Misteri Tanah Kuburan
Oleh
: Dawai Putra Asmara
Secara
perlahan-lahan Santi menuangkan air dari kendi kecil ke dalam gelas. Tangannya
terlihat bergetar. Peluh Nampak membasahi keningnya.
“Hati-hati,
jangan sampai tumpah,” bisik Suhendra, suaminya. Santi tidak menjawab. Kedua
bola matanya tetap saja tertuju pada air yang mangalir memenuhi gelas.
Seharusnya gelas itu terisi penuh, tidak boleh tumpah meski setetes pun.
Sementara itu, kembang tujuh rupa yang ada di dalam gelas telah menyembul dan
mengapung lebih dulu.
“Ya,
cukup sampai disitu saja,” bisik Suhendra lagi. Sepasang suami istri itu
kemudian duduk bersimpuh di depan pembakaran dupa yang terus mengepulkan asap
dan meninggalkan bau harum yang khas.
Sedangkan
di hadapan mereka, KI Saworekso telah duduk bersila sambil memejamkan mata.
Mulutnya terus saja komat-kamit membaca mantera. Napasnya sedikit tersengal,
seolah menahan beban yang amat berat.
Sesaat
kemudian Ki Saworekso menarik napas panjang. Dia menarik pundaknya, lalu
matanya yang terpejam di bukanya perlahan. Tangan lelaki setengah abad itu pun
mengambil dupa yang telah dipecah kecil-kecil.
Dengan
gerakan cepat, dupa-dupa itu ditaburkannya diatas anglo (tungku yang terbuat
dari tanah) pembakaran. Asap tebal tampak menggumpal diatas anglo. Bau wangi
terasa menyengat, menyebar ke seluruh ruangan.
“Sekarang
berdoalah menurut keyakinan kalian. Ucapkanlah pula semua yang kalian inginkan.
Kalau sudah, tahan napas dan minumlah air kembang yang ada di dalam gelas itu,”
perintah Ki Sawerekso.
Santi
segera melaksanakan apa yang diperintahkan sang dukun. Sementara Suhendra hanya
mengamati dengan seksama. Bathinnya terus bergejolak sambil mengamati
sekeliling.
“Sekarang
kembang tujuh rupa yang ada di dalam gelas itu kamu bungkus dengan daun pisang.
Nanti dalam perjalanan pulang kalian lemparkan bungkusan itu kea rah kuburan
tua di dekat sungai itu,” ujar Ki Saworekso.
Santi
hanya terdiam sambil mengangguk pelan. Suaminya langsung mengambil selembar
daun pisang kelutuk yang telah disiapkan sebelumnya. Daun itu lalu dijulurkan
ke arah sang istri. Dengan sangat hati-hati perempuan ayu itu segera membungkus
kembang tujuh rupa itu seperti yang telah diperintahkan sang dukun.
“Ini
saja, Mbah?” tanya Suhendra ingin tahu.
“Sabar,
masih ada persyaratan yang harus kalian lakukan,” jawab Ki Saworekso.
Lelaki
berjenggot yang menggenakan pakaian serba hitam itu bangkit dari tempat
duduknya dan mengambil sebuah periuk tembikar yang ada disisinya.
Dari
dalam periuk itu ia mengambil sesuatu dan membungkusnya dengan sobekan kertas.
Bungkusan kecil itu langsung diasapi dengan asap dupa sambil dibacakan mantera.
“Ini
juga harus kalian bawa. Nanti pada saat emmbuang kembang di kuburan, ambil
sedikit tanah kuburan itu, lalu jadikan satu dengan isi dalam bungkusan ini.
Setelah itu dibungkus rapat, lalu dibawa pulang. Nanti bungkusan itu kalian
masukkan ke dalam sumur orang yang kalian maksud,” jelas Ki Saworekso.
“Jadi
setelah kami campurkan dengan tanah kuburan, bungkusan ini langsung kami
masukkan ke dalam sumur Pak Camat?” tanya Santi. Pertanyaan wanita berambut
ikal sebahu itu pun hanya di jawab anggukan ringan.
“Baiklah
Mbah. Kalau begitu kami permisi dulu,” tukas Suhendra.
“Kenapa
buru-buru pulang, hah?” tanya Ki Saworekso.
“Kami
mau langsung menuju kuburan tua di
pinggir sungai itu, Mbah. Biar semua urusan ini cepat selesai,” jawab Suhendra.
“Tapi
jangan sekarang, nanti saja setelah larut malam. Oya, cara mengambil tanahnya
harus diatas jam dua belas malam. Lebih baik, sekrang kalian tiduran atau
duduk-duduk saja dulu,” kata Ki saworekso. Suhendra dan istrinya tidak bias
berbuat banyak selain menuruti perintah sang dukun.
Menuju
Kuburan Tua
Ketika
waktu telah menunjukkan tepat tengah mlam, Suhendra melirik istrinya yang
sempat tertidur dan langsung berpamitan pada Ki saworekso. Dari rumah sang
dukun, Suhendra dan istrinya langsung menuju
ke arah kuburan tua yang ditunjuk oleh Ki Saworekso.
Demi
keinginan yang harus diraihnya, Suhendra mau tidak mau harus melewati beberapa
jembatan untuk menuju kuburan tua itu.
“Jangan
lupa membaca manteranya lebih dulu, lalu lemparkan kembangnya,” perintah
Suhendra pada istrinya. Santi menurut saja dan melakukan perintah suaminya
dengan baik.
Sementara
Suhendra menuju ke arah pusara yang telah using, kotor dan berlumut. Dengan
sigap, diambilnya tanah kuburan itu, lalu dibungkusnya dengan selembar kain
putih yang telah berisi mantera pemberian Ki Saworekso, dukun andalan mereka.
Usai
menjalankan hajatnya, kedua orang itu langsung meninggalkan makam tua yang
berada di ujung desa. Tapi keduanya tidak langsung pulang, melainkan berhenti
di sebuah sungai yang memisahkan Desa Batu Putu dan Desa Pularan. Suhendra dan
isterinya meniti jembatan bamboo dengan sangat hati-hati, agar kaki mereka
tidak tergelincir jatuh ke sungai berbatu.
Dengan
menempuh perjalanan yang cukup melelahkan, akhirnya mereka sampai dihalaman
belakang rumah Pak camat. Tangan Santi tampak gemetar begitu tahu siapa yang
akan dihadapinya.
“Siapa
yang disuruh memasukkan bungkusan ini ke dalam sumur itu, Mas?” tanya Santi,
setengah berbisik.
“Aku!”
jawab suaminya.
Dengan
sangat hati-hati Suhendra menceburkan bungkusan berisi tanah kuburan itu ke
dalam sumur Pak Camat. Usai melakukan tugasnya, suami-isteri itu bergegas pergi.
Santi terus mengikuti langkah suaminya seraya menggandeng tangannya. Tanpa
menemui hambatan apapun, keduanya langsung memacu mobil keluar dari Desa
Pularan.
Jarum
jam menunjukkan pukul 03.00 pagi. Mobil Suhendra sampai di sebuah warung kecil
yang ada di pinggiran kampung. Keduanya langsung memesan teh hangat dan dua
porsi nasi goring. Betapa kagetnya mereka, ketika sedang asyik menikmati
lezatnya makanan, keduanya dikejutkan oleh sebuah mobil yang telah lama mereka
kenal. Mobil kijang warna biru metalik, yang melaju dengan kecepatan tinggi itu
menuju ke arah selatan.
“Lho,
itu kan mobilnya Pak Camat. Ada apa ya, sepertinya buru-buru sekai?” celetuk
pemilik warung dengan mulut menganga.
“Barangkali
ditelepon istri mudanya yang akan melahirkan,” timpal seorang pembeli. Suhendra
dan istrinya hanya diam, seolah-olah tidak mendengar omongan orang-orang di
warung itu.
Setibanya
di rumah, keduanya sempat melihat mobil Pak Camat parkir dibawah pohon
rambutan, di pinggir kandang sapi. Meski sempat menahan rasa penasaran yang
amat besar, namun keduanya berusaha tak ambil pusing. Perlahan-lahan, Santi
membuka pintu pagar, lalu masuk ke dalam rumahnya.
Tapi
ketika hendak menutup pintu, ia mendengar suara gerakan yang amat mencurigakan
di belakang rumahnya. Keduanya langsung mengendap-endap ke arah datangnya
suara. Benar sekali, di sana ada dua orang bertopeng dan berpakaian serba hitam
tengah berdiri di pintu dapur mereka. Seketika Santi langsung berteriak,
“Maliing…! Maliiing…!!”
Begitu
mendengar teriakan yang tak terduga itu, dua orang bertopeng tak dikenal tampak
kelabakan. Mereka langsung melarikan diri ke arah mobil yang terparkir. Warga
kampong segera berdatangan ke rumah Suhendra.
Ketika
beberapa warga menyorotkan lampu senter ke wajah dua orang bertopeng itu,
mereka cukup bisa mengenali wajah kedua lelaki yang disangka maling itu.
Astaga! Ternyata kedua lelaki bertopeng itu adalah Pak Camat dan Solihin,
sopirnya.
Suhendra
tampak geram melihat kelakuan orang yang kini menjadi saingannya itu mendatangi
rumahnya secara diam-diam. Maka dengan sigapnya, Suhendra langsung mengarahkan
bogem mentah pada lelaki yang pernah menjadi atasannya itu.
Para
warga yang mendengar teriakan Santi langsung bergerombol mengepung Pak Camat
dan sopirnya. Sebagian lainnya malah ikut menghajar lelaki setengah baya yang
dikenal doyan berjudi dan main perempuan.
Seluruh
tubuh Pak Camat babak belur, bahkan nyaris pingsan dihakimi warga. Begitu pula
dengan sopir pribadinya, Solihin. Dengan penuh kekhawatiran, Suhendra meminta
kepada para warga untuk bersabar, dan menyuruh kepada warga menggotong tubuh
Pak Camat dan sopirnya masuk ke dalam rumahnya.
Secara
tak sengaja, Suhendra melihat saku Pak Camat sedikit menggelembung. Lalu
diambilnya barang mencurigakan itu dari sakunya. Astaga! Ternyata sebuah
bungkusan yang sama dengan miliknya, yang baru saja dibuangnya ke dalam sumur
lelaki itu.
“Tanah
apa ini! Ayo, jawab! Ini tanah kuburan, kan?!” bentak Suhendra geram. Pak Camat
hanya terdiam sambil menahan sakit disekujur tubuhnya. Kepalanya tampak
mengangguk pelan.
“Jadi
barang ini sengaja akan kamu masukkan ke dalam sumurku, heh?!” tanya Suhendra
lagi. Pak Camat makin terperanjat dengan tudingan Suhendra yang tak terduga
itu. Kembali lelaki bertubuh tambun itu mengangguk. Banyak para warga yang
merasa heran dengan tunduknya Pak Camat pada kata-kata Suhendra malam itu.
Suhendra
tak peduli lagi dengan orang-orang disekelilingnya. Bayangannya langsung
tertuju pada Ki Saworekso, sang dukun yang berasal dari Desa Pagelaran. Pada
malam menjelang subuh itu Suhendra berpesan kepada beberapa warga untuk
menyerahkan kasus Pak Camat pada pihak kepolisian setempat.
Saat
itu juga Suhendra segera tancap gas menuju rumah Ki Saworekso di Desa
Pagelaran. Begitu sampai di rumah sang dukun, orang-orang telah banyak
berkumpul di rumah itu. Suhendra tetap tidak peduli. Dia tetap masuk ke rumah
sang dukun. Namun, jantungnya terasa berhenti berdetak ketika melihat jenazah
Ki Saworekso telah terbujur kaku ke arah utara. Tubuh lelaki tua itu telah terbungkus
kain kafan.
“Suami
saya sudah tidak bisa membantu lagi, Nak. Dia meninggal akibat diserang makhluk
halus berwujud mengerikan…” jawab istri Ki Saworekso dengan raut wajah penuh
kesedihan. Tubuh Suhendra seketika menjadi lemas. Ia duduk sebentar dan dan
membacakan doa, lalu berpamitan.
Sumber : Majalah Victory
Edisi 67/2013
majalahvictory@yahoo.com