Jumat, 08 Februari 2013

Cincin Berdarah


Cincin Berdarah

Oleh : Dawai Putra Asmara

Hasil visum dokter, Juliet telah meninggal dunia. Dengan sabar aku menunggu putriku selama sehari dua malam. Malah aku sendiri yang membaringkan anakku di peti matinya. Tanganku ini pula yang mengantarkannya ke dalam kubur tempat peristrirahatannya yang terakhir, di kuburan keluarga di bawah tanah, di daerah Tanah Kusir.

*****
Dengan tenang satu per-satu tamu hotel itu memasuki ruang makan siang. Mereka mengambil tempat duduk masing-masing. Para pelayan pun melayani dengan sangat ramah. Para habitué, yaitu tamu-tamu hotel yang datang ke tempat wisata penyembuhan penyakit dengan mandi air panas vulkanis itu, memandang minat ke arah pintu masuk setiap kali pintu terbuka. Dengan harapan, kalau-kalau ada wajah baru yang muncul.

Para pengunjung sengaja datang di saat-saat makan siang bersama, untuk memastikan ada tidaknya tamu-tamu baru. Mereka ingin mengetahui siapa saja, apa yang mereka lakukan, dan apa yang mereka pikirkan.

Di tempat seperti itu, bisa juga terjalin suatu persahabatan yang serius. Mampu terjalin lebih cepat ketimbang di tempat-tempat lain. Sore itu, seperti sore-sore sebelumnya, kami duduk tenang di ruang makan. Menanti munculnya wajah-wajah baru. Ternyata, hanya ada dua wajah baru. Tapi sangat menarik perhatian.

Seorang pria, dan satunya lagi wanita. Rupanya ayah dan anak. Segera saja keduanya mengingatkan diriku pada tokoh-tokoh yang bisa muncul dalam cerita-cerita Edgar Allan Poe. Meskipun begitu ada daya tarik tersendiri pada keduanya. Suatu daya tarik yang terasa cukup aneh.

Lelaki itu bertubuh tinggi, kurus. Agak bungkuk. Rambutnya telah putih, nyaris seluruhnya. Sebenarnya terlalu cepat memutih dari umurnya yang tampak relatif masih muda. Dari penampilan maupun pakaian yang ia kenakan jelas menunjukkan bahwa mereka orang Belanda. Sedang anak perempuannya, yang mungkin berumur antara dua puluh lima, bertubuh kecil, juga sangat kurus dan sangat pucat. Menimbulkan kesan selalu dalam keadaan lelah.

Memang, aku sering bertemu dengan orang-orang yang nampaknya terlalu lemah dan bersemangat menjalani hidup sehari-harinya. Terlalu loyo untuk bergerak atau untuk berjalan. Terlalu lesu untuk melakukan apa saja yang bisa kita lakukan setiap hari.

Wanita muda itu sebenarnya berwajah sangat cantik. Tetapi kecantikannya yang memukau itu terlihat misterius. Bagaikan peri. Dia menyantap hidangan makan siang dengan sangat pelan, seakan sudah tidak mampu untuk menggerakkan lagi. Dengan begitu, aku jadi semakin yakin, tentu dialah yang sengaja datang ke pemandian sumber air vulkanik ini untuk menyembuhkan penyakitnya. Kebetulan keduanya duduk di meja persis di depanku.

Akupun melihat, gerakan tangan ayahnya begitu kaku dan gugup. Setiap kali dia ingin mengambil sesuatu, gerak tangan ayahnya begitu kaku dan gugup. Setiap kali dia ingin mengambil sesuatu, gerak tangannya bagaikan suatu pengait, kaku dan sedikit gemetaran. Aku juga bisa melihat wanita muda itu mengenakan kaus tangan, hanya di bagian kiri saja.

Selesai makan siang, aku jalan-jalan di kompleks taman sumber mata air panas itu. Seakan tertuntun menuju ke Bungalow, Chatel Guyon, yang terlindung di kaki pegunungan tinggi, tempat yang banyak sekali terdapat sumber mata air panas. Di daerah itu, di atas taman tempat makan siang, tampak puncak-puncak pegunungan yang membiru, seakan sebuah rangkaian yang satu dengan lainnya saling menyatu.

Juliet Telah Meninggal
Sore itu udara terasa hangat. Aku menaiki, lalu menuruni suatu jalur jalan yang teduh di sisi pegunungan itu. Terdengar alunan musik dari arah sebuah café. Kemudian aku pun melihat lagi ayah dan anak gadisnya tadi berjalan ke arahku.

Aku membungkuk menyapanya dengan ramah. Tiba-tiba kaki lurus itu menghentikan langkahnya, kemudian dia berkata padaku.

“Maukah Anda menemani kami jalan-jalan, tapi itu pun kalau tidak menganggu Anda, Monsieur?”

Dengan senang hati aku menerima ajakannya. Kami berjalan ke arah lembah.

Sungai kecil mengalir indah di situ. Lembah yang membentuk jurang di antara dua lereng terjal itu ditumbuhi hutan lebat. Mereka terlihat sangat gembira melintasi daerah itu sambil ngobrol tentang air panas yang bersumber dari daerah ini dan telah banyak berjasa menyembuhkan berbagai penyakit.

“O ya,” kata si ayah. “Anak gadisku menderita suatu penyakit aneh, tapi hingga saat ini belum bisa ditentukan dengan pasti jenis penyakit yang dideritanya. Yang jelas, dia menderita gangguan sistem syaraf yang sulit dipahami. Dokter mengira dia menderita penyakit jantung. Di saat lain, mereka mengatakan kalau anakku terserang saraf punggung. Sekarang ini penyakitnya disebut akibat kerusakan organ perut. Itulah sebabnya mengapa kemudian kami datang ke tempat ini,” kata si ayah.

“Tapi menurut pendapatku, penyakit yang diderita putriku akibat terganggunya sistem syaraf. Karena memang mempunyai riwayat tersendiri,” kata si ayah lagi.

“Tetapi apakah bukan penyakit keturunan? Maksudku, bukan syaraf gerak di tubuh Anda juga tidak normal?” tanyaku.

“Syaraf gerak tubuhku? Oh, tidak… Syarafku sebenarnya dalam keadaan baik-baik saja.” Setelah tercenung sejenak, dia kembali meneruskan ucapannya.

“Oh, tentunya Anda menilai hal itu setelah melihat tanganku gemetaran dan kaku setiap kali mengambil sesuatu? Hal ini sebenarnya akibat pengalaman yang sangat mengerikan, yang pernah aku alami. Coba Anda bayangkan, anak gadisku ini benar-benar pernah dikubur hidup-hidup!” Aku tersentak kaget mendengar ceritanya.

Begini ceritanya, Putriku Juliet, memang sudah beberapa kali terkena serangan jantung. Oleh karena itu kami selalu siap menghadapi keadaan, meski yang terburuk sekalipun. Pada suatu hari, dia digotong ke dalam rumah. Tubuhnya dalam keadaan dingin. Dia tak lagi bernapas. Dia mati. Dia jatuh tidak sadarkan diri di sebuah taman.

Menurut hasil visum dokter, Juliet telah meninggal. Dengan sabar aku menunggui putriku selama sehari dua malam. Malah aku sendiri yang membaringkan anakku di peti matinya. Tanganku ini pula yang mengantarkannya ke dalam alam kubur tempat peristirahatannya yang terakhir, di kuburan keluarga bawah tanah, di daerah Tanah Kusir.

Aku juga telah memakaikan berbagai perhiasan seperti permata, gelang, kalung dan cincin, serta mendandaninya dengan gaun pesta berwarna putih. Tentunya Anda bisa membayangkan, betapa hancurnya perasaanku ketika kembali ke rumah. Dia adalah satu-satunya penghibur dan temanku di dunia ini. Isteriku telah meninggal sejak bertahun-tahun lalu.

Aku sempat sempoyongan sendiri menuju kamar tidurku. Dalam keadaan setengah tidak sadar, karena begitu lelahnya. Kuhempaskan tubuhku ke kursi malas. Pelayan setiaku yang telah tua, Joedy, yang ikut membantuku meletakkan Juliet ke dalam peti mati dan mengangkat peti itu ke kuburan bawah tanah, masuk ke kamarku dan bertanya, “Apakah Tuan memerlukan sesuatu? Aku hanya menggelengkan kepala. Lalu dia meninggalkanku.

Tiba-tiba bel di kamar depan terdengar berdering. Aku kaget dan terbangun. Aku menoleh ke arah jam dinding. Ternyata masih pukul dua malam. Kemudian, sekali lagi bel itu berbunyi dengan keras.

Aku melangkah mundur. Di kegelapan malam yang dingin itu, aku merasa melihat sesosok tubuh wanita berpakaian serbah putih berdiri tegak dihadapanku. Sosok tubuhnya mirip dengan hantu wanita.

Aku terus melangkah mundur dicekam ketakutan yang luar biasa, aku mencoba bertanya. “Siapa… Siapa… kamu sebenarnya? Jangan menggangguku! Pergi… Pergi…!!”

Tidak lama kemudian aku mendengar jawaban dari suaranya yang serak. “Ini aku, Pa. Juliet… anakmu…”

Demi tuhan, dia ternyata adalah anak gadisku yang telah mati. Aku mengira, saat itu aku sudah gila. Aku terus melangkah mundur. Sementara setapak demi setapak hantu itu maju mendekatiku. Sambil mundur ketakutan, aku membuat tanda salib, sebagaimana biasanya umat Kristen mengusir hantu.

Kemudian hantu itu berkata lagi. “Jangan takut, Pa. Aku belum mati. Seseorang mencoba mencuri cincin permataku. Dia memotong salah satu jemariku. Darahku mengucur keluar. Itulah yang telah membangunkanku dari mati suriku.”

“Ternyata, memang begitulah kenyataannya. Aku melihat darah segar menetes di jari kiri anakku. Aku langsung terjatuh di lantai. Aku terisak, namun tidak mampu berkata sepatah pun. Setelah siuman kubimbing anakku menuju kamar tidur yang ada di lantai atas. Kududukkan dia di kursi malasku. Kubunyikan bel untuk memanggil prosper untuk menyalahkan tungku perapian serta menyediakan anggur untuk putriku.

Kuperintahkan agar dia merawat luka di jari anakku. Prosper yang datang menemuiku terbelalak melihat sosok Juliet. Kemudian dia pun jatuh pingsan tak sadarkan diri. Rasa takutnya amat luar biasa.

Ternyata justru dialah yang telah membuka pintu ruang makam bawah tanah Juliet. Kemudian memotong jari tangan anakku, lalu meninggalkan putriku begitu saja setelah merampok perhiasan Juliet. Bahkan sampai hati dia tidak menutupi pintu mati itu lagi karena yakin pencurian yang dilakukannya tidak akan diketahui orang lain.

Lagi pula tidak mungkin orang mencurigainya karena dia adalah pelayanku yang paling setia dan sangat aku percaya.

“Nah! Anda tentunya sudah memahaminya. Bahwa kami ini adalah orang-orang yang tidak bahagia.” Lalu dia menutup kisahnya.

Malam mulai turun. Menebarkan bayang-bayang selimut kelamnya di lembah yang sepi dan terpencil. Suatu perasaan takut tiba-tiba mencekam diriku. Ternyata aku sedang berdampingan dengan dua sosok manusia aneh. Kini aku malah berjalan di samping gadis muda yang bangkit dari liang kuburnya. Ayahnya pun menderita kekakuan syaraf yang amat mengerikan.

“Betapa mengerikan!” kataku dalam hati.

“Mungkin lebih baik kita kembali ke hotel saja. Udara di sini semakin dingin.” Ajakku. Akhirnya kami pun menyusuri lorong kelam itu untuk kembali ke penginapan.

Sumber : Tabloid Horor, Edisi 006/Tahun 02/2013

Tidak ada komentar: