Derita Calon
Tumbal
Oleh : Jojopradipta
Susi
dan yani tewas dengan sebuah tanda merah di telapak tangannya. Kini tinggal
Fandi dan ibunya yang tersisa. Siapa yang akan dijadikan tumbal.
*****
Fandi
tampak pucat menghadapi hari yang menegangkan. Ia selalu tertekan jika saat itu
tiba. Resah karena ia mengetahui keberadaan keluarganya yang makan minum dari
hasil pemujaan. Ayahnya memuja setan dengan mempersembahkan nyawa demi setumpuk
harta. Ayahnya telah mengambil jalan sesat, membuat batinnya selalu tersiksa.
Kini hari permintaan tumbal itu telah dekat, itulah yang membuat Fabdi resah.
Keresahan
Fandi memang sangat beralasan. Sudah banyak korban manusia yang telah dijadikan
tumbal oleh ayahnya. Termasuk kedua adik perempuannya yang masih berusia belasan
tahun. Fandi pun amat takut dirinya akan dijadikan tumbal oleh ayahnya.
Sementara
di rumah itu, kini hanya tinggal ibunya dan dia yang tersisa. Mereka hanya
menunggu waktu untuk dijadikan tumbal ayahnya. Celakanya, Fandi tak mungkin
lari dari kenyataan itu.
Ditengah
lamunan Fandi, wajah Susi dan Yani adiknya melintas dalam ingatan. Wajah yang
selalu menggoda dirinya bila sedang bercanda. Benar-benar menyiksa, bayangan
itu tak mau pergi dari pelupuk matanya.
Mereka
terus membayangi sepanjang hari, seperti mengajak Fandi untuk ikut bersama
meraka. Atau menyuruh Fandi untuk menghentikan semua penyengsaraan ini.
Masih
terbayang dalam ingatan Fandi bagaimana kedua adiknya itu meninggal. Tapi hanya
tanda merah yang berbentuk seperti bola di kedua telapak tangan serta
bercak-bercak nerah di kulit tubuh mereka sebagai bukti kematian Susi dan Fani.
Namun
kedua orang tuanya tidak merasa heran atas kepergian kedua adiknya yang hanya
berselang beberapa hari itu. Tuhan, apa sebenarnya yang sedang menimpa keluarga
kami.
Lamunan
Fandi pagi itu terhenti oleh derap kaki yang mendekatinya. Fandi langsung
menoleh dan ternyata langkah kaki itu milik ibunya. Dengan membawa secangkir
the, Fitri mendekati Fandi yang menyambutnya dengan senyuman. Perlahan, Fitri,
ibunya, mengambil kursi dan duduk berhadapan dengan Fandi.
“Kenapa
pagi-pagi begini kamu melamun? Tidak kuliah” tegur Fitri. “Atau kau sengaja
berangkat sama sopir? Ayahmu baru saja pergi?” sambungnya lagi.
Tegur
sapa Fitri yang halus dan lembut, membuat Fandi tergagap. Tapi ia berusaha
menyembunyikannya. Fandi tak menjawab semua pertanyaan ibunya, ia malah balik
bertanya.
“Bu,
apakah perkebunan kita tidak mengalami perubahan? Kita sudah lama tidak
menjenguknya. Bila ibu mau, Fandi ingin mengajak ibu kesana. Sekaligus ada
sesuatu hal yang ingin Fandi tanyakan,” kata Fandi mengajak ibunya.
Fandi
memberanikan diri mengajak ibunya ke perkebunan dengan harapan dapat mengetahui
apakah ibunya benar-benar belum mengetahui kalau ayahnya seorang pemuja setan.
Tanpa diduga, ibunya gembira sekali dengan ajakan Fandi.
Fitri
sebenarnya sedikit was-was karena fandi tidak biasanya mengajak ke perkebunan.
Fandi lebih sering mengajak ibunya belanja ke toko untuk mencari sesuatu. Tapi
akhirnya Fitri mengiyakan ajakan anak sulungnya itu. Ia masuk ke dalam dan
mengeluarkan mobil dari garasi.
Tak
lama kemudian berangkatlah mereka ke perkebunan. Perjalanan yang memakan waktu
hamper satu jam membuat jantung Fandi berdebar-debar. Ia membayangkan wajah
ibunya nanti bila ia menanyakan tentang keberadaan ayahnya. Reaksi seperti apa
yang akan ditampakkan oleh ibunya.
Tiba
di perkebunan, Fandi menggandeng tangan ibunya sambil mencari tempat untuk
bernaung. Akhirnya mereka singgah di sebuah gubuk reyot untuk menobrol.
Perlahan-lahan Fandi memegang jemari ibunya dan mencoba memberanikan diri untuk
bertanya.
“Sudah
berapa lama perkebunan ini dimiliki oleh aya Bu?” tanya Fandi. “pada saat ayah
membeli tanah ini, Fandi tak mengetahuinya. Padahal gaji ayah ‘kan cuma
pas-pasan. Tidak mungkin ayah memiliki uang sebanyak itu. Apakah mungkin gaji
seorang pegawai Asuransi bias membeli perkebunan ini. Belum lagi ayah telah
membeli kendaraan dan semua barang istimewa yang saat ini kita miliki?” tanya
Fandi.
Fitri
terkejut mendengar pertanyaan yang diucapkan Fandi. Ia hanya menatap kedua mata
fandi dengan tajam. Tak lama kemudian ia berdesah, kekhawatirannya selama ini
terbukti. Pertanyaan inilah yang selalu membuat dirinya resah sepanjang malam.
“Sebenarnya
ibu telah lama menyimpan rahasia ini, dan baru kali ini ibu membukanya. Bagus
sekali kamu mengajak ibu kesini. Kesempatan seperti inilah yang ibu
tunggu-tunggu. Sekarang kamu sudah dewasa dan mampu berpikir, mana yang baik
mana yang buruk. Kamu dapat membedakannya,” jawab Fitri yang merasa senang anaknya
telah mengetahuinya.
Fitri
bicara sambil menahan perasaannya yang tertekan. Betapa dirinya selama ini
menyimpan rahasia suaminya di dalam batin. Tiga tahun bukanlah waktu yang
pendek untuk menyimpan sebuah rahasia besar yang telah dilalui oleh keluarganya.
Fandi
semakin tegang melihat wajah ibunya yang menatap dengan tatapan kosong.
Akhirnya ia menepuk bahu ibunya sambil berdehem.
“Bu…!
Ibu kenapa? Apakah pertanyaan Fandi menyinggung perasaan ibu? Maafkan fandi bu.
Fandi telah lancing, seharusnya Fandi tak boleh begitu.”
“Tidak
Fandi…..!” Celeteuk ibunya. “Ibu hanya ragu untuk mengatakan sesuatu padamu,”
lanjutnya.
Dengan
cepat Fandi menyela ucapan ibunya sambil mencium tangannya. “Cepat bu,
katakanlah! Fandi sudah lama sekali menunggu jawaban ini. Rasanya Fandi sudah
tak sabar mendengarnya. Masalah ayahkan bu? Sekarang begini saja, dari pada ibu
sulit untuk membukanya, biarlah Fandi yang mewakili perasaan ibu.
Mudah-mudahan
ibu dapat menerima apa yang akan Fandi katakana. Sebab Fandi sudah mengetahui
apa yang telah menimpa keluarga kita. Bukankah ayah itu seorang pemuja bu? Susi
dan Yani telah dijadikan tumbal oleh ayah. Kini giliran Fandi dan ibu yang saat
ini tengah diincar ayah.
Ketakutan
inilah yang membuat ibu sering sakit. Sebenarnya Fandi pun seperti ibu. Tetap
apakah kita akan tinggal diam bu? Apakah kita tidak secepatnya minta
pertolongan. Biarlah kita pergi diam-diam selagi masih ada kesempatan dan belum
terlambat,” jelas Fandi panjang lebar.
Betapa
terkejutnya Fitri mendengar ungkapan fandi. Ia tidak menyangka anak sulungnya
telah mengetahui ayahnya seorang pemuja. Fitri segera memeluk Fandi sampai
bercucuran air mata. Fitri menumpahkan semua jeritan batin yang selama ini
menghimpit dadanya.
Sementara
itu Fandi terlihat sangat lega karena ibunya sudah menerima semua kalimat yang
diucapkannya. Keberadaan ayahnya sebagai seorang pemuja setan, telah terungkap.
Dengan bersimbah air mata, Fitri melepaskan pelukannya. Perlahan ia mengusap
kedua matanya lalu kembali menatap wajah Fandi dengan sayu.
“Semua
yang kau katakana adalah benar Fandi. Masalah inilah yang selalu menganggu
pikiran ibu. Saranmu akan ibu turuti, dari pada kau dan ibu dijadikan korban
oleh ayahmu!” jawab Fitri. “Mari kita pulang Fandi. Takut ayahmu pulang lebih
awal dari biasanya,” ajak Fitri pada anaknya.
Fandi
mengangguk sambil bergegas melangkahkan kakinya menuju mobil. Sementara Fitri
mengikutinya dari belakang. Tanpa banyak bicara, Fandi langsung menstarter
mobil dan segera meluncur pulang.
Sampai
di rumah, Fitri menerobos masuk ke dalam rumah dan langsung berganti pakaian.
Setelah itu ia segera beristirahat untuk meninggalkan jejak bahwa dirinya
pulang dari bepergian. Sedangkan Fandi duduk di kursi tamu sambil membaca
Koran. Dalam hatinya berkecamuk rencana yang telah disepakati dengan ibunya.
Tak
lama kemudian Sasmito ayah Fandi tiba. Mendengar suara suaminya, Fitri
pura-pura tidur. Sementara itu Fandi merasa bersyukur karena ayahnya tidak
mengetahui bahwa ibu dan dia pulang dari perkebunan.
Malam Kematian Sang Ibu
Malam
nampak cerah, purnama bersinar terang. Tapi fandi dicekam ketakutan menyaksikan
purnama itu. Hatinya begitu gelisah. Siapakah yang akan dijadikan tumbal oleh
ayahnya pada Purnama ini? Keringat Fandi mengucur deras membasahi kemeja yang
ia kenakan. Ia beranjak dari ranjangnya, Fandi mengkhawatirkan keadaan ibunya.
Perasaannya gelisah seperti akan terjadi sesuatu pada ibunya. Fandi bergegas
mendatangi kamar tidur ibunya dan langsung mengetuk pintu kamar.
“Bu,
bu……! Ini Fandi bu! Tolong bukakan pintunya bu. Fandi mau bicara. Apakah ibu
tidak sholat Isya’ dulu?”
Lama
Fandi menunggu, tapi tak satupun pertanyaan dijawab. Akhirnya ia mengintip
melalui lubang kunci. Tiba-tiba Fandi berteriak nyaring memanggil ayahnya.
“Ayah….!
Ayah…! Tolong ibu ayah!” teriak Fandi.
Sasmito
menghampiri Fandi sambil bertanya, “Ada apa Fandi? Kenapa dengan ibumu?”
“Lihat
ayah! Pintu kamar ini terkunci dari dalam. Saat Fandi memanggil-manggil ibu, ia
tak menyahut. Sepertinya ibu sedang sakit ayah.”
Sasmito
Nampak panik. Ia segera mendobrak pintu tersebut bersama Fandi lalu berlari
masuk ke dalam kamar. Fandi bersama ayahnya langsung menghampiri ranjang
melihat Fitri tergolek lemah di atasnya. Dan, semua teriakan tak satupun
didengar Fitri.
“Fitri,
bangun Fitri! Ada apa denganmu Fitri!” Sasmito dan Fandi menangis sambil
menjerit-jerit.
“Fitri
jangan tinggalkan aku Fitri. Aku tidak sanggup hidup tanpa kau disisiku!”
Sasmito terus berteriak sambil memeluk tubuh istrinya.
“Fandi….!
Ibumu sudah tiada. Ibu sudah menghadap Tuhan. Ini memang salah ayah Fandi.
Maafkan ayah.”
Sasmito
berbicara sambil meratap, ratapan yang sangat memilukan. Ia menangis bagai bayi
yang baru lahir. Hatinya hancur atas kepergian Fitri yang telah dijadikan
tumbal olehnya. Isak tangis Sasmito terdengar sangat mengharukan. Tapi Fandi
merasa muak dengan sikap ayahnya.
Mendadak
Fandi marah, ia sudah sekian lama memendam kebencian terhadap ayahnya.
Kebencian itu muncul akibat perlakuan ayahnya yang tega menjadikan kedua
adiknya sebagai tumbal. Apalagi kini ibunya tewas menyusul kedua adiknya.
Ibunya telah menjadi korban atas pemujaan ayahnya.
“Ayah
benar-benar tega berbuat seperti ini. Kenapa ayah lakukan pada kami? Kami butuh
kebahagiaan. Kami tidak butuh harta! Beginilah jika ayah tidak percaya dengan
adanya Tuhan!”
Makian
Fandi yang terdengar mengutuk, terlalu pedas bagi Sasmito. Namun Sasmito tidak
sedikitpun membalas makian anak sulungnya itu. Sasmito menyadari semua
kesalahannya. Akhirnya Fandi keluar dari kamar dan segera memanggil para
tetangga untuk memberitahukan kematian ibunya. Usai itu Fandi kembali ke kamar
menemui jenazah ibunya.
Tubuh
Fitri terbujur kaku, tergolek di atas ranjang didampingi Sasmito. Wajahnya
tampak pucat dan keriput di wajahnya semakin Nampak jelas. Beberapa orang
tetangganya berdatangan untuk melayat.
Sasmito
terlihat shock, ia hanya termenung saat melihat tubuh istrinya dibopong keluar
untuk dimandikan. Sementara itu Fandi mengiringnya dari belakang sambil melihat
sebuah tanda yang suda ia kenal. Tanda yang menyebabkan kematian ibunya.
Esok
harinya, setelah Fitri dimandikan jasadnya segera dimakamkan Fandi, Sasmito dan
seluruh warga menghantarkan jasad Fitri hingga ke pemakaman. Derai air mata
Fandi dan Sasmito mengiringi kepergian Fitri hingga masuk ke liang kubur.
Setelah
pemakaman, Fandi Nampak shock dan frustasi. Semangat hidupnya kini sudah tiada
lagi. Satu demi satu orang-orang yang dicintainya telah pergi meninggalkannya.
Untuk apalagi dirinya bertahan hidup. Mungkin hanya untuk menunggu gilirannya
dijadikan tumbal. Kegundahan hati Fandi yang terlihat nyata dapat dipahami
Sasmito mendekati Fandi dan memeluknya sambil berkata.
“Kau
akan kemana Fandi? Apa kamu akan pergi meninggalkan ayah? Ayah mengakui
kesalahan ayah membuat ibu dan kedua adikmu pergi. Tapi tolong dengar kata-kata
ayah. Pada waktu itu ayah tergoda oleh harta. Tapi semua itu aah lakukan demi
kehormatan keluarga kita yang selalu dihina karena hidup dalam kemiskinan. Ayah
sungguh khilaf waktu itu dan tidak berpikir panjang. Sekarang tolong bantu ayah
untuk menyelamatkan ayah. Ayah tak ingin kaupun dijadikan tumbal bagi Raja
Siluman itu. Kau harus selamat, biarlah ayah sendiri yang menanggung
akibatnya.”
Hati
Fandi terketuk juga oleh kata-kata ayahnya. Walau ayahnya telah salah mengambil
jalan, ia tetap ayah kandungnya. Fandi pun segera keluar dari rumah tanpa mau
disertai ayahnya. Fandi akan berusaha mencari solusi yang bisa melindungi
dirinya dan menyelamatkan nyawanya.
Dengan
berat hati dan perasaan tak karuan Fandi melangkahkan kakinya menembus udara
bebas sambil terus berharap nyawanya dapat terbebas dari cengkeraman Ratu
Pemilik Harta.
Sumber : Majalah Victory Edisi 68/2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar