Kisah Pengemis Kaya Asal Surabaya
Cak To punya Trik Bagaimana mengemis yang
benar
Kali
ini cerita tentang seorang pengemis “sukses” yang berpenghasilan Rp. 9 juta
rupiah per bulan. Namanya Cak To. Dia sekarang adalah bos pengemis di Surabaya
dan tidak hidup lagi sebagai pengemis, melainkan cukup melatih, mentraining,
dan melindungi pengemis-pengemis anak buahnya untuk mengemis dengan baik dan
benar.
****
Cak
To berasal dari keluarga pengemis, berkarir sebagai pengemis, dan sekarang jadi
bos puluhan pengemis di Surabaya. Dari jalur minta-minta itu, dia sekarang
punya dua sepeda motor, sebuah mobil gagah, dan empat rumah.
Cak
To tak mau nama aslinya dipublikasikan. Dia juga tak mau wajahnya difoto. Tapi,
Cak To mau bercerita cukup banyak tentang hidup dan “karir”-nya. Dari anak
pasangan pengemis yang ikut mengemis, hingga sekarang menjadi bos bagi sekitar
54 pengemis di Surabaya.
Setelah
puluhan tahun mengemis, Cak To sekarang memang bias lebih menikmati hidup.
Sejak tahun 2000, dia tak perlu lagi meminta-minta di jalanan atau perumahan.
Cukup mengelola 54 anak buahnya, uang mengalir teratur ke kantong. Sekarang,
setiap hari, dia mengaku mendapatkan pemasukan bersih Rp. 200 ribu hingga Rp.
300 ribu. Berarti, dalam sebulan, dia punya pendapatan Rp. 6 juta hingga Rp. 9
juta.
MENGEMIS
SEJAK KECIL
Cak
To sekarang juga sudah punya rumah di kawasan Surabaya Barat, yang didirikan di
atas tanah seluas 400 meter persegi. Di kampung halamannya di Madura, Cak To
sudah membangun dua rumah lagi. Satu untuk dirinya, satu lagi untuk emak dan
bapaknya yang sudah renta. Selain itu, ada satu lagi rumah yang dia bangun di
Kota Semarang.
Untuk
ke mana-mana, Cak To memiliki dua sepeda motor Honda Supra Fit dan sebuah mobil
Honda CR-V kinclong keluaran 2004.
Tidak
mudah menemui seorang bos pengemis. Ketika bertemu wartawan, Cak To dating
menggunakan mobil Honda CR-V-nya yang berwarna biru metalik. Meski punya mobil
yang kinclong, penampilan Cak To memang tidak terlihat seperti “orang mampu”.
Badannya kurus, kulitnya hitam, dengan rambut berombak dan terkesan
awut-awutan. Dari gaya bicara, orang juga akan menebak bahwa pria kelahiran
1960 itu tak cukup mengenyam pendidikan cukup. Cak To memang tak pernah
menamatkan Sekolah Dasar.
Dengan
bahasa Madura yang sesekali dicampur bahasa Indonesia, pria beranak dua itu
mengaku sadar bahwa profesinya akan selalu dicibir orang. Namun, pria asal
Bangkalan tersebut tidak peduli. “Yang penting halal,” ujarnya mantap.
Cak
To bercerita, hampir seluruh hidupnya dia jalani sebagai pengemis. Sulung di
antara empat bersaudara itu menjalani dunia tersebut sejak sebelum usia sepuluh
tahun.
Menurut
dia, tidak lama setelah peristiwa pemberontakan G-30 S/PKI. Maklum emak dan
bapaknya dulu pengemis di Bangkalan. “Dulu awalnya saya diajak Emak untuk meminta-minta
di perempatan,” ungkapnya. Karena mengemis di Bangkalan kurang menjanjikan”,
awal 1970-an, Cak To diajak orang tua pindah ke Surabaya. Adik-adiknya tidak
ikut, dititipkan di rumah nenek di sebuah desa di sekitar Bangkalan.
Tempat
tinggal mereka yang pertama adalah di emperan sebuah toko di kawasan Jembatan
Merah. Bertahun-tahun lamanya mereka menjadi pengemis di Surabaya. Ketika
remaja, “bakat” Cak To untuk menjadi bos pengemis mulai terlihat. Waktu itu,
uang yang mereka dapatkan dari meminta-minta sering dirampas preman. Bapak Cak
To mulai sakit-sakitan, tak kuasa membela keluarga. Sebagai anak tertua, Cak
To-lah yang melawan. “Saya sering berkelahi untuk mempertahankan uang,”
ungkapnya bangga.
Meski
berperawakan kurus dan hanya bertinggi 155 cm, Cak To berani melawan siapa pun.
Dia bahkan tak segan menyerang musuhnya menggunakan pisau jika uangnya
dirampas.
Karena
keberaniannya itulah, pria berambut ikal tersebut lantas disegani di kalangan
pengemis. “Wis tak nampek, Mon la nyalla sebet (Kalau dia bikin gara-gara.
Langsung saya sabet, Red),” tegasnya.
Selain
harus menghadapi preman, pengalaman tidak menyenangkan terjadi ketika dia atau
keluarga lain terkena razia petugas Satpol PP.
“Kami
berpencar kalau mengemis,” jelasnya. Kalau ada keluarga yang terkena razia, mau
tidak mau mereka harus mengeluarkan uang hingga ratusan ribu untuk membebaskan.
CAK
TO PENGEMIS YANG MAU BELAJAR.
Bertahun-tahun
mengemis, berbagai “ilmu” dia dapatkan untuk terus meninggalkan penghasilan
mengemis. Mulai cara berdandan, cara berbicara, cara menghadapi aparat, dan
sebagainya. Makin lama, Cak To menjadi makin senior, hingga menjadi mentor bagi
pengemis yang lain. Penghasilan pun terus meingkat. Pada pertengahan 1990,
penghasilan Cak To sudah mencapai Rp. 30 ribu sampai Rp. 50 ribu perhari.
“Pokoknya sudah enak,” katanya.
Dengan
penghasilan yang terus meningkat, Cak To mampu membeli sebuah rumah sederhana
di kampungnya. Saat pulang kampung, dia sering membelikan oleh-oleh cukup
mewah.
“Saya
pernah beli oleh-oleh sebuah tape recorder dan TV 14 inci,” kenangnya.
Saat
itulah, Cak To mulai meniti langkah menjadi seorang pengemis. Dia mulai
mengumpulkan anak buah. Cerita tentang “keberhasilan” Cak To menyebar cepat di
kampungnya. Empat teman seumuran mengikutinya ke Surabaya. “Kasihan, panen
mereka gagal. Ya sudah, saya ajak saja,” ujarnya enteng.
BOS
PENGEMIS
Sebelum
ke Surabaya, Cak To mengajari mereka cara menjadi pengemis yang baik. Pelajaran
itu terus dia lanjutkan ketika mereka tinggal di rumah kontrakan di kawasan
Surabaya Barat.
“Kali
pertama, teman-teman mengaku malu. Tapi, saya meyakinkan bahwa dengan pekerjaan
ini, mereka bias membantu saudara di kampung,” tegasnya.
Karena
sudah mengemis sebagai kelompok, mereka pun bagi-bagi wilayah kerja. Ada yang
ke perumahan di kawasan Surabaya Timur. Agar tidak mencolok, ketika berangkat,
mereka berpakaian rapi. Ketika sampai di “pos khusus”, Cak To dan empat
rekannya itu lantas mengganti penampilan. Tampil compang-camping untuk menarik
iba dan uang recehan. Hanya setahun mengemis, kehidupan empat rekan tersebut
menunjukkan perbaikan. Mereka tak lagi menumpang di rumah Cak To. Sudah punya
kontrakan sendiri-sendiri. Pada 1996 itu pula, pada usia ke-36, Cak To
mengakhiri masa lajang. Dia menyunting seorang gadis di kampungnya. Sejak
menikah, kehidupan Cak To terus menunjukkan peningkatan.
Setiap
tahun, jumlah anak buah Cak To terus bertambah. Semakin banyak anak buah,
semakin banyak pula setoran yang mereka berikan kepada Cak To. Makanya sejak
2000, dia sudah tidak mengemis setiap hari. Sebenarnya, Cak To tak mau
mengungkapkan jumlah setoran yang dia dapatkan setiap hari. Setelah didesak,
dia akhirnya mau buka mulut. Yaitu, Rp. 200 ribu hingga Rp. 300 ribu per hari,
yang berarti Rp. 6 juta hingga Rp. 9 juta per bulan.
Menurut
Cak To, dia tidak memasang target untuk anak buahnya. Dia hanya minta setoran
sukarela. Ada yang setor setiap hari, seminggu sekali, atau sebulan sekali.
“Ya, Alhamdulillah, anak buahnya saya masih loyal kepada saya,” ucapnya.
Dari
penghasilan itu, Cak To bahkan mampu memberikan sebagian nafkah kepada masjid
dan mushalla di mana dia singgah. Dia juga tercatat sebagai donatur tetap
masjid di Gresik.
“Amal
itu kan ibadah. Mumpung kita masih hidup, banyaklah beramal,” katanya.
Sekarang,
dengan hidup yang sudah tergolong enak itu, Cak To mengaku tinggal mengejar
satu hal saja. “Saya ingin naik haji,” ungkapnya. Bila segalanya lancar, Cak To
akan mewujudkan itu pada waktunya nanti.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar