Kamis, 24 Januari 2013

Dihadang Kuntilanak dan diculik setan zombie


Dihadang Kuntilanak dan
diculik setan zombie
Oleh : Jemy Harianto

Di keremangan malam, kulihat wajah perempuan itu pucat sekali. Kedua matanya bolong. Dan dari kedua lubang matanya, memancar sinar merah. Rambut awut-awutan.
****
Kisah menyeramkan ini terjadi dan dituturkan langsung oleh pelaku yang tinggal di Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat. Dimana selama seminggu dirinya tak sadarkan diri setelah tubuhnya ditemukan di atas kuburan. Pada hari malam Jumat Kliwon, enam tahun lalu, aku mengalami suatu kejadian itu. Dan sampai sekarang kejadian itu masih membekas jelas di ingatanku. Mungki ini akan menjadi sebuah pengalaman mistis sepanjang hidupku.

Sebelumnya, aku tidak percaya sama sekali tentang cerita berbau mistik, hantu dan sejenisnya. Namun hal itu berubah setelah aku sendiri mengalami sebuah peristiwa sangat menyeramkan dan mengerikan. Dari pengalaman ini pula menjadi hidayah bagiku untuk kembali ke jalan Tuhan. Sejak peristiwa itu aku kembali rajin menjalankan sholat. Padahal sebelumnya aku termasuk pemuda berandal. Karena pengalaman itu pula setiap malam aku menjadi rajin membaca kitab suci Al Quran.

Sebagai pemuda yang masih lajang, setiap malam, aku suka menonton hiburan musik, yang ditanggap orang pada sebuah pesta atau hajatan. Baik itu di kampungku ataupun di kampung-kampung tetangga. Selain sekedar mencari hiburan, siapa tahu ada gadis yang mau denganku untuk kujadikan pacar. Biasanya kami selalu pergi berombongan dengan mengenderai sepeda motor.

Ceritanya, malam itu terpaksa aku pulang sendiri dari menonton acara musik di kampung seberang. Jarak kampungku dengan kampong seberang kurang lebih 3 km. jalan penghubung satu-satunya dari kampungku ke kampong seberang harus melalui perkebunan sawit. Semua teman-temanku malam itu sudah pulang duluan. Sebenarnya salahku sendiri, karena sebelumnya kami sudah sepakat, jam setengah dua belas malam harus sudah berkumpul di satu tempat yang sudah disepakati untuk pulang bersama-sama. Karena keasyikan menonton acara itu, hingga aku lupa pada kesepakatan itu. Mungkin, karena ditunggu-tunggu sampai pukul dua belas aku belum muncul juga, akhirnya teman-temanku memutuskan untuk pulang duluan. Semua teman-temanku mengira, aku sudah pulang terlebih dahulu.

Sialnya, malam itu aku tidak membawa kendaraan sendiri. Saat berangkat aku dibonceng sepeda motor temanku. Dengan perasaan jengkel, kuputuskan pulang sendirian dengan berjalan kaki waktu jarak yang akan kutempuh cukup lumayan jauh untuk ukuran jalan kaki. Perasaan takut tak jadi masalah bagiku.

Dari kecil aku tak pernah kenal dengan yang namanya takut. Aplagi dengan hantu, aku sama sekali tidak mempercayai keberadaannya.

Suara jengkrik mengiringi langkahku menyusuri jalanan yang sunyi. Sesekali suara burung hantu terdengar di kejauhan. Pohon-pohon karet berdiri membisu berjajar di kiri-kanan jalan. Untung saat itu bulan purnama, hingga keadaan jalan tidak begitu gelap.

Untuk mengusir kesunyian, sengaja aku bersiul-siul menyanyikan lagu kegemaranku. Anehnya, begitu sampai di tengah-tengah kebun kelapa sawit, entah mengapa tiba-tiba saja badanku merinding. Kulihat jam di tanganku menunjukkan pukul satu malam.

Bertemu Kuntilanak

Tiba-tiba sebatang cabang kayu yang cukup besar jatuh tepat di hadapanku. Suaranya mengejutkanku hingga jantungku hampir copot. Karena menghalangi jalan, kucoba untuk menyingkirkan cabang kayu itu ke samping. Belum lagi cabang kayu itu berhasil kusingkirkan, tiba-tiba terdengar suara tawa cekikikan. Suara itu nyaring sekali.

Hati kecilku berkata, “Jangan-jangan ini kuntilanak!”

Kuperhatikan sekelilingku tetapi tidak ada apa-apa. Kembali suara tawa cekikikan itu terdengar. Kembali kuperhatikan sekelilingku. Tapi tetap aku tidak melihat apa-apa. Hanya pepohonan sawit yang berdiri mematung tertimpa cahaya bulan. Lagi-lagi suara tawa cekikikan itu terdengar. Kali ini malah lebih keras dan berulang-ulang.

“Benar ini pasti Kuntilanak!” kataku dalam hati.

Karena suara tawa it uterus saja terdengar, bukannya takut malah timbul rasa jengkelku. Dengan penuh emosi, aku berteriak menantang.

“Heiii… Jangan ganggu aku. Kalau berani jangan sembunyi-sembunyi, tunjukkan wujudmu. Kau piker aku takut, dasar setan. Keluar kau!” teriakku malam itu.

Begitu aku selesai berteriak, suara tawa itu pun berhenti. Karena dari kecil aku dikenal sebagai anak yang pemberani menghadapi keadaan seperti ini, tidak ada sedikit pun rasa takut di benakku. Malah timbul rasa penasaranku. Seperti apa sih wujud Kuntilanak itu. Kutunggu beberapa saat, tapi suara tawa itu tidak terdengar lagi. Dengan perasaan jengkel kembali aku bermaksud melangkahkan kakiku. Tapi belum sempat kakiku melangkah, tiba-tiba bahuku ada yang menepuk dari belakang, diiringi sapaan suara perempuan.

Dengan terkejut, buru-buru kuputar badanku menghadap ke belakang. Seorang perempuan dengan wajah tertunduk berdiri tepat di belakangku. Entah darimana datangnya. Aku mundur beberapa langkah ke belakang, sambil terus memperhatikan perempuan itu. Kulihat baju putih panjangnya menutupi kaki dan tangannya. Saat itu aku juga mencium aroma bunga kantil. Belum sempat aku bertanya pada perempuan itu, tiba-tiba dengan perlahan-lahan perempuan itu menengadahkan mukanya. Di keremangan malam, kulihat wajah perempuan itu pucat sekali. Kedua matanya bolong. Dan dari kedua lubang matanya memancar sinar merah. Rambutnya awut-awutan.

Spontan rasa takut menyergapku. Baru kali ini aku merasakan ketakutan. Jantungku berdebar kencang manakala secara tiba-tiba perempuan itu tertawa cekikikan sambil memperlihatkan taringnya. Lalu kedua tangannya diacungkan padaku, seolah ingin mencekikku. Kembali aku dibuat terkejut. Ternyata jari-jari tangannya tinggal tulang semua.

“Kun… Kun… Kuntilanak!” teriakku dengan tergagap. Tanpa pikir panjang lagi kuambil langkah seribu. Melihat aku lari, Kuntilanak itupun ikut  berlari mengejarku. Sekilas dapat kulihat tubuhnya melayang-layang terbang, dengan suara cekikikannya nyaring mengerikan. Dengan sekuat tenaga kupercepat lariku. Tapi Kuntilanak itu terus saja mengejarku dengan disertai suara tawanya yang menakutkan. Sementara rasa takut yang kurasakan, semakin menjadi-jadi. Baru kali ini aku merasakan takut yang teramat sangat.

Diculik Setan Zombie

Di saat genting itu, tiba-tiba ada cahaya lampu dari arah depanku. Begitu ada cahaya lampu, suara tawa Kuntilanak itupun hilang. Dengan terengah-engah kuhentikan lariku. Kulihat ke belakang ternyata benar Kuntilanak itu sudah menghilang. Mungkin karena takut dengan cahaya lampu itu, pikirku. Sambil mengatur nafas, kutunggu cahaya lampu yang kukira lampu sepeda motor itu mendekat. Kupikir mungkin salah seorang temanku yang ingin menjemputku. Tapi semakin dekat cahaya lampu itu ke arahku, ternyata bukan suara sepeda motor yang terdengar. Justru bau kemenyan dan bunga kantil yang menusuk hidung. Kembali rasa takut mulai menjalaniku.

Begitu cahaya lampu itu tiba di depanku, aku pun nyaris pingsan dibuatnya. Astaga! Ternyata cahaya itu adalah rombongan hantu pengusung keranda mayat. Mereka berjalan tanpa menginjak tanah. Badanku seolah tak berdarah lagi. Jantungku berdegup kencang. Keberanian yang dulu kubangga-banggakan hilang sudah. Dengan amat jelas kulihat satu orang tanpa kepala dan leher berlumuran darah, membawa lampu berupa bulatan cahaya yang sangat terang.
Empat orang pengusung keranda mayat, mukanya hancur semua. Dengan badan dipenuhi bercak-bercak darah di sana-sini. Sementara orang-orang yang mengiringi di belakang, tubuhnya juga tidak ada yang utuh. Mataku melotot tidak bias dikedipkan. Sungguh sebuah pemandangan yang sangat mengerikan.

Tiba-tiba, rombongan pengusung keranda mayat itu berhenti saat lewat di depanku. Lalu secara serentak makhluk-makhluk mengerikan itu memalingkan wajahnya dan menatap ke arahku.

Rasa takut yang kurasakan semakin menjadi-jadi. Nafasku memburu karena menahan takut. Wajah-wajah makhluk itu sangat mengerikan. Mereka menatapku tajam. Lalu salah seorang datang mendekatiku. Wajah berlumuran darah mengerikan. Salah satu matanya menggantung keluar hamper copot. Isi perutnya terburai keluar. Jalannya seperti robot, kumpulan makhluk jelek itu mendekatiku.

Ingin rasanya aku lari, tapi kedua kakiku tidak dapat digerakkan. Lalu dengan cepat tangan makhluk itu mencengkram bahuku. Kucoba meronta melepaskan cengkeramannya. Tapi tidak berhasil. Tenaga makhluk itu sangat kuat sekali. Tubuhku diangkatnya dengan mudah. Lalu dengan cepat tubuhku dilemparkan melayang menuju keranda. Dengan tiba-tiba pula, penutup keranda itu terbuka sendiri. Lalu denga telak tubuhku jatuh ke dalam keranda. Dengan cepat penutup keranda itupun menutup kembali. Aku sudah di dalam keranda, meronta-ronta kesana kemari. Dengan sekuat tenaga kucoba membuka penutup keranda itu. Tapi penutup itu seakan terbuat dari beton dan sulit untuk mengangkatnya.

Aku coba berteriak meminta pertolongan. Tapi tak ada satu katapun yang bisa keluar dari mulutku. Bagai tikus terkena perangkap, aku terus saja meronta-ronta kesana-kemari. Sambil terus berusaha membuka penutup keranda, tapi usahaku sia-sia. Pada saat bersamaan, makhluk-makhluk itu tertawa mengerikan. Kemudian mereka mulai lagi berjalan dengan membawaku, yang terus meronta-ronta. Karena dicekam rasa takut yang teramat sangat, ditambah tenagaku yang semakin lemah, akhirnya aku pun jatuh pingsan. Setelah itu aku tak ingat apa-apa lagi.

Sayup-sayup kudengar suara orang membaca ayat-ayat suci. Sesekali diiringi suara orang memanggil-manggil namaku. Dengan perlahan-lahan kucoba membuka mataku. Kulihat disamping kananku ada pak Ustadz yang tengah khusuk membaca ayat suci. Sementara disamping kiriku, kulihat ibuku yang tengah memandangiku dengan kedua matanya yang sembab, menandakan kalau ibuku habis menangis. Begitu melihat aku membuka mata, langsung ibuku memelukku dan mencium pipiku sambil terus menangis.

“Alhamdulilllah, kau sudah sadarkan anakku. Terima Kasih ya Tuhan,” ratap ibuku berkali-kali.

Ayahku yang duduk di samping ibuku, segera menenangkan ibuku yang terus menangis sambil memelukku. Semantara aku hanya diam. Aku bingung, apa sebenarnya yang telah terjadi denganku. Pak Ustadz yang sedari tadi duduk di sampingku membaca Kalam Illahi, dengan senyumnya yang teduh menyuruhku meminum segelas air putih yang dipegangnya.

“Sudah satu minggu kamu pingsan! Kamu ditemukan tergeletak di tengah kuburan,” kata pak Ustadz menjelaskan.

Mendengar kata kuburan, aku teringat kembali pada kejadian yang menimpaku. Dengan perasaan yang masih diliputi rasa takut, kuceritakan semua kejadian yang kualami dari awal hingga akhir. Semua orang yang hadir di ruangan itu bergidik ngeri mendengarkan ceritaku.

Sejak kejadian itu hingga sekarang, aku kian rajin mendekatkan diri pada Tuhan.

Kukerjakan lagi sholat, setelah sekian lama kutinggalkan. Kubuka lagi kitab suci, setelah sekian lama tidak pernah kubaca. Walaupun kejadian itu masih membuatku trauma pada kesunyian, namun aku kian menyadari bahwa memang ada dimensi kehidupan lain yang diciptakan Allah di samping kehidupan manusia yang nyata ini. Aku berharap atas kejadian yang telah menimpaku ini bisa menjadi hikmah dan pembelajaran bagi kita semua.


Sumber : Majalah Victory Edisi 67/2013


Tidak ada komentar: