Kamis, 24 Januari 2013

Misteri Tanah Kuburan


Misteri Tanah Kuburan
Oleh : Dawai Putra Asmara

Secara perlahan-lahan Santi menuangkan air dari kendi kecil ke dalam gelas. Tangannya terlihat bergetar. Peluh Nampak membasahi keningnya.

“Hati-hati, jangan sampai tumpah,” bisik Suhendra, suaminya. Santi tidak menjawab. Kedua bola matanya tetap saja tertuju pada air yang mangalir memenuhi gelas. Seharusnya gelas itu terisi penuh, tidak boleh tumpah meski setetes pun. Sementara itu, kembang tujuh rupa yang ada di dalam gelas telah menyembul dan mengapung lebih dulu.

“Ya, cukup sampai disitu saja,” bisik Suhendra lagi. Sepasang suami istri itu kemudian duduk bersimpuh di depan pembakaran dupa yang terus mengepulkan asap dan meninggalkan bau harum yang khas.

Sedangkan di hadapan mereka, KI Saworekso telah duduk bersila sambil memejamkan mata. Mulutnya terus saja komat-kamit membaca mantera. Napasnya sedikit tersengal, seolah menahan beban yang amat berat.

Sesaat kemudian Ki Saworekso menarik napas panjang. Dia menarik pundaknya, lalu matanya yang terpejam di bukanya perlahan. Tangan lelaki setengah abad itu pun mengambil dupa yang telah dipecah kecil-kecil.

Dengan gerakan cepat, dupa-dupa itu ditaburkannya diatas anglo (tungku yang terbuat dari tanah) pembakaran. Asap tebal tampak menggumpal diatas anglo. Bau wangi terasa menyengat, menyebar ke seluruh ruangan.

“Sekarang berdoalah menurut keyakinan kalian. Ucapkanlah pula semua yang kalian inginkan. Kalau sudah, tahan napas dan minumlah air kembang yang ada di dalam gelas itu,” perintah Ki Sawerekso.

Santi segera melaksanakan apa yang diperintahkan sang dukun. Sementara Suhendra hanya mengamati dengan seksama. Bathinnya terus bergejolak sambil mengamati sekeliling.

“Sekarang kembang tujuh rupa yang ada di dalam gelas itu kamu bungkus dengan daun pisang. Nanti dalam perjalanan pulang kalian lemparkan bungkusan itu kea rah kuburan tua di dekat sungai itu,” ujar Ki Saworekso.

Santi hanya terdiam sambil mengangguk pelan. Suaminya langsung mengambil selembar daun pisang kelutuk yang telah disiapkan sebelumnya. Daun itu lalu dijulurkan ke arah sang istri. Dengan sangat hati-hati perempuan ayu itu segera membungkus kembang tujuh rupa itu seperti yang telah diperintahkan sang dukun.

“Ini saja, Mbah?” tanya Suhendra ingin tahu.

“Sabar, masih ada persyaratan yang harus kalian lakukan,” jawab Ki Saworekso.

Lelaki berjenggot yang menggenakan pakaian serba hitam itu bangkit dari tempat duduknya dan mengambil sebuah periuk tembikar yang ada disisinya.

Dari dalam periuk itu ia mengambil sesuatu dan membungkusnya dengan sobekan kertas. Bungkusan kecil itu langsung diasapi dengan asap dupa sambil dibacakan mantera.

“Ini juga harus kalian bawa. Nanti pada saat emmbuang kembang di kuburan, ambil sedikit tanah kuburan itu, lalu jadikan satu dengan isi dalam bungkusan ini. Setelah itu dibungkus rapat, lalu dibawa pulang. Nanti bungkusan itu kalian masukkan ke dalam sumur orang yang kalian maksud,” jelas Ki Saworekso.

“Jadi setelah kami campurkan dengan tanah kuburan, bungkusan ini langsung kami masukkan ke dalam sumur Pak Camat?” tanya Santi. Pertanyaan wanita berambut ikal sebahu itu pun hanya di jawab anggukan ringan.

“Baiklah Mbah. Kalau begitu kami permisi dulu,” tukas Suhendra.

“Kenapa buru-buru pulang, hah?” tanya Ki Saworekso.

“Kami mau  langsung menuju kuburan tua di pinggir sungai itu, Mbah. Biar semua urusan ini cepat selesai,” jawab Suhendra.

“Tapi jangan sekarang, nanti saja setelah larut malam. Oya, cara mengambil tanahnya harus diatas jam dua belas malam. Lebih baik, sekrang kalian tiduran atau duduk-duduk saja dulu,” kata Ki saworekso. Suhendra dan istrinya tidak bias berbuat banyak selain menuruti perintah sang dukun.

Menuju Kuburan Tua

Ketika waktu telah menunjukkan tepat tengah mlam, Suhendra melirik istrinya yang sempat tertidur dan langsung berpamitan pada Ki saworekso. Dari rumah sang dukun, Suhendra dan istrinya langsung menuju  ke arah kuburan tua yang ditunjuk oleh Ki Saworekso.

Demi keinginan yang harus diraihnya, Suhendra mau tidak mau harus melewati beberapa jembatan untuk menuju kuburan tua itu.

“Jangan lupa membaca manteranya lebih dulu, lalu lemparkan kembangnya,” perintah Suhendra pada istrinya. Santi menurut saja dan melakukan perintah suaminya dengan baik.

Sementara Suhendra menuju ke arah pusara yang telah using, kotor dan berlumut. Dengan sigap, diambilnya tanah kuburan itu, lalu dibungkusnya dengan selembar kain putih yang telah berisi mantera pemberian Ki Saworekso, dukun andalan mereka.

Usai menjalankan hajatnya, kedua orang itu langsung meninggalkan makam tua yang berada di ujung desa. Tapi keduanya tidak langsung pulang, melainkan berhenti di sebuah sungai yang memisahkan Desa Batu Putu dan Desa Pularan. Suhendra dan isterinya meniti jembatan bamboo dengan sangat hati-hati, agar kaki mereka tidak tergelincir jatuh ke sungai berbatu.

Dengan menempuh perjalanan yang cukup melelahkan, akhirnya mereka sampai dihalaman belakang rumah Pak camat. Tangan Santi tampak gemetar begitu tahu siapa yang akan dihadapinya.

“Siapa yang disuruh memasukkan bungkusan ini ke dalam sumur itu, Mas?” tanya Santi, setengah berbisik.

“Aku!” jawab suaminya.

Dengan sangat hati-hati Suhendra menceburkan bungkusan berisi tanah kuburan itu ke dalam sumur Pak Camat. Usai melakukan tugasnya, suami-isteri itu bergegas pergi. Santi terus mengikuti langkah suaminya seraya menggandeng tangannya. Tanpa menemui hambatan apapun, keduanya langsung memacu mobil keluar dari Desa Pularan.

Jarum jam menunjukkan pukul 03.00 pagi. Mobil Suhendra sampai di sebuah warung kecil yang ada di pinggiran kampung. Keduanya langsung memesan teh hangat dan dua porsi nasi goring. Betapa kagetnya mereka, ketika sedang asyik menikmati lezatnya makanan, keduanya dikejutkan oleh sebuah mobil yang telah lama mereka kenal. Mobil kijang warna biru metalik, yang melaju dengan kecepatan tinggi itu menuju ke arah selatan.

“Lho, itu kan mobilnya Pak Camat. Ada apa ya, sepertinya buru-buru sekai?” celetuk pemilik warung dengan mulut menganga.
“Barangkali ditelepon istri mudanya yang akan melahirkan,” timpal seorang pembeli. Suhendra dan istrinya hanya diam, seolah-olah tidak mendengar omongan orang-orang di warung itu.

Setibanya di rumah, keduanya sempat melihat mobil Pak Camat parkir dibawah pohon rambutan, di pinggir kandang sapi. Meski sempat menahan rasa penasaran yang amat besar, namun keduanya berusaha tak ambil pusing. Perlahan-lahan, Santi membuka pintu pagar, lalu masuk ke dalam rumahnya.

Tapi ketika hendak menutup pintu, ia mendengar suara gerakan yang amat mencurigakan di belakang rumahnya. Keduanya langsung mengendap-endap ke arah datangnya suara. Benar sekali, di sana ada dua orang bertopeng dan berpakaian serba hitam tengah berdiri di pintu dapur mereka. Seketika Santi langsung berteriak, “Maliing…! Maliiing…!!”

Begitu mendengar teriakan yang tak terduga itu, dua orang bertopeng tak dikenal tampak kelabakan. Mereka langsung melarikan diri ke arah mobil yang terparkir. Warga kampong segera berdatangan ke rumah Suhendra.

Ketika beberapa warga menyorotkan lampu senter ke wajah dua orang bertopeng itu, mereka cukup bisa mengenali wajah kedua lelaki yang disangka maling itu. Astaga! Ternyata kedua lelaki bertopeng itu adalah Pak Camat dan Solihin, sopirnya.

Suhendra tampak geram melihat kelakuan orang yang kini menjadi saingannya itu mendatangi rumahnya secara diam-diam. Maka dengan sigapnya, Suhendra langsung mengarahkan bogem mentah pada lelaki yang pernah menjadi atasannya itu.

Para warga yang mendengar teriakan Santi langsung bergerombol mengepung Pak Camat dan sopirnya. Sebagian lainnya malah ikut menghajar lelaki setengah baya yang dikenal doyan berjudi dan main perempuan.

Seluruh tubuh Pak Camat babak belur, bahkan nyaris pingsan dihakimi warga. Begitu pula dengan sopir pribadinya, Solihin. Dengan penuh kekhawatiran, Suhendra meminta kepada para warga untuk bersabar, dan menyuruh kepada warga menggotong tubuh Pak Camat dan sopirnya masuk ke dalam rumahnya.

Secara tak sengaja, Suhendra melihat saku Pak Camat sedikit menggelembung. Lalu diambilnya barang mencurigakan itu dari sakunya. Astaga! Ternyata sebuah bungkusan yang sama dengan miliknya, yang baru saja dibuangnya ke dalam sumur lelaki itu.

“Tanah apa ini! Ayo, jawab! Ini tanah kuburan, kan?!” bentak Suhendra geram. Pak Camat hanya terdiam sambil menahan sakit disekujur tubuhnya. Kepalanya tampak mengangguk pelan.

“Jadi barang ini sengaja akan kamu masukkan ke dalam sumurku, heh?!” tanya Suhendra lagi. Pak Camat makin terperanjat dengan tudingan Suhendra yang tak terduga itu. Kembali lelaki bertubuh tambun itu mengangguk. Banyak para warga yang merasa heran dengan tunduknya Pak Camat pada kata-kata Suhendra malam itu.

Suhendra tak peduli lagi dengan orang-orang disekelilingnya. Bayangannya langsung tertuju pada Ki Saworekso, sang dukun yang berasal dari Desa Pagelaran. Pada malam menjelang subuh itu Suhendra berpesan kepada beberapa warga untuk menyerahkan kasus Pak Camat pada pihak kepolisian setempat.

Saat itu juga Suhendra segera tancap gas menuju rumah Ki Saworekso di Desa Pagelaran. Begitu sampai di rumah sang dukun, orang-orang telah banyak berkumpul di rumah itu. Suhendra tetap tidak peduli. Dia tetap masuk ke rumah sang dukun. Namun, jantungnya terasa berhenti berdetak ketika melihat jenazah Ki Saworekso telah terbujur kaku ke arah utara. Tubuh lelaki tua itu telah terbungkus kain kafan.

“Suami saya sudah tidak bisa membantu lagi, Nak. Dia meninggal akibat diserang makhluk halus berwujud mengerikan…” jawab istri Ki Saworekso dengan raut wajah penuh kesedihan. Tubuh Suhendra seketika menjadi lemas. Ia duduk sebentar dan dan membacakan doa, lalu berpamitan.

Sumber : Majalah Victory Edisi 67/2013

majalahvictory@yahoo.com

Tidak ada komentar: