Cincin Berdarah
Oleh : Dawai Putra Asmara
Hasil
visum dokter, Juliet telah meninggal dunia. Dengan sabar aku menunggu putriku
selama sehari dua malam. Malah aku sendiri yang membaringkan anakku di peti
matinya. Tanganku ini pula yang mengantarkannya ke dalam kubur tempat
peristrirahatannya yang terakhir, di kuburan keluarga di bawah tanah, di daerah
Tanah Kusir.
*****
Dengan tenang satu per-satu tamu
hotel itu memasuki ruang makan siang. Mereka mengambil tempat duduk
masing-masing. Para pelayan pun melayani dengan sangat ramah. Para habitué,
yaitu tamu-tamu hotel yang datang ke tempat wisata penyembuhan penyakit dengan
mandi air panas vulkanis itu, memandang minat ke arah pintu masuk setiap kali
pintu terbuka. Dengan harapan, kalau-kalau ada wajah baru yang muncul.
Para pengunjung sengaja datang di
saat-saat makan siang bersama, untuk memastikan ada tidaknya tamu-tamu baru.
Mereka ingin mengetahui siapa saja, apa yang mereka lakukan, dan apa yang
mereka pikirkan.
Di tempat seperti itu, bisa juga
terjalin suatu persahabatan yang serius. Mampu terjalin lebih cepat ketimbang
di tempat-tempat lain. Sore itu, seperti sore-sore sebelumnya, kami duduk
tenang di ruang makan. Menanti munculnya wajah-wajah baru. Ternyata, hanya ada
dua wajah baru. Tapi sangat menarik perhatian.
Seorang pria, dan satunya lagi
wanita. Rupanya ayah dan anak. Segera saja keduanya mengingatkan diriku pada
tokoh-tokoh yang bisa muncul dalam cerita-cerita Edgar Allan Poe. Meskipun
begitu ada daya tarik tersendiri pada keduanya. Suatu daya tarik yang terasa
cukup aneh.
Lelaki itu bertubuh tinggi, kurus.
Agak bungkuk. Rambutnya telah putih, nyaris seluruhnya. Sebenarnya terlalu
cepat memutih dari umurnya yang tampak relatif masih muda. Dari penampilan
maupun pakaian yang ia kenakan jelas menunjukkan bahwa mereka orang Belanda.
Sedang anak perempuannya, yang mungkin berumur antara dua puluh lima, bertubuh
kecil, juga sangat kurus dan sangat pucat. Menimbulkan kesan selalu dalam
keadaan lelah.
Memang, aku sering bertemu dengan
orang-orang yang nampaknya terlalu lemah dan bersemangat menjalani hidup
sehari-harinya. Terlalu loyo untuk bergerak atau untuk berjalan. Terlalu lesu
untuk melakukan apa saja yang bisa kita lakukan setiap hari.
Wanita muda itu sebenarnya berwajah
sangat cantik. Tetapi kecantikannya yang memukau itu terlihat misterius.
Bagaikan peri. Dia menyantap hidangan makan siang dengan sangat pelan, seakan
sudah tidak mampu untuk menggerakkan lagi. Dengan begitu, aku jadi semakin
yakin, tentu dialah yang sengaja datang ke pemandian sumber air vulkanik ini
untuk menyembuhkan penyakitnya. Kebetulan keduanya duduk di meja persis di
depanku.
Akupun melihat, gerakan tangan
ayahnya begitu kaku dan gugup. Setiap kali dia ingin mengambil sesuatu, gerak
tangan ayahnya begitu kaku dan gugup. Setiap kali dia ingin mengambil sesuatu,
gerak tangannya bagaikan suatu pengait, kaku dan sedikit gemetaran. Aku juga bisa
melihat wanita muda itu mengenakan kaus tangan, hanya di bagian kiri saja.
Selesai makan siang, aku jalan-jalan
di kompleks taman sumber mata air panas itu. Seakan tertuntun menuju ke
Bungalow, Chatel Guyon, yang terlindung di kaki pegunungan tinggi, tempat yang
banyak sekali terdapat sumber mata air panas. Di daerah itu, di atas taman
tempat makan siang, tampak puncak-puncak pegunungan yang membiru, seakan sebuah
rangkaian yang satu dengan lainnya saling menyatu.
Juliet Telah Meninggal
Sore itu udara terasa hangat. Aku
menaiki, lalu menuruni suatu jalur jalan yang teduh di sisi pegunungan itu.
Terdengar alunan musik dari arah sebuah café. Kemudian aku pun melihat lagi
ayah dan anak gadisnya tadi berjalan ke arahku.
Aku membungkuk menyapanya dengan
ramah. Tiba-tiba kaki lurus itu menghentikan langkahnya, kemudian dia berkata
padaku.
“Maukah Anda menemani kami
jalan-jalan, tapi itu pun kalau tidak menganggu Anda, Monsieur?”
Dengan senang hati aku menerima
ajakannya. Kami berjalan ke arah lembah.
Sungai kecil mengalir indah di situ.
Lembah yang membentuk jurang di antara dua lereng terjal itu ditumbuhi hutan
lebat. Mereka terlihat sangat gembira melintasi daerah itu sambil ngobrol
tentang air panas yang bersumber dari daerah ini dan telah banyak berjasa
menyembuhkan berbagai penyakit.
“O ya,” kata si ayah. “Anak gadisku
menderita suatu penyakit aneh, tapi hingga saat ini belum bisa ditentukan
dengan pasti jenis penyakit yang dideritanya. Yang jelas, dia menderita
gangguan sistem syaraf yang sulit dipahami. Dokter mengira dia menderita penyakit
jantung. Di saat lain, mereka mengatakan kalau anakku terserang saraf punggung.
Sekarang ini penyakitnya disebut akibat kerusakan organ perut. Itulah sebabnya
mengapa kemudian kami datang ke tempat ini,” kata si ayah.
“Tapi menurut pendapatku, penyakit
yang diderita putriku akibat terganggunya sistem syaraf. Karena memang
mempunyai riwayat tersendiri,” kata si ayah lagi.
“Tetapi apakah bukan penyakit
keturunan? Maksudku, bukan syaraf gerak di tubuh Anda juga tidak normal?”
tanyaku.
“Syaraf gerak tubuhku? Oh, tidak…
Syarafku sebenarnya dalam keadaan baik-baik saja.” Setelah tercenung sejenak,
dia kembali meneruskan ucapannya.
“Oh, tentunya Anda menilai hal itu
setelah melihat tanganku gemetaran dan kaku setiap kali mengambil sesuatu? Hal
ini sebenarnya akibat pengalaman yang sangat mengerikan, yang pernah aku alami.
Coba Anda bayangkan, anak gadisku ini benar-benar pernah dikubur hidup-hidup!”
Aku tersentak kaget mendengar ceritanya.
Begini ceritanya, Putriku Juliet,
memang sudah beberapa kali terkena serangan jantung. Oleh karena itu kami
selalu siap menghadapi keadaan, meski yang terburuk sekalipun. Pada suatu hari,
dia digotong ke dalam rumah. Tubuhnya dalam keadaan dingin. Dia tak lagi
bernapas. Dia mati. Dia jatuh tidak sadarkan diri di sebuah taman.
Menurut hasil visum dokter, Juliet
telah meninggal. Dengan sabar aku menunggui putriku selama sehari dua malam.
Malah aku sendiri yang membaringkan anakku di peti matinya. Tanganku ini pula
yang mengantarkannya ke dalam alam kubur tempat peristirahatannya yang
terakhir, di kuburan keluarga bawah tanah, di daerah Tanah Kusir.
Aku juga telah memakaikan berbagai
perhiasan seperti permata, gelang, kalung dan cincin, serta mendandaninya
dengan gaun pesta berwarna putih. Tentunya Anda bisa membayangkan, betapa
hancurnya perasaanku ketika kembali ke rumah. Dia adalah satu-satunya penghibur
dan temanku di dunia ini. Isteriku telah meninggal sejak bertahun-tahun lalu.
Aku sempat sempoyongan sendiri menuju
kamar tidurku. Dalam keadaan setengah tidak sadar, karena begitu lelahnya.
Kuhempaskan tubuhku ke kursi malas. Pelayan setiaku yang telah tua, Joedy, yang
ikut membantuku meletakkan Juliet ke dalam peti mati dan mengangkat peti itu ke
kuburan bawah tanah, masuk ke kamarku dan bertanya, “Apakah Tuan memerlukan
sesuatu? Aku hanya menggelengkan kepala. Lalu dia meninggalkanku.
Tiba-tiba bel di kamar depan
terdengar berdering. Aku kaget dan terbangun. Aku menoleh ke arah jam dinding.
Ternyata masih pukul dua malam. Kemudian, sekali lagi bel itu berbunyi dengan
keras.
Aku melangkah mundur. Di kegelapan
malam yang dingin itu, aku merasa melihat sesosok tubuh wanita berpakaian
serbah putih berdiri tegak dihadapanku. Sosok tubuhnya mirip dengan hantu
wanita.
Aku terus melangkah mundur dicekam
ketakutan yang luar biasa, aku mencoba bertanya. “Siapa… Siapa… kamu
sebenarnya? Jangan menggangguku! Pergi… Pergi…!!”
Tidak lama kemudian aku mendengar
jawaban dari suaranya yang serak. “Ini aku, Pa. Juliet… anakmu…”
Demi tuhan, dia ternyata adalah anak
gadisku yang telah mati. Aku mengira, saat itu aku sudah gila. Aku terus
melangkah mundur. Sementara setapak demi setapak hantu itu maju mendekatiku.
Sambil mundur ketakutan, aku membuat tanda salib, sebagaimana biasanya umat
Kristen mengusir hantu.
Kemudian hantu itu berkata lagi.
“Jangan takut, Pa. Aku belum mati. Seseorang mencoba mencuri cincin permataku.
Dia memotong salah satu jemariku. Darahku mengucur keluar. Itulah yang telah
membangunkanku dari mati suriku.”
“Ternyata, memang begitulah
kenyataannya. Aku melihat darah segar menetes di jari kiri anakku. Aku langsung
terjatuh di lantai. Aku terisak, namun tidak mampu berkata sepatah pun. Setelah
siuman kubimbing anakku menuju kamar tidur yang ada di lantai atas. Kududukkan
dia di kursi malasku. Kubunyikan bel untuk memanggil prosper untuk menyalahkan
tungku perapian serta menyediakan anggur untuk putriku.
Kuperintahkan agar dia merawat luka
di jari anakku. Prosper yang datang menemuiku terbelalak melihat sosok Juliet.
Kemudian dia pun jatuh pingsan tak sadarkan diri. Rasa takutnya amat luar
biasa.
Ternyata justru dialah yang telah
membuka pintu ruang makam bawah tanah Juliet. Kemudian memotong jari tangan
anakku, lalu meninggalkan putriku begitu saja setelah merampok perhiasan
Juliet. Bahkan sampai hati dia tidak menutupi pintu mati itu lagi karena yakin
pencurian yang dilakukannya tidak akan diketahui orang lain.
Lagi pula tidak mungkin orang
mencurigainya karena dia adalah pelayanku yang paling setia dan sangat aku
percaya.
“Nah! Anda tentunya sudah
memahaminya. Bahwa kami ini adalah orang-orang yang tidak bahagia.” Lalu dia
menutup kisahnya.
Malam mulai turun. Menebarkan bayang-bayang
selimut kelamnya di lembah yang sepi dan terpencil. Suatu perasaan takut
tiba-tiba mencekam diriku. Ternyata aku sedang berdampingan dengan dua sosok
manusia aneh. Kini aku malah berjalan di samping gadis muda yang bangkit dari
liang kuburnya. Ayahnya pun menderita kekakuan syaraf yang amat mengerikan.
“Betapa mengerikan!” kataku dalam
hati.
“Mungkin lebih baik kita kembali ke
hotel saja. Udara di sini semakin dingin.” Ajakku. Akhirnya kami pun menyusuri
lorong kelam itu untuk kembali ke penginapan.
Sumber : Tabloid Horor,
Edisi 006/Tahun 02/2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar