibarengi humor, terkadang menyindir satu sama lain, tetapi topik persoalan tetap berlanjut, seperti halnya malam itu. Sambil menyalahkan sebatang rokok.

Pak Soleh kembali bertutur, “menurut bu Lena, awal mulanya ia bermimpi. Suaminya yang almarhum, mendatanginya dan mengatakan kalau dia sendiri yang menaruh emas tersebut di bawah lantai ruang tamu. Tetapi dia berpesan kalau ‘tanaman emas’ itu baru bisa diangkat setelah genap waktunya, dan hanya akan menjadi kenyataan kalau yang mengangkatnya adalah seseorang yang berhati bersih. Artinya, tidak bisa diangkat oleh sembarang orang.”

“Berapa banyak jumlahnya?” tanyaku yang mulai serius.

“Kalau tidak salah, setelah beberapa kali bu Lena mendatangkan orang pintar ke rumahnya, rata-rata mengatakan ada sekitar 32 batang emas. Itu menurut mereka. Sedangkan menurut hemat saya, sekiranya mas berkenan, mungkin nanti bisa diperiksa ulang. Selanjutnya saya serahkan sepenuhnya sama mas. Begitu pesan bu lena,” ucap Pak Soleh.

Aku mengangguk kecil setelah mendengar cerita yang bernada menggiurkan itu. Sebagai seorang yang dikenal memiliki kemampuan mengangkat harta terpendam dengan kekuatan supranatural, tentu saja aku harus menerima tawaran menarik itu.

Tiga hari kemudian, pak Soleh memperkenalkan aku kepada bu Lena. Setelah berkenalan dan akrab, wanita di ambang usia senja itu mulai menceritakan ulang soal mimpi-mimpinya itu.

“Kenapa saya begitu yakin bahwa benda itu memang ada, karena mimpi itu terus berulang-ulang datang dalam tidur saya,” kata bu Lena.

Mendengar penjelasan dari bu Lena, aku tak ingin membuang waktu banyak. Malam itu juga aku melaksanakan penerawangan, menembus dunia lain melalui ketajaman mata batinku. Dan hasilnya cukup meyakinkan. Apa yang kulihat tak jauh beda dengan apa yang diceritakan bu Lena. Di bawah lantai ruang tamu rumah wanita yang telah lama hidup menjanda itu memang kelihatan tumpukan emas batangan. Setelah merasa yakin, maka kupastikan langsung hari untuk melakukan ritual pengangkatan.

Tepatnya Rabu malam, semua bahan-bahan untuk ritual sudah disiapkan. Antara lain, tujuh macam buah-buahan, kembang tujuh rupa, tujuh batang cerutu, sepiring nasi putih, sebungkus rokok kretek Gudang Garam Merah, kopi manis dan kopi pahit, teh manis dan teh pahit, segelas air putih, dan sebotol minyak khusus yang biasa dipergunakan untuk melaksanakan upacara ritual semacam ini. Minyak tersebut biasa juga disebut “Minyak Jin” Harga minyak itu bisa sampai jutaan rupiah. Sebab, tanpa menggunakan minyak seperti itu, rasanya sangat tipis kemungkinannya akan berhasil dengan baik dan lancar.

Sejumlah orang telah berkumpul di ruang tengah, berdzikir membaca Surat Al-Ikhlas secukupnya. Pengertian secukupnya di sini ialah baru boleh berhenti setelah ada petunjuk dariku, yang biasanya akan kusampaikan melalui kode, dan aku harus langsung memberitahukannya kepada mereka yang berdzikir.

Di kamar khusus yang telah kupadamkan lampunya, hanya ada aku dan dua orang rekanku. Aku terus berinteraksi dan sangat melelahkan. Berdasarkan pendeteksian, jin yang menguasai lantakan emas itu sangat kuat.

Setelah diadakan dialog, jin itu tidak mau menyerahkan begitu saja apa yang kami minta. Dia tetap bertahan sesuai perintah sang majikan, yaitu sebelum genap hitungan enam tahun sejak benda tersebut ditanam oleh almarhum suami bu Lena, dia tidak akan menyerahkan kepada siapa pun, kendati kami melaksanakan hajat ini atas permohonan isterinya sendiri.

Cukup lama kami bertarung dengan Jin penunggu harta itu. Hampir dua jam lamanya. Salah seorang rekanku terus mengeluarkan jurus-jurus ampuhnya untuk mengalahkan Jin itu. Si Jin tetap bertahan. Dari langit-langit kamar kudengar jelas seperti benda berat saling berjatuhan menimpa kepalaku. Padahal aku tahu, itu hanya pendengaranku saja. Tidak nyata.

Kecuali sosok Jin yang memperlihatkan penampakannya secara jelas. Dia berbadan tinggi besar, hampir mencapai sepuluh meter, berambut gondrong. Mungkin. Sepasang kupingnya sebesar telinga gajah. Matanya sebesar lampu sepeda motor, sedangkan bagian dada, tangan dan kakinya ditumbuhi bulu-bulu lebat. Sangat menyeramkan!

Aku bersyukur, karena tak lama kemudian Jin itupun menyerah, mengaku kalah, dan berjanji akan menyerahkan semua benda tersebut kepada kami. Ternyata benar. Setelah lampu kunyalahkan, batangan emas tersebut sudah tersusun rapi di atas hamparan sajadah. Berikut dua buah kalung emas. Yang satu sepertinya untuk laki-laki. Satunya lagi untuk wanita.

Dari dalam bambu pendek yang terpaksa kupecahkan, terdapat pula gulungan kertas. Isinya mengatakan bahwa kalung emas wanita diperuntukkan khusus untuk putri bungsu almarhum. Sementara kalung laki-laki untuk bu Lena sendiri.

Benda-benda tersebut kemudian kuperlihatkan kepada semua yang hadir di situ. Kulihat mereka tersenyum puas menyaksikan keberhasilan kerja kami. Terutama bu lena. Mereka nyaris tak berkedip memelototi benda-benda berharga tersebut. Heran, gembira, tetapi terkesan tak percaya pada penglihatan mereka sendiri.

“Betul-betul aneh, tapi nyata. Tapi saya masih tidak percaya benda yang ada di dalam tanah bisa di angkat ke atas, tapi lantai tidak ada yang pecah satupun. Benar-benar tidak masuk logika,” kata bu Lena.

“Jadi sekarang gimana?” tanyaku.

“Sekarang saya percaya seratus persen. Soalnya saya melihat sendiri, dan di rumah sendiri,” ucap bu Lena lagi.

“Kalung-kalung ini boleh langsung kalian pakai,” ucapku.

“Kalau yang lainnya sebaiknya disimpan saja di tempat yang menurut ibu cukup aman. Kalau ibu mau jual, nanti saja kalau sudah waktunya pas, seperti yang tertulis pada surat wasiat yang tertulis pada surat wasiat yang ditulis almarhum. Di sini disebutkan, apabila dimanfaatkan sebelum genap waktunya enam tahun, taruhannya adalah nyawa!”

“Batas waktu itu kapan, mas?” tanya bu Lena lagi.

“Kalau tidak salah tahun depan. Tanggal dan bulan ada tertera di surat itu!” jawabku.

Akan tetapi, karena yang disebut manusia selalu saja merasa kekurangan dan tak pernah mensyukuri nikmat Tuhan, juga memiliki sifat tergesa-gesa. Sebelum sampai waktunya bu Lena bermaksud menjual tiga batang emas itu. Alasannya, selain terhimpit oleh kebutuhan hidup yang semakin meningkat, juga untuk mengembalikan uang minyak dagangannya yang belum ia setor penuh.

Karena semua barang berharga itu adalah milik almarhum suaminya, aku dan rekanku merestui. Kebetulan pula pada waktu itu kami sedang butuh uang untuk keperluan serupa. Segera aku melaju ke salah satu toko emas kenalanku di Pontianak.

Namun hasilnya sangat mengecewakan sekali. Sungguh! Emas batangan tersebut berubah menjadi tembaga. Aku jadi penasaran. Kubawa ke toko lainya. Namun hasilnya sama.

“Ini tembaga pak. Sama sekali tidak ada kadar emasnya. Hanya ini berwarna kuning, tapi bukan emas,” kata si pemilik toko setelah dua tiga kali mengetes kemurnian emas tesebut.

Celaka tiga belas, pikirku. Setelah delapan juta terbang dari dompet, kemudian mati-matian bertarung melawan Jin penunggunya, hasilnya hanya tembaga. Walaupun masih ada harapan akan sempurna dengan sendirinya apabila tiba waktunya kelak, atau melalui bantuan orang pintar yang memiliki ilmu khusus untuk “menyempurnakan” tembaga itu kepada wujud aslinya. Namun itu baru sebatas harapan. Bisa jadi kenyataan bisa tidak.

Namun semuanya kuserahkan kepada Yang maha Kuasa. Yang pasti, dari kasus ini aku mendapat pelajaran berharap bahwa kita sebagai manusia hendaknya bisa bersabar dalam menanti sesuatu hal. Ya, kalau saja kami menjual batangan emas tersebut sesuai dengan waktu yang ditetapkan, mungkin emas itu tidak akan berubah menjadi tembaga.

Sumber : Majalah Victory Edisi 68/2013

1 komentar:

croet mengatakan...

Aku jg mau Mnta tolong angkatkn emas yg ada d rumah ku