Selasa, 07 Desember 2010

Lelaki Dari Tanjung Bira

Sebentar lagi purnama…

Dibibir pantai, seseorang sedang duduk sendiri. Raut mukanya kosong. Tatapanya kosong. Pikirannya kosong. Pandangannya hanya terpaku kepada senja. Entah apa yang ada atau yang dia cari dibalik senja itu. Senja yang tak menarik. Dikatakan tak menarik, kerena hanya dia yang betah berlama-lama memandanginya. Lagipula, senja tertutup sedikit mendung. Sudah hampir dua jam dia menatap senja itu. Tanpa menoleh sekalipun. Atau hanya karena kebetulan matanya terpaku kesana? Dia sama sekali tak tertarik memandangi sekawanan bocah yang telanjang sambil berkejaran dengan ombak. Tak tertarik memandang para nelayan yang lagi bersenda gurau dengan sesamanya nelayan dan juga istri mereka sambil bertepuk dada mengangkat ikan hasil tangkapannya. Tak tertarik memandangi para gadis yang pakaiaannya sudah basah kuyup dan payudaranya sudah tercetak jelas. Dia diam menyerupai patung!

Sudah sebulan dia berada dipantai itu. Sebuah pantai yang cukup menarik dan banyak dikunjungi wisatawan asing. Diatas puncak, ada beberapa pondok yang disewakan oleh pemiliknya yang rata-rata penduduk setempat. Nah, disalah-satu pondok itulah dia ikut menyewa dan menetap sementara. Atau mungkin selamanya?. Dia perlahan bergerak. Dia menarik nafas dalam-dalam. Dia perlahan berdiri. Dia menarik rokok dalam saku bajunya. Sebatang rokok dibakar. Asapnya mengepul lalu hilang diculik angin. Asapnya melayang bersama hayalan.

Hayalannya semakin melayang. Jauh menembus dinding senja. Lalu melesat keatas langit. Terbang tanpa sayap. Menghilang dibalik awan. Lalu muncul kembali disela bukit. Turun ketepi jalan. Kemudian kembali berlari melewati jalan raya. Perlahan khayalannya mundur. Berjalan mundur. Lalu berlari mundur tanpa menoleh.Menembus batas, menembus waktu. Menembus pusat-pusat pertokoan. Menembus rambu-rambu jalan. Terus berlari kebelakang. Semakin kencang. Rumah-rumah kelihatan berjalan. Demikian juga pohon. Terus berlari hingga akhirnya tiba didepan sebuah rumah mewah bercat putih. Langkah melambat, lalu berhenti.

Pagar tidak terkunci. Terus masuk kedalam rumah. Sampai diruang tamu. Memandangi lukisan monalisa sejenak. Memandangi sebuah foto sepasang lelaki dan perempuan Setengah Baya yang tersenyum sambil berdekapan. Kembali mundur. Jalan mundur perlahan. Kesebuah kamar yang berantakan. Sebuah meja kayu dan setumpuk buku berserakan diatasnya. Buku bersampul merah karya Djenar tergeletak diatasnya. Judulya sudah tersobek. Yang tersisa dari sampulnya hanya tulisan .……Kelaminmu)

Untuk pembaca dewasa

Juga ada karya A.A Dinata, gue bisa jadi yang gue mau, ada lajang terkhir karya Dono Indarto, Mutiara Hati tulisan Hadi S, Tuhan Isinkan Saya Jadi Pel….. Sudah tak utuh. Sobek! Didinding kamar sudah tak ada gambar Bob Marley. Iwan Fals dengan rambut gimbalnya. Valentino Rossi dan motor balapnya. Sebuah foto dari guntingan majalah Play Boy sudah menghilang. Padahal bagus untuk dijadikan sumber imajinasi sebelum onani. Sebuah gitar disudut kamar tergeletak tanpa senar, buku-buku porno, majalah porno, semuanya entah kemana. Mesin tik diatas meja disamping cermin sudah berdebu.

Perlahan pintu kamar terbuka. Seorang lelaki Paruh Baya masuk. Mimik mukanya tak bersahabat. Matanya tajam. Kumisnya sesekali bergerak bersentuhan dengan bulu hidung.

“ Minggu depan kau harus ke Makassar”

“ Untuk apa ayah?”

“ Kau segera bekerja”

“ Dimana?”

“Sudahlah. Pokoknya tempatnya basah. Aku sudah menghubungi teman ayah”

“ Tidak”

“ Apa?”

“ Disana bukan tempatku”

“ Lalu tempat kamu dimana?”

“ Belum kutemukan”

“ Sampai kapan”

“ Entahlah. Tapi aku pasti menemukannya”

“ Atau kau betah ditempat ini?”

“ Untuk sementara, iya”

“ Kau betah dengan lingkungan seperti ini?”

“ Untuk sementara juga iya”

“ Kau berandal”

“ Bukan”

“ Kau bajingan. Kau berteman dengan orang yang tak jelas”

“ Tidak. Mereka semua jelas. Punya ayah dan juga ibu”

“ Tapi mereka peminum Ballo. Suka balapan liar, suka nonton film porno, dengar-dengar dekat sama ganja, masa depannya tidak jelas, mereka kadang mencuri uang orang tuanya untuk foya-foya, apa kau mau berteman dengan seorang pencuri?”

“ Saya akan berteman dengan siapa saja. Bukankah ayah juga begitu?”

” Maksudmu?”

“ Ayah juga berteman dengan banyak pencuri”

“ Apa?”

“ Ayah juga berteman dengan banyak peminum”

“ Apa katamu?”

“ Ayah juga berteman dengan mereka yang suka film porno. Bahkan merekalah aktornya”

“ Diam! Itu tidak benar. Kata siapa?”

“ Kata saya”

“ Diaaaammmm…! Kau salah. Kau telah menuduh ayah yang tidak-tidak”
“ Tidak bagaimana ayah? bukankah ayah berteman dengan Pak ANU”

“ Iya. Terus kenapa?”

“ Dia juga seorang pencuri”

“ Kata siapa? Jangan lancang kamu”

“ Kata saya. Kata mereka. Dan mungkin juga kata Tuhan”

“ Diaaammm, beliau bukan pencuri. Beliau pejabat penting di kota ini”

“ Sejak kapan ayah?”

“ Sejak setahun yang lalu ( suara datar)”

“ Lalu bagaimana mungkin secepat itu pak ANU punya beberapa mobil? Punya beratus hektar tanah? Punya peternakan kutu? Mulai kutu ayam, kutu kambing, kutu kerbau, kutu sapi sampai kutu anjing?”

“ Kau yang anjing”

“ Ayah yang berteman dengan anjing! Yang rela memakan daging betis majikannya sendiri. Rela memakan uang rakyat. Rela menyunat dana BLT. Rela menyuapi aparat yang sudah kenyang dan membiarkan yang lainnya tertindis nisan karena busung lapar”

“ Sudaahhhh…”

“ Ayah juga berteman dengan aktor porno”

“ Tidak”

“ Ayah akrab dengan Pak ANU”

“ Benar, tetapi dia bukan aktor porno. Dia seorang pengusaha”

“ Bukan saja aktor porno. Tetapi dia pemerkosa”

“ Bohooong”

“ Pak ANU suka memperkosa istri orang”

“ Bohoooong,..kamu balle-balle

“ Bukan Cuma itu. Dia juga suka sama anus sejenisnya”

“ Tidak! Dia keluarga baik-baik”

“ Lalu bagaimana dengan Bu Sitti? Bu Pessa? Saribanong?, mereka rela meninggalkan suaminya yah! Rela menceraikan suaminya yah! Meninggalkan anak-anaknya yang masih kecil karena jeratan dan iming-iming Pak ANU. Mereka memilih menjadi selir cuma karena suami mereka tidak bisa menyediakan istana dengan kolam renangnya. Istana dengan garasi mobilnya. Istana dengan taman bunganya. Istana dengan kasur empuknya. Istana dengan segala perhiasannya. Istana dengan empat sehat lima, enam, tujuh, sampai sekian sempurna. Bukankah dengan demikian pak ANU sudah memperkosa isteri orang?”. Atau jangan-jangan…

“ Jangan-jangan apa?”

“ Jangan-jangan Ibu…”

“ Ada apa dengan dia?. Dia sudah….”

“ Sudah meninggalkan ayah dan juga saya tiga tahun yang lalu. Awalnya hanya ijin ke Makassar untuk mencari pekerjaan, dan pada akhirnya aku dan ayah mendengar kabar kalau Ibu sekarang sudah di Surabaya. Ikut dengan seorang pengusaha kaya. Walaupun pengusaha itu sudah tua dan sudah punya puluhan cucu. Pengusaha itu tak beda dengan pak ANU. Ibu sama halnya dengan Bu Sitti, Bu Pessa, Saribanong dan………”

Plak. Plaakk..plaaakkk!…lelaki Paruh Baya menampar seorang anak lelaki berkali-kali didalam kamar itu. Bukan hanya itu, si Paruh Baya mengusir si Anak Lelaki keluar meninggalkan rumah. Sang anak hanya bisa meringis. Si anak hanya bisa menangis. Melangkah pergi meninggalkan luka. Melangkah pergi meninggalkan luka dan airmata. Melangkah pergi meninggalkan luka, air mata, Djenar, Hadi S, Lajang terakhir, Bob Marley, Iwan Fals, Valentino Rossi, Poster Play Boy teman onani, Sebuah gitar, Sebuah mesin Ketik kesayangan, Buku-buku porno, Majalah porno, sebuah foto perempuan paruh baya berdekapan dengan lelaki paruh baya berkumis, meninggalkan puisi-puisi yang belum selesai, meninggalkan sajak-sajak tak bermakna, cerpen-cerpen lebay.

Sebentar lagi purnama…

Lelaki itu melangkah pergi meninggalkan teman-temannya yang suka balapan liar, teman-temannya yang suka minum ballo , teman-temannya yang suka nonton film forno, teman-temannya yang suka mencuri uang orang tua mereka untuk membeli sebotol minuman, teman-temannya yang suka dengan permainan gitarnya, teman-temannya yang suka membaca puisinya, teman-temannya yang suka membaca sajak-sajaknya, teman-temannya yang suka begadang sampai pagi di pos ronda,

Lelaki itu pergi meninggalkan si Paruh Baya berkumis yang tidak suka berteman dengan pencuri, tidak suka berteman dengan peminum ballo, tidak suka berteman dengan pembalap liar, tidak suka berteman dengan penonton film porno, tidak suka berteman dengan tukang onani, tidak suka berteman dengan tukang begadang, tidak suka berteman dengan yang tak jelas masa depannya. Tidak suka berteman dengan yang tak jelas asal-usulnya. DIA LEBIH MEMILIH SENDIRIAN!.

Lelaki itu meninggalkan sebuah rumah mewah. Menoleh kebelakang sekali. Menoleh si Paruh Baya yang berdiri murka didepan pintu. Dia berjalan perlahan. Menapaki kerikil-kerikil yang basah oleh gerimis. Persis seperti kelopak matanya yang juga basah oleh gerimis. Gerimis yang lari dari musimnya. Langkahnya semakin cepat. Sebentar lagi hujan deras. Semakin cepat. Berlari-lari kecil. Menyeberangi jalan raya. Menerobos lampu merah. Masuk kepusat pertokoan. Berhanti sejenak. Mundur satu langkah. Masuk kesebuah toko buku. Memilih buku. Kekasir.

Membayar buku. Meninggalkan toko buku. Keluar dari toko buku. Langkah kembali cepat-cepat. Langkah cepat, semakin cepat, berlari-lari kecil, berlari kencang, hujan mulai turun, Melesat masuk kesebuah rumah kos. Sebuah rumah kos dengan kamar yang berjejer-jejer menyerupai barisan anak sekolahan yang gerak jalan ketika tujuh belasan. Berdiri di depan pintu. Mengetuk pintu kamar No 9. Seorang perempuan keluar bersama seorang lelaki. Tangan lelaki itu tersimpan erat dipinggul perempuannya. Seketika itu juga terperanjat. Tiba-tiba petir datang tanpa kilat. Perempuan itu adalah Indri yang sudah dipacari selama tiga tahun. Sedang lelakinya tak lain anak seorang pengusaha kaya. Hati perlahan berguman, betul kata teman-teman kalau kita terkadang masih lebih baik dibanding kebanyakan orang. Walau kita masih pengangguran, suka minum ballo, sering balapan liar, suka mencuri uang ayah, ahli begadang sampai pagi, tetapi setidak-tidaknya kita tidak bersifat MUNAFIK.

Indri yang dikenal wanita baik, sopan, terpelajar ternyata tega mencampakkan dirinya jauh kedalam palung kecewa. Tega menghempaskan khayalannya yang sudah hampir sampai di langit ke tujuh kedalam lorong-lorong sedih yang tak berujung. Indri yang selama ini sering dibanggakan ketulusannya, kepribadiannya, kelembutannya, tak lebih seekor kelinci berbulu domba. Dia begitu licik.

Dia kemudian melangkah meninggalkan dua tubuh yang masih berdekapan dalam senyuman. Sebuah Buku puisi Andika Mappasomba yang dibelinya ditoko buku tadi jatuh bersama sepotong cokelat. Hanyut terbawa air yang keruh sekeruh hatinya sore itu. Langkahnya gontai, tatapannya kosong, nafasnya sesak, persendiannya kaku.

***

Senja sebentar lagi hilang dalam dekapan malam. Tak ada lagi bocah yang telanjang mengejar ombak. Beberapa kapal nelayan terlihat meninggalkan pantai. Anak dan istri mereka melambaikan tangan berharap para nelayan pulang dengan tangkapan yang banyak. Bibir pantai sudah sepi. Lelaki itu perlahan berdiri. Pandangannya beralih dari senja ke puncak bukit. Bibirnya perlahan tersenyum mengingat tumpukan kertas diatas sana yang masih kosong.

Lelaki itu kemudian melangkah pergi meninggalkan bibir pantai Bira. Meninggalkan pasir putih dan batu karang. Menapaki jalan setapak menuju bukit. Langkahnya semakin cepat. Berlari-lari kecil. Berlari kencang. Melesat bagai meteor mendaki puncak. Dalam hati berguman, “Sebentar lagi purnama. Aku akan menyelesaikan kisahku diatas kertas meski kisah itu tak seindah dengan kisah sang pangeran yang berhasil mempersunting tuan puteri lalu tinggal dalam istana tanpa air mata”.

Sebentar lagi purnama,

Aku juga ingin punya nama,

Bukan hanya sekedar BACO….

( Makassar 2010)

Sumber : http://fiksi.kompasiana.com/prosa/2010/09/25/lelaki-dari-tanjung-bira/

Tidak ada komentar: