Bertarung
Melawan Jin Penunggu Harta Karun
Oleh : Jemy Haryanto
Kisah
mistik ini dituturkan langsung oleh pelaku. Dimana demi mengangkat setumpuk
batangan emas, dirinya bertarung habis-habisan dengan sesosok jin penunggu
harta karun itu. Namun, setelah berhasil mengalahkannya yang terjadi malah
membuat dirinya sangat kecewa.
*****
Malam
itu, sekitar pukul 22.00 WIB, tepatnya ketika aku sedang melakukan rutinitasku
berdzikir, di kamar kosong di rumahku, mendadak isteriku membuyarkan
konsentrasiku. Istriku memberitahu kalau di luar ada seorang tamu yang ingin
bertemu denganku. Aku pun terpaksa keluar. Dan di ruang tamu itu kulihat Pak
Soleh yang telah duduk di atas sofa sambil membuka-buka buku yang terletak di
atas meja. Setelah basa-basi sebentar, ia kemudian membicarakan maksud dan
tujuannya menemui diriku. Aku menyimaknya baik-baik.
“Kurang
lebihnya begitulah kesimpulannya, mas. Karena Pak Indra yang memberi modal,
berapa pun hasilnya nanti, dia siap membagi sama rata, “Pak Soleh menutup
penuturannya.
Aku
diam sejenak, kemudian berucap. “Begini Pak, yang saya pikirkan bukan masalah
pembagiannya. Saya hanya heran saja, atas dasar apa bu Lena begitu percaya dan
yakin kalau di rumahnya ada timbunan harta peninggalan almarhum? Apakah
suaminya dulu itu orang kaya?” tukasku, ragu.
Sahabatku
itu tersenyum mendengar penuturanku. “Soal itu saya juga tidak tahu. Tapi yang
jelas, Bu Lena yakin seratus persen kalau harta itu memang ada,” katanya.
Kami
memang sudah terbiasa ngobrol dibarengi humor, terkadang menyindir satu sama
lain, tetapi topik persoalan tetap berlanjut, seperti halnya malam itu. Sambil
menyalahkan sebatang rokok.
Pak
Soleh kembali bertutur, “menurut bu Lena, awal mulanya ia bermimpi. Suaminya
yang almarhum, mendatanginya dan mengatakan kalau dia sendiri yang menaruh emas
tersebut di bawah lantai ruang tamu. Tetapi dia berpesan kalau ‘tanaman emas’
itu baru bisa diangkat setelah genap waktunya, dan hanya akan menjadi kenyataan
kalau yang mengangkatnya adalah seseorang yang berhati bersih. Artinya, tidak
bisa diangkat oleh sembarang orang.”
“Berapa
banyak jumlahnya?” tanyaku yang mulai serius.
“Kalau
tidak salah, setelah beberapa kali bu Lena mendatangkan orang pintar ke
rumahnya, rata-rata mengatakan ada sekitar 32 batang emas. Itu menurut mereka.
Sedangkan menurut hemat saya, sekiranya mas berkenan, mungkin nanti bisa
diperiksa ulang. Selanjutnya saya serahkan sepenuhnya sama mas. Begitu pesan bu
lena,” ucap Pak Soleh.
Aku
mengangguk kecil setelah mendengar cerita yang bernada menggiurkan itu. Sebagai
seorang yang dikenal memiliki kemampuan mengangkat harta terpendam dengan
kekuatan supranatural, tentu saja aku harus menerima tawaran menarik itu.
Tiga
hari kemudian, pak Soleh memperkenalkan aku kepada bu Lena. Setelah berkenalan
dan akrab, wanita di ambang usia senja itu mulai menceritakan ulang soal
mimpi-mimpinya itu.
“Kenapa
saya begitu yakin bahwa benda itu memang ada, karena mimpi itu terus berulang-ulang
datang dalam tidur saya,” kata bu Lena.
Mendengar
penjelasan dari bu Lena, aku tak ingin membuang waktu banyak. Malam itu juga
aku melaksanakan penerawangan, menembus dunia lain melalui ketajaman mata
batinku. Dan hasilnya cukup meyakinkan. Apa yang kulihat tak jauh beda dengan
apa yang diceritakan bu Lena. Di bawah lantai ruang tamu rumah wanita yang
telah lama hidup menjanda itu memang kelihatan tumpukan emas batangan. Setelah
merasa yakin, maka kupastikan langsung hari untuk melakukan ritual
pengangkatan.
Tepatnya
Rabu malam, semua bahan-bahan untuk ritual sudah disiapkan. Antara lain, tujuh
macam buah-buahan, kembang tujuh rupa, tujuh batang cerutu, sepiring nasi
putih, sebungkus rokok kretek Gudang Garam Merah, kopi manis dan kopi pahit, teh
manis dan teh pahit, segelas air putih, dan sebotol minyak khusus yang biasa
dipergunakan untuk melaksanakan upacara ritual semacam ini. Minyak tersebut
biasa juga disebut “Minyak Jin” Harga minyak itu bisa sampai jutaan rupiah.
Sebab, tanpa menggunakan minyak seperti itu, rasanya sangat tipis
kemungkinannya akan berhasil dengan baik dan lancar.
Sejumlah
orang telah berkumpul di ruang tengah, berdzikir membaca Surat Al-Ikhlas
secukupnya. Pengertian secukupnya di sini ialah baru boleh berhenti setelah ada
petunjuk dariku, yang biasanya akan kusampaikan melalui kode, dan aku harus
langsung memberitahukannya kepada mereka yang berdzikir.
Di
kamar khusus yang telah kupadamkan lampunya, hanya ada aku dan dua orang
rekanku. Aku terus berinteraksi dan sangat melelahkan. Berdasarkan
pendeteksian, jin yang menguasai lantakan emas itu sangat kuat.
Setelah
diadakan dialog, jin itu tidak mau menyerahkan begitu saja apa yang kami minta.
Dia tetap bertahan sesuai perintah sang majikan, yaitu sebelum genap hitungan
enam tahun sejak benda tersebut ditanam oleh almarhum suami bu Lena, dia tidak
akan menyerahkan kepada siapa pun, kendati kami melaksanakan hajat ini atas
permohonan isterinya sendiri.
Cukup
lama kami bertarung dengan Jin penunggu harta itu. Hampir dua jam lamanya.
Salah seorang rekanku terus mengeluarkan jurus-jurus ampuhnya untuk mengalahkan
Jin itu. Si Jin tetap bertahan. Dari langit-langit kamar kudengar jelas seperti
benda berat saling berjatuhan menimpa kepalaku. Padahal aku tahu, itu hanya
pendengaranku saja. Tidak nyata.
Kecuali
sosok Jin yang memperlihatkan penampakannya secara jelas. Dia berbadan tinggi
besar, hampir mencapai sepuluh meter, berambut gondrong. Mungkin. Sepasang
kupingnya sebesar telinga gajah. Matanya sebesar lampu sepeda motor, sedangkan
bagian dada, tangan dan kakinya ditumbuhi bulu-bulu lebat. Sangat menyeramkan!
Aku
bersyukur, karena tak lama kemudian Jin itupun menyerah, mengaku kalah, dan
berjanji akan menyerahkan semua benda tersebut kepada kami. Ternyata benar.
Setelah lampu kunyalahkan, batangan emas tersebut sudah tersusun rapi di atas
hamparan sajadah. Berikut dua buah kalung emas. Yang satu sepertinya untuk
laki-laki. Satunya lagi untuk wanita.
Dari
dalam bambu pendek yang terpaksa kupecahkan, terdapat pula gulungan kertas.
Isinya mengatakan bahwa kalung emas wanita diperuntukkan khusus untuk putri
bungsu almarhum. Sementara kalung laki-laki untuk bu Lena sendiri.
Benda-benda
tersebut kemudian kuperlihatkan kepada semua yang hadir di situ. Kulihat mereka
tersenyum puas menyaksikan keberhasilan kerja kami. Terutama bu lena. Mereka
nyaris tak berkedip memelototi benda-benda berharga tersebut. Heran, gembira,
tetapi terkesan tak percaya pada penglihatan mereka sendiri.
“Betul-betul
aneh, tapi nyata. Tapi saya masih tidak percaya benda yang ada di dalam tanah bisa
di angkat ke atas, tapi lantai tidak ada yang pecah satupun. Benar-benar tidak
masuk logika,” kata bu Lena.
“Jadi
sekarang gimana?” tanyaku.
“Sekarang
saya percaya seratus persen. Soalnya saya melihat sendiri, dan di rumah
sendiri,” ucap bu Lena lagi.
“Kalung-kalung
ini boleh langsung kalian pakai,” ucapku.
“Kalau
yang lainnya sebaiknya disimpan saja di tempat yang menurut ibu cukup aman.
Kalau ibu mau jual, nanti saja kalau sudah waktunya pas, seperti yang tertulis
pada surat wasiat yang tertulis pada surat wasiat yang ditulis almarhum. Di
sini disebutkan, apabila dimanfaatkan sebelum genap waktunya enam tahun,
taruhannya adalah nyawa!”
“Batas
waktu itu kapan, mas?” tanya bu Lena lagi.
“Kalau
tidak salah tahun depan. Tanggal dan bulan ada tertera di surat itu!” jawabku.
Akan
tetapi, karena yang disebut manusia selalu saja merasa kekurangan dan tak
pernah mensyukuri nikmat Tuhan, juga memiliki sifat tergesa-gesa. Sebelum
sampai waktunya bu Lena bermaksud menjual tiga batang emas itu. Alasannya,
selain terhimpit oleh kebutuhan hidup yang semakin meningkat, juga untuk
mengembalikan uang minyak dagangannya yang belum ia setor penuh.
Karena
semua barang berharga itu adalah milik almarhum suaminya, aku dan rekanku
merestui. Kebetulan pula pada waktu itu kami sedang butuh uang untuk keperluan
serupa. Segera aku melaju ke salah satu toko emas kenalanku di Pontianak.
Namun
hasilnya sangat mengecewakan sekali. Sungguh! Emas batangan tersebut berubah
menjadi tembaga. Aku jadi penasaran. Kubawa ke toko lainya. Namun hasilnya
sama.
“Ini
tembaga pak. Sama sekali tidak ada kadar emasnya. Hanya ini berwarna kuning,
tapi bukan emas,” kata si pemilik toko setelah dua tiga kali mengetes kemurnian
emas tesebut.
Celaka
tiga belas, pikirku. Setelah delapan juta terbang dari dompet, kemudian
mati-matian bertarung melawan Jin penunggunya, hasilnya hanya tembaga. Walaupun
masih ada harapan akan sempurna dengan sendirinya apabila tiba waktunya kelak,
atau melalui bantuan orang pintar yang memiliki ilmu khusus untuk
“menyempurnakan” tembaga itu kepada wujud aslinya. Namun itu baru sebatas
harapan. Bisa jadi kenyataan bisa tidak.
Namun
semuanya kuserahkan kepada Yang maha Kuasa. Yang pasti, dari kasus ini aku
mendapat pelajaran berharap bahwa kita sebagai manusia hendaknya bisa bersabar
dalam menanti sesuatu hal. Ya, kalau saja kami menjual batangan emas tersebut
sesuai dengan waktu yang ditetapkan, mungkin emas itu tidak akan berubah
menjadi tembaga.
Sumber : Majalah Victory Edisi 68/2013
1 komentar:
Aku jg mau Mnta tolong angkatkn emas yg ada d rumah ku
Posting Komentar