Rabu, 06 Februari 2013

Tujuh Hari Meninggal Dunia dan Hidup lagi


Tujuh Hari Meninggal Dunia dan Hidup lagi
Jasad Dukun Penganut Ilmu Hitam Dimakamkan hidup-hidup

Oleh : Jemy Haryanto

Tak lama wanita itu pun jatuh sakit. Tubuhnya mengurus tinggal tulang. Namun siapa sangka tubuh yang setiap malamnya berubah segar dan bergentayangan kemana-mana itu ternyata sudah meninggal dunia selama tujuh hari.

*****
Kisah nyata dan menyeramkan ini menimpa salah satu seorang istri pegawai yang berprofesi sebagai dukun penganut ilmu hitam. Sebagai iktibar, salah seorang yang mengaku familinya menceritakan sekelumit kisahnya.

Menikahi Sukamto, memang sudah lama diinginkan oleh Mumun. Meski sebelumnya cintanya pernah ditolak mentah-mentah alias pupus, namun janda kembang yang sudah dua tahun bercerai dengan suaminya itu, tetap bersikukuh mendapatkannya.

Padahal sudah menjadi rahasia umum, bahwa Sukamto dikenal sebagai seorang duda beranak dua. Namun itu tak menjadi alas an, karena ada hal yang lain yang membuat dirinya tertarik pada lelaki itu. Selain memiliki wajah yang tampan, pekerjaannya pun terbilang mapan. Karena, dia bekerja sebagai pegawai negeri di salah satu instansi pemerintah yang ada di daerah itu, dan memiliki banyak warisan yang ditinggalkan almarhum orang tuanya. Jadi, karena faktor itulah yang sebenarnya membuat Mumun tergila-gila pada Sukamto yang umurnya terpaut lebih muda darinya.

Sebagai seorang janda yang sudah berumur, apalagi telah melakukan kawin cerai sebanyak dua kali dan tak bisa memberikan keturunan. Mumun pun menyadari bukan perkara yang mudah menggaet hati Sukamto yang notabenenya merupakan lelaki dari keluarga baik-baik. Sehingga untuk mendekati dan mengutarakan isi hatinya secara langsung tentu saja tak akan pernah dilakukannya pada lelaki lain sebelumnya. Terkecuali menundukannya dengan kekuatan ilmu hitam.

Mumun memang termasuk wanita yang terkenal pantang menyerah. Setiap dia menginginkan sesuatu, harus segera terwujud meski dengan menempuh jalan pintas. Hal itu pula yang pernah dilakukannya hingga dirinya dapat menikahi dua orang laki-laki yang pernah menjadi suaminya dulu. Mereka dipelet dengan ilmu gendam penunduk hati lewat jasa ibunya yang memang seorang dukun besar berilmu hitam.

Tak hanya pelet, ibunya pun terkenal sebagai spesialis santet, bahkan sudah berhasil menghilangkan beberapa nyawa manusia. Setelah ibunya meninggal dunia dengan kondisi yang tak wajar, kemudian Mumun-lah yang saat itu menjadi penerusnya. Karena itulah tak ada laki-laki yang berani mendekati Mumun, termasuk Sukamto. Selain menjadi penganut ilmu hitam mewarisi ilmu sang ibu, Mumun terkenal sebagai wanita materialistis. Dia mendekati dan menikahi laki-laki hanya untuk menguras hartanya saja, setelah itu dibuangnya begitu saja seperti sampah.

Suami dan Anak Dimantrai
Tiba pada suatu hari, ketika wanita berkulit kuning langsat itu tak mampu lagi membendung hasratnya kepada Sukamto. Dia pun segera merealisasikan keinginannya dengan mengirim gendam kepada Sukamto. Tak hanya sekali, melainkan berkali-kali. Hasilnya, Sukamto pun bertekuk lutut dan kemudian jatuh ke dalam pelukan Mumun. Padahal sebelumnya, lelaki berkumis tebal itu sangat takut kepada Mumun karena profesinya itu.

Tunduknya Sukamto dan kedua anaknya ke bawah ketiak Mumun merupakan suatu kemenangan bagi wanita itu yang memang sudah sekian lama menantikannya. Sehingga nantinya semua harta kekayaan Sukamto akan segera jatuh ke tangan Mumun. Namun hal itu belumlah final, karena untuk dapat mencapai tujuannya itu, Mumun harus memaksa Sukamto menikahinya.

“Kau harus menikahiku mas, agar hubungan kita ini tak menjadi bahan gunjingan orang-orang,” kelit Mumun dengan nada suara kasar.

“Kamu tenang saja Mun, secepatnya aku akan menikahimu,” ucap Sukamto polos.

Karena terus-terusan didesak, akhirnya Sukamto pun menikahi wanita tersebut. Tanpa perayaan maupun pesta. Hanya digelar dengan sangat sederhana, sehingga tak banyak orang tahu kalau mereka itu telah menjadi pasangan suami istri yang sah.

Setahun setelah menikah, mereka pun pindah ke luar kota. Itu berkaitan dengan dipindahtugaskannya Sukamto dalam waktu yang cukup lama. Sehingga dirinya harus membawa istri dan kedua anaknya itu.

Di daerah baru itu, Mumun cepat sekali dikenal. Dikarenakan profesinya sebagai seorang dukun. Tak sedikit orang yang berdatangan meminta bantuan mulai dari penyembuhan penyakit, pelet sampai hal-hal yang berkaitan dengan pembunuhan, apalagi kalau bukan santet.

Bayangkan saja, dalam beberapa bulan, Mumun sudah membunuh dua orang pengusaha kayu atas permintaan lawan bisnis pengusaha tersebut. Atas tindakan itu pula banyak orang yang takut dan menaruh kebencian pada Mumun. Seiring dirinya diserang oleh dukun di daerah baru tersebut, namun selalu dapat ditanganinya.

Namun itu bukanlah akhir karena yang terpenting adalah kekayaan milik Sukamto yang terpenting adalah kekayaan milik Sukamto yang secepatnya harus menjadi hak miliknya sepenuhnya. Kemudian menceraikan dan meninggalkan Sukamto beserta anak-anaknya dijejal diberi makanan dan minuman yang telah diberi mantra-mantra, supaya mereka tetap tunduk di bawah ketiaknya sehingga dengan mudah Mumun memerintahnya. Hasilnya memang luar biasa. Terlihat jelas perubahan itu pada Sukamto. Dia tak lagi seperti dulu, tegas terhadap anak-anak dan berwibawa, melainkan lebih banyak melamun dan tampak seperti orang linglung.

Suatu malam, ketika mereka hendak beranjak tidur. Di atas pembaringan Mumun bercakap-cakap dengan Sukamto. Percakapan itu tak lain adalah berkisar tentang harta kekayaan milik Sukamto.

“Kapan harta kekayaanmu itu dialihkan atas namaku?” tanpa segan Mumun mengucapkannya.

“Iya Mun, kapan saja kamu mau, aku siap saja,” jawab Sukamto singkat.

“Bagaimana kalau minggu depan. Kau izin dulu di kantor, kemudian kita pulang untuk mengurusnya di hadapan notaries,” pinta Mumun.

“Baiklah, nanti aku izin di kantor,” ucap Sukamto sembari merebahkan tubuhnya kemudian tertidur.

Setelah mendapat izin dari kantor, Sukamto bersama istri dan kedua anaknya pulang ke kota asalnya untuk mengurus apa yang dibicarakan malam itu. Mumun pun benar-benar puas dan bisa tertawa lepas.  Karena kini, semua harta kekayaan milik Sukamto telah masuk ke dalam genggaman tangannya. Tak ada yang tersisa sedikit pun untuk Sukamto dan kedua anaknya itu sebagai bekalnya kelak di masa depan. Selanjutnya tinggal menunggu waktu yang tepat untuk meninggalkan Sukamto dan anak-anaknya.

Namun saat dirinya hendak meninggalkan mereka, mendadak Mumun jatuh sakit. Bukan sakit biasa, melainkan penyakit gaib yang disebabkan serangan para dukun yang selama ini menaruh kebencian dan sakit hati, terutama keluarga orang-orang yang telah dibunuh Mumun menggunakan santet. Mereka membayar para dukun untuk membalas dendam.

Mungkin selama itu dirinya terlalu terlena akan harta yang dirampasnya secara halus dari Sukamto, sehingga membuat dirinya lengah dan tak khayal serangan yang bertubi-tubi itu pun akhirnya dapat menembus pertahanannya. Mumun pun tersungkur dan mengeluarkan darah segar dari mulutnya.

Apa yang terjadi pada Mumun tentu saja sangat mengejutkan Sukamto, dan berkali-kali dirinya mengajak istrinya berobat ke rumah sakit. Namun Mumun selalu menolaknya.

“Kau jangan ikut campur. Kau tak tahu menahu tentang masalah ini. Jadi sebaiknya kau diam saja dan tidur,” Mumun marah sembari melangkah keluar kamar menuju kamar khusus, tempat dimana dirinya melakukan ritual.

Di dalam ruangan itu, dirinya berusaha sekuat tenaga menghalau serangan-serangan tanpa henti membaca mantra-mantra. Namun tetap saja dari mulutnya mengeluarkan darah segar. Karena tak mampu lagi menahan sakit, tubuh yang sudah bersimbah darah itu jatuh tersungkur, kemudian pingsan tak sadarkan diri.

“Ibu kenapa yah?” tanya salah satu anaknya dengan wajah pucat.

“Tidak apa-apa, ibumu sedang menyembuhkan orang,” jawab Sukamto berbohong, dan sang anak pun tak bertanya lagi.

“Kalian tak usah khawatir, ibumu baik-baik saja. Sekarang sebaiknya kalian tidur,” pinta Sukamto, kemudian beranjak mengantar kedua anaknya itu ke kamarnya.

Tanpa terasa sudah hamper satu bulan Mumun terbaring sakit. Tubuhnya terkulai lemas tanpa daya.

Bahkan semakin hari, kondisi tubuh Mumun semakin menyusut alias kurus. Wajahnya timpus dan pucat, sementara kedua matanya menatap kosong ke arah langit-langit kamar.

Namun selama dirinya sakit, Sukamto dan kedua anaknya tak pernah mengurusnya. Tentu saja bukan kemauan mereka untuk tidak peduli, melainkan karena permintaan langsung dari Mumun. Sehingga mereka hanya dapat melihat dan mengamati keadaan Mumun dari luar kamar khusus itu.

Beberapa hari kemudian, tepatnya tengah malam, Mumun memanggil Sukamto dengan berteriak-teriak. Itu dilakukannya, setelah dirinya melihat kedatangan para jin suruhan para dukun yang kemudian berdiri mengelilinginya dan siap menghantamnya. Anehnya, makhluk-makhluk itu menghilang bersamaan dengan teriakan Mumun memanggil Sukamto.

“Ada apa Mun?” tanya Sukamto.

“Aku mau besok kau panggil Mak Yong untuk datang ke sini, karena aku sudah tak sanggup lagi menahannya,” pinta Mumun.

“Siapa itu Mak Yong dan di mana tinggalnya?” Sukamto bertanya.

Mumun terdiam sesaat, sembari menarik nafas panjang, kemudian melemparkan kembali pandangannya pada langit-langit kamar.

“Mak Yong itu adalah kakak angkatku, sekaligus guruku. Dialah yang selama ini menyempurnakan ilmuku. Kau bias cari dia di daerah pedalaman dan apabila kau telah bertemu dengannya, sampaikanlah kalau aku sakit parah,” ucap Mumun.

Jadi Mayat Hidup
Sukamto pun pergi menjemput Mak Yong, dan beberapa hari kemudian dirinya kembali dan berhasil membawa wanita serta wanita tua yang terkenal sebagai dukun besar penganut ilmu hitam. Wanita yang rambutnya telah memutih itu pun terkejut bukan main ketika melihat kondisi Mumun.

Tanpa mengulur waktu, dia pun segera melakukan ritual penyembuhan dan pengusiran roh yang dikirim oleh para dukun tandingan Mumun, yang telah merasuk ke dalam tubuhnya.

Namun belum lama dirinya bersila dan mengucapkan mantra-mantra, tiba-tiba alat meditasi untuk memanggil para roh nenek moyangnya, berupa tengkorak kepala manusia yang sudah disiram dengan darah babi putih terpelanting dan pecah. Tak hanya itu, tubuh Mak Yong pun terpental dan menghantam dinding kamar yang kemudian muntah darah.

Mak Yong yang tadinya benar-benar diharapkan mampu memberikan penyembuhan pada Mumun, ternyata tak mampu berbuat banyak. Dia pun mengalami hal yang sama. Karena telah mengalami luka dalam yang parah, mak Yong segera pamit pulang untuk melakukan ritual penyembuhan terhadap dirinya sendiri.

Namun sebelum pergi, wanita itu sempat berpesan supaya Mumun tak menceraikan Sukamto. Hal itu lantaran di dalam tubuh Mumun tertanam barang-barang bertuah, seperti susuk, besi kuning dan lain-lain.

“Sebelum ajalmu tiba, benda-benda bertuah, juga ilmu hitam yang ada dalam dirimu harus segera dibuang. Jika tidak jasadmu akan dikendalikan oleh roh-roh yang ada di dalamnya, dan jasadmu tak akan diterima bumi. Makanya sebelum itu terjadi, beritahukan suamimu, supaya dirinya dapat mencarikan siapa yang dapat membuangnya. Karena untuk saat ini tenagaku sudah terkuras habis,” jelasnya.

Beberapa minggu setelah kepulangan Mak Yong, sakit Mumun bertambah parah. Itu dapat dilihat dari kondisi tubuhnya yang semakin mengurus, tinggal kulit membungkus tulang.

Kondisi tersebut tentu saja membuat dirinya tak sanggup lagi. Namun pesan itu tak tersampaikan kepada Sukamto. Sehingga sampailah pada suatu hari, ketika warga sekitar heboh. Lantaran setiap malam mereka sering melihat Mumun berjalan-jalan. Padahal mereka mengetahui kalau Mumun sedang sakit parah. Sehingga sangat tidak mungkin dirinya bisa ngeluyur keluar rumah, apalagi tengah malam.

Berita tentang keanehan ini itu pun menyebar luas. Bahkan telah menjadi buah bibir masyarakat sekitar hamper setiap harinya. Meskipun begitu, Sukamto tak percaya, karena dirinya sendiri lebih tahu kalau istrinya benar-benar sakit parah dan sedang terbaring di atas tempat tidur.

Namun semakin hari Sukamto merasa gunjang-gunjing itu semakin menyudutkan dirinya sekeluarga, juga mendorong rasa keingintahuannya muncul untuk melakukan pengintaian demi suatu pembuktian.

Sukamto pun memilih malam yang tepat untuk mengintai sang istri, yaitu tepat pada malam kelahirannya. Entah atas dasar apa dirinya harus membuktikan omongan-omongan warga itu.

Waktu yang ditunggu akhirnya datang juga. Tepat tengah malam Sukamto memberanikan diri mengintai sang istri. Betapa terkejutnya dia karena ketika sang istri yang selama itu diketahuinya terbaring lemas tak berdaya, tiba-tiba saja terlihat segar bugar dan mampu berdiri, kemudian melangkah meninggalkan kamar.

Sebuah pemandangan yang menyeramkan dan membuat bulu kuduk Sukamto merinding. Karena Mumun lebih menyerupai tengkorak hidup yang sedang berjalan. Meskipun takut, namun dirinya memberanikan diri untuk mengikutinya. Sayangnya, karena sang istri berjalan sangat cepat, dia pun menghilang dalam gelap malam. tak ada yang dapat dirinya lakukan selain menunggu kepulangannya, dan sebelum adzan subuh Mumun pun kembali ke rumah dan langsung merebahkan tubuhnya di atas pembaringan di kamar khusus itu.

“Aneh, kenapa pada siang hari istriku terkulai lemas tanpa daya?” Sukamto bertanya dalam hatinya, kemudian melangkah menuju kamarnya. Setelah melihat itu, Sukamto pun segera sadar bahwa apa yang selama ini didengarnya mengenai keanehan pada istrinya ternyata benar. Bahkan lebih dari itu, tujuh hari berselang terjadi perubahan aneh pada tubuh Mumun. Di sekitar tubuhnya banyak dikerumuni lalat. Badannya mengeluarkan bau busuk menyengat. Dan didorong rasa keingintahuannya yang besar, Sukamto pun memberanikan diri masuk ke kamar khusus itu dan menemukan tubuh Mumun terbujur kaku. Lebih mengejutkan lagi ketika dirinya menyentuh dada dan leher Mumun, yang ternyata sudah tak ada lagi detak jantung dan denyut nadi, bahkan sudah tak bernafas lagi. Namun anehnya kedua matanya sesekali bergerak kedap-kedip.

“Kau takut melihat keadaanku sekarang?” Tanya Mumun dengan suara parau dan dalam. “Ti.. ti.. tidak Mun, aku hanya khawatir dengan kondisimu,” jawab Sukamto ketakutan.

“Sebaiknya kau tinggalkan aku sendiri,” pinta Mumun.

Tanpa menunggu lama, Sukamto segera meninggalkannya, dan seperti biasa pada malam harinya Mumun kembali melakukan hal-hal yang aneh. Karena merasa malu dengan ulah Mumun, Sukamto memutuskan untuk memanggil Kyai. Ternyata, kehadiran Kyai di rumah itu benar-benar tak diinginkan Mumun. Dia marah dan menatap wajah Sukamto yang duduk di sebelahnya dengan kedua mata melotot tiada berkedip. Sementara Kyai hanya menggeleng-geleng kepalanya melihat kondisi Mumun.

“Beginilah keadaan istriku pak Kyai. Apa sebenarnya yang terjadi padanya,” tanya Sukamto.

Pak Kyai tak menjawab melainkan mengajak Sukamto keluar dari kamar. “Ada apa pak Kyai?” tanya Sukamto.

Kyai itu diam sejenak. Kemudian menarik nafas panjang. Kedua matanya menatap wajah Sukamto yang memang terlihat penasaran. Tak lama Kyai itu berucap,” Kamto, sebenarnya istrimu sudah meninggal dunia tujuh hari lalu.”

Mendengar itu Sukamto langsung tersandar pada sofa. Dia seakan tak percaya, bagaimana orang yang telah meninggal dunia tapi jasadnya hidup layaknya orang hidup.

“Bbbbbbagaimana bias Pak Kyai?” Sukamto tergagap-gagap.

“Selama hidup, istrimu telah mempelajari ilmu hitam, bahkan telah bersekutu dengan syetan. Tak hanya itu didalam tubuhnya masih tertanam benda-benda bertuah yang seharusnya dibuang sebelum dirinya meninggal dunia,” jelas pak Kyai.

Sukamto tak ingin bertanya lagi. Dia hanya diam sembari menundukkan kepala. Sehingga dirinya tak sadar kalau sedari tadi sedang diperhatikan oleh Pak Kyai. Ya pak Kyai merasakan ada hal yang aneh pada diri Sukamto. Dia merasakan kalau Sukamto pun sedang dalam pengaruh pelet.

“Setelah mengurus istrimu, aku akan mengurusmu,” ucap Kyai.

Mereka pun segera bergegas masuk ke dalam kamar Mumun dan menemukan Mumun sedang terbaring membelakangi mereka. Aroma busuk, ditambah lagi sebuah pemandangan yang mengerikan, dimana tubuh bagian belakang Mumun tampak berlubang-lubang dan berulat. Dari lubang itu tak henti-hentinya mengeluarkan air berwarna kuning seperti nanah yang baunya sangat busuk menyengat.

“Astaghfirullah Aladziim…,” Sukamto berucap.

“Mau apa kau?” tanya Mumun sembari membalikkan tubuhnya. Namun Kyai tersebut tak menghiraukannya, melainkan segera menekan keningnya sambil melantunkan ayat-ayat suci.

Mumun menjerit kesakitan memperdengarkan suaranya yang aparu, sengong lagi dalam. Sekali lagi Kyai tak mengiraukannya. Dia tetap saja berusaha mengeluarkan makhluk-makhluk halus itu dari dalam tubuh Mumun. Wanita it uterus saja berteriak kesakitan. Tak lama Kyai menghentikan usahanya itu, kemudian segera mengatur nafasnya.

“Kita tak bisa meneruskannya. Karena yang kita hadapi bukan istrimu, tapi syetan yang telah melakukan perjanjian yang memang tuntutannya seperti itu. Tak ada jalan lain kecuali segera mengebumikannya mala mini juga. Tidak di tempat pemakaman umum, melainkan di pulau di seberang tempat tinggal kita. Hal itu agar istrimu tak bergentayangan menganggu warga sekitar,” terang Kyai tersebut.

“Malam ini juga kamu harus memanggil tukang memandikan jenazah wanita,” tambahnya.

Sukamto pun segera mengikuti anjuran Kyai. Tak lama dia pun kembali membawa lima orang wanita yang nantinya akan memandikan Mumun. Siapa yang takut memandikan mayat dalam keadaan hidup, begitu pula dengan mereka yang sebenarnya terpaksa melakukannya karena perintah Kyai. Setelah prosesi pemandian selesai, dilanjutkan dengan pengkafanan yang kainnya memang sudah disiapkan oleh para wanita itu.

Tampak kedua mata Mumun berkedap-kedip, namun dirinya tak bias berontak karena kedua tangan dan kakinya telah diikat. Setelah dishalatkan, mayat Mumun pun segera dibawa ke sebuah pulau tanpa penghuni, di seberang kampong itu tanpa peti mayat dan langsung dikebumikan.

Mayat Mumun memang telah dimakamkan. Namun kabar mengenai kematian Mumun yang aneh itu sampai pula ke telinga warga. Menurut mereka, hamper setiap malam para warga melihat Mumun di pinggir pulau. Akhirnya karena malu, Sukamto dan kedua anaknya pun pindah dari wilayah itu. Namun sebelumnya, dirinya sempat menemui Pak Kyai untuk membuang guna-guna yang ada dalam dirinya dan anak-anaknya, sehingga mereka pun terlepas dari pengaruh ilmu hitam tersebut.

Sumber : Tabloid Horor, Edisi 006/Tahun 02/2013

Tidak ada komentar: