Dihadang Kuntilanak dan
diculik setan zombie
Oleh
: Jemy Harianto
Di
keremangan malam, kulihat wajah perempuan itu pucat sekali. Kedua matanya
bolong. Dan dari kedua lubang matanya, memancar sinar merah. Rambut
awut-awutan.
****
Kisah
menyeramkan ini terjadi dan dituturkan langsung oleh pelaku yang tinggal di
Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat. Dimana selama seminggu dirinya tak
sadarkan diri setelah tubuhnya ditemukan di atas kuburan. Pada hari malam Jumat
Kliwon, enam tahun lalu, aku mengalami suatu kejadian itu. Dan sampai sekarang
kejadian itu masih membekas jelas di ingatanku. Mungki ini akan menjadi sebuah
pengalaman mistis sepanjang hidupku.
Sebelumnya,
aku tidak percaya sama sekali tentang cerita berbau mistik, hantu dan
sejenisnya. Namun hal itu berubah setelah aku sendiri mengalami sebuah
peristiwa sangat menyeramkan dan mengerikan. Dari pengalaman ini pula menjadi
hidayah bagiku untuk kembali ke jalan Tuhan. Sejak peristiwa itu aku kembali
rajin menjalankan sholat. Padahal sebelumnya aku termasuk pemuda berandal.
Karena pengalaman itu pula setiap malam aku menjadi rajin membaca kitab suci Al
Quran.
Sebagai
pemuda yang masih lajang, setiap malam, aku suka menonton hiburan musik, yang
ditanggap orang pada sebuah pesta atau hajatan. Baik itu di kampungku ataupun
di kampung-kampung tetangga. Selain sekedar mencari hiburan, siapa tahu ada
gadis yang mau denganku untuk kujadikan pacar. Biasanya kami selalu pergi
berombongan dengan mengenderai sepeda motor.
Ceritanya,
malam itu terpaksa aku pulang sendiri dari menonton acara musik di kampung
seberang. Jarak kampungku dengan kampong seberang kurang lebih 3 km. jalan
penghubung satu-satunya dari kampungku ke kampong seberang harus melalui
perkebunan sawit. Semua teman-temanku malam itu sudah pulang duluan. Sebenarnya
salahku sendiri, karena sebelumnya kami sudah sepakat, jam setengah dua belas
malam harus sudah berkumpul di satu tempat yang sudah disepakati untuk pulang
bersama-sama. Karena keasyikan menonton acara itu, hingga aku lupa pada
kesepakatan itu. Mungkin, karena ditunggu-tunggu sampai pukul dua belas aku
belum muncul juga, akhirnya teman-temanku memutuskan untuk pulang duluan. Semua
teman-temanku mengira, aku sudah pulang terlebih dahulu.
Sialnya,
malam itu aku tidak membawa kendaraan sendiri. Saat berangkat aku dibonceng
sepeda motor temanku. Dengan perasaan jengkel, kuputuskan pulang sendirian
dengan berjalan kaki waktu jarak yang akan kutempuh cukup lumayan jauh untuk
ukuran jalan kaki. Perasaan takut tak jadi masalah bagiku.
Dari
kecil aku tak pernah kenal dengan yang namanya takut. Aplagi dengan hantu, aku
sama sekali tidak mempercayai keberadaannya.
Suara
jengkrik mengiringi langkahku menyusuri jalanan yang sunyi. Sesekali suara
burung hantu terdengar di kejauhan. Pohon-pohon karet berdiri membisu berjajar
di kiri-kanan jalan. Untung saat itu bulan purnama, hingga keadaan jalan tidak
begitu gelap.
Untuk
mengusir kesunyian, sengaja aku bersiul-siul menyanyikan lagu kegemaranku.
Anehnya, begitu sampai di tengah-tengah kebun kelapa sawit, entah mengapa
tiba-tiba saja badanku merinding. Kulihat jam di tanganku menunjukkan pukul
satu malam.
Bertemu
Kuntilanak
Tiba-tiba
sebatang cabang kayu yang cukup besar jatuh tepat di hadapanku. Suaranya
mengejutkanku hingga jantungku hampir copot. Karena menghalangi jalan, kucoba
untuk menyingkirkan cabang kayu itu ke samping. Belum lagi cabang kayu itu
berhasil kusingkirkan, tiba-tiba terdengar suara tawa cekikikan. Suara itu
nyaring sekali.
Hati
kecilku berkata, “Jangan-jangan ini kuntilanak!”
Kuperhatikan
sekelilingku tetapi tidak ada apa-apa. Kembali suara tawa cekikikan itu
terdengar. Kembali kuperhatikan sekelilingku. Tapi tetap aku tidak melihat
apa-apa. Hanya pepohonan sawit yang berdiri mematung tertimpa cahaya bulan.
Lagi-lagi suara tawa cekikikan itu terdengar. Kali ini malah lebih keras dan
berulang-ulang.
“Benar
ini pasti Kuntilanak!” kataku dalam hati.
Karena
suara tawa it uterus saja terdengar, bukannya takut malah timbul rasa
jengkelku. Dengan penuh emosi, aku berteriak menantang.
“Heiii…
Jangan ganggu aku. Kalau berani jangan sembunyi-sembunyi, tunjukkan wujudmu.
Kau piker aku takut, dasar setan. Keluar kau!” teriakku malam itu.
Begitu
aku selesai berteriak, suara tawa itu pun berhenti. Karena dari kecil aku
dikenal sebagai anak yang pemberani menghadapi keadaan seperti ini, tidak ada
sedikit pun rasa takut di benakku. Malah timbul rasa penasaranku. Seperti apa
sih wujud Kuntilanak itu. Kutunggu beberapa saat, tapi suara tawa itu tidak
terdengar lagi. Dengan perasaan jengkel kembali aku bermaksud melangkahkan
kakiku. Tapi belum sempat kakiku melangkah, tiba-tiba bahuku ada yang menepuk
dari belakang, diiringi sapaan suara perempuan.
Dengan
terkejut, buru-buru kuputar badanku menghadap ke belakang. Seorang perempuan
dengan wajah tertunduk berdiri tepat di belakangku. Entah darimana datangnya.
Aku mundur beberapa langkah ke belakang, sambil terus memperhatikan perempuan
itu. Kulihat baju putih panjangnya menutupi kaki dan tangannya. Saat itu aku
juga mencium aroma bunga kantil. Belum sempat aku bertanya pada perempuan itu,
tiba-tiba dengan perlahan-lahan perempuan itu menengadahkan mukanya. Di
keremangan malam, kulihat wajah perempuan itu pucat sekali. Kedua matanya
bolong. Dan dari kedua lubang matanya memancar sinar merah. Rambutnya
awut-awutan.
Spontan
rasa takut menyergapku. Baru kali ini aku merasakan ketakutan. Jantungku
berdebar kencang manakala secara tiba-tiba perempuan itu tertawa cekikikan
sambil memperlihatkan taringnya. Lalu kedua tangannya diacungkan padaku, seolah
ingin mencekikku. Kembali aku dibuat terkejut. Ternyata jari-jari tangannya
tinggal tulang semua.
“Kun…
Kun… Kuntilanak!” teriakku dengan tergagap. Tanpa pikir panjang lagi kuambil
langkah seribu. Melihat aku lari, Kuntilanak itupun ikut berlari mengejarku. Sekilas dapat kulihat
tubuhnya melayang-layang terbang, dengan suara cekikikannya nyaring mengerikan.
Dengan sekuat tenaga kupercepat lariku. Tapi Kuntilanak itu terus saja
mengejarku dengan disertai suara tawanya yang menakutkan. Sementara rasa takut
yang kurasakan, semakin menjadi-jadi. Baru kali ini aku merasakan takut yang
teramat sangat.
Diculik
Setan Zombie
Di
saat genting itu, tiba-tiba ada cahaya lampu dari arah depanku. Begitu ada
cahaya lampu, suara tawa Kuntilanak itupun hilang. Dengan terengah-engah
kuhentikan lariku. Kulihat ke belakang ternyata benar Kuntilanak itu sudah
menghilang. Mungkin karena takut dengan cahaya lampu itu, pikirku. Sambil
mengatur nafas, kutunggu cahaya lampu yang kukira lampu sepeda motor itu
mendekat. Kupikir mungkin salah seorang temanku yang ingin menjemputku. Tapi
semakin dekat cahaya lampu itu ke arahku, ternyata bukan suara sepeda motor
yang terdengar. Justru bau kemenyan dan bunga kantil yang menusuk hidung.
Kembali rasa takut mulai menjalaniku.
Begitu
cahaya lampu itu tiba di depanku, aku pun nyaris pingsan dibuatnya. Astaga!
Ternyata cahaya itu adalah rombongan hantu pengusung keranda mayat. Mereka
berjalan tanpa menginjak tanah. Badanku seolah tak berdarah lagi. Jantungku
berdegup kencang. Keberanian yang dulu kubangga-banggakan hilang sudah. Dengan
amat jelas kulihat satu orang tanpa kepala dan leher berlumuran darah, membawa
lampu berupa bulatan cahaya yang sangat terang.
Empat
orang pengusung keranda mayat, mukanya hancur semua. Dengan badan dipenuhi
bercak-bercak darah di sana-sini. Sementara orang-orang yang mengiringi di
belakang, tubuhnya juga tidak ada yang utuh. Mataku melotot tidak bias
dikedipkan. Sungguh sebuah pemandangan yang sangat mengerikan.
Tiba-tiba,
rombongan pengusung keranda mayat itu berhenti saat lewat di depanku. Lalu
secara serentak makhluk-makhluk mengerikan itu memalingkan wajahnya dan menatap
ke arahku.
Rasa
takut yang kurasakan semakin menjadi-jadi. Nafasku memburu karena menahan
takut. Wajah-wajah makhluk itu sangat mengerikan. Mereka menatapku tajam. Lalu
salah seorang datang mendekatiku. Wajah berlumuran darah mengerikan. Salah satu
matanya menggantung keluar hamper copot. Isi perutnya terburai keluar. Jalannya
seperti robot, kumpulan makhluk jelek itu mendekatiku.
Ingin
rasanya aku lari, tapi kedua kakiku tidak dapat digerakkan. Lalu dengan cepat
tangan makhluk itu mencengkram bahuku. Kucoba meronta melepaskan
cengkeramannya. Tapi tidak berhasil. Tenaga makhluk itu sangat kuat sekali.
Tubuhku diangkatnya dengan mudah. Lalu dengan cepat tubuhku dilemparkan
melayang menuju keranda. Dengan tiba-tiba pula, penutup keranda itu terbuka
sendiri. Lalu denga telak tubuhku jatuh ke dalam keranda. Dengan cepat penutup
keranda itupun menutup kembali. Aku sudah di dalam keranda, meronta-ronta
kesana kemari. Dengan sekuat tenaga kucoba membuka penutup keranda itu. Tapi
penutup itu seakan terbuat dari beton dan sulit untuk mengangkatnya.
Aku
coba berteriak meminta pertolongan. Tapi tak ada satu katapun yang bisa keluar
dari mulutku. Bagai tikus terkena perangkap, aku terus saja meronta-ronta
kesana-kemari. Sambil terus berusaha membuka penutup keranda, tapi usahaku
sia-sia. Pada saat bersamaan, makhluk-makhluk itu tertawa mengerikan. Kemudian
mereka mulai lagi berjalan dengan membawaku, yang terus meronta-ronta. Karena
dicekam rasa takut yang teramat sangat, ditambah tenagaku yang semakin lemah,
akhirnya aku pun jatuh pingsan. Setelah itu aku tak ingat apa-apa lagi.
Sayup-sayup
kudengar suara orang membaca ayat-ayat suci. Sesekali diiringi suara orang
memanggil-manggil namaku. Dengan perlahan-lahan kucoba membuka mataku. Kulihat
disamping kananku ada pak Ustadz yang tengah khusuk membaca ayat suci.
Sementara disamping kiriku, kulihat ibuku yang tengah memandangiku dengan kedua
matanya yang sembab, menandakan kalau ibuku habis menangis. Begitu melihat aku
membuka mata, langsung ibuku memelukku dan mencium pipiku sambil terus
menangis.
“Alhamdulilllah,
kau sudah sadarkan anakku. Terima Kasih ya Tuhan,” ratap ibuku berkali-kali.
Ayahku
yang duduk di samping ibuku, segera menenangkan ibuku yang terus menangis
sambil memelukku. Semantara aku hanya diam. Aku bingung, apa sebenarnya yang
telah terjadi denganku. Pak Ustadz yang sedari tadi duduk di sampingku membaca
Kalam Illahi, dengan senyumnya yang teduh menyuruhku meminum segelas air putih
yang dipegangnya.
“Sudah
satu minggu kamu pingsan! Kamu ditemukan tergeletak di tengah kuburan,” kata
pak Ustadz menjelaskan.
Mendengar
kata kuburan, aku teringat kembali pada kejadian yang menimpaku. Dengan perasaan
yang masih diliputi rasa takut, kuceritakan semua kejadian yang kualami dari
awal hingga akhir. Semua orang yang hadir di ruangan itu bergidik ngeri
mendengarkan ceritaku.
Sejak
kejadian itu hingga sekarang, aku kian rajin mendekatkan diri pada Tuhan.
Kukerjakan
lagi sholat, setelah sekian lama kutinggalkan. Kubuka lagi kitab suci, setelah
sekian lama tidak pernah kubaca. Walaupun kejadian itu masih membuatku trauma
pada kesunyian, namun aku kian menyadari bahwa memang ada dimensi kehidupan
lain yang diciptakan Allah di samping kehidupan manusia yang nyata ini. Aku
berharap atas kejadian yang telah menimpaku ini bisa menjadi hikmah dan
pembelajaran bagi kita semua.
Sumber : Majalah Victory
Edisi 67/2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar