Alkisah, pada suatu kampung ada seorang janda yang mempunyai seorang anak laki-laki yang sangat bodoh. Suatu saat, karena merasa sudah dewasa, secara tiba-tiba anak itu ingin mempunyai isteri. Keinginan itu disampaikan kepada ibunya, “Ibu, ibu, saya sudah ingin beristeri.”
Berkatalah ibunya, “Carilah. Barang kali ada orang yang menyukaimu!”
Setelah mendapat restu dari ibunya, si anak yang bernama La Tongko-tongko itu segera berangkat mencari seseorang yang mau diperisteri olehnya. Saat di tengah jalan ia berjumpa dengan seorang pejinjing bila. Tanpa berbasa-basi lagi La Tongko-tongko segera berkata, “Pejinjing bila, saya akan memperisteri engkau!”
Mendengar kata-kata La Tongko-tongko yang kurang sopan itu, maka marahlah si pejinjing bila. Dilemparnya La Tongko-tongko dengan bila-nya. La Tongko-tongko lalu lari pulang, mengadu kepada ibunya, “Ibu, tadi saya berjumpa dengan pejinjing bila. Tetapi, waktu saya mengatakan akan memperisterinya, si pejinjing bila marah dan melemparkan bila-nya ke arah saya.”
“Memang setiap orang akan marah kalau engkau langsung berkata begitu,” kata ibunya. Setelah diam sejenak ibunya berkata lagi, “Pergilah mencari lagi dan jangan sampai tidak ada seseorang yang menyukaimu!”
Setelah itu, La Tongko-tongko pergi lagi mencari seseorang yang bersedia dikawininya. Dan, sama seperti pertemuannya dengan pejinjing bila, di tengah jalan ia bertemu dengan pejunjung belanga. Saat berhadapan dengan si pejunjung belanga, La Tongko-tongko langsung berkata, “Pejunjung Belanga, saya akan memperisteri engkau!”
Mendengar kata-kata La Tongko-tongko itu, marahlah si pejunjung belanga, dan langsung dilemparnya anak itu dengan belanga. La Tongko-tongko pun lalu lari pulang, mengadu lagi kepada ibunya, “Ibu, tadi saya berjumpa dengan pejunjung belanga. Tetapi, waktu saya mengatakan akan memperisterinya, si pejunjung marah dan melemparkan belanganya ke arah saya.”
Tanpa banyak berkata lagi, ibunya segera menyuruh La Tongko-tongko pergi lagi mencari orang yang bersedia untuk dikawini. Kemudian La Tongko-tongko pergi ke arah barat dari desanya, menuju hutan. Saat sampai di tengah hutan, ia melihat ada orang mati tergeletak di bawah sebuah pohon besar. Tampaknya orang itu sengaja ditaruh di tempat itu dan tidak dikuburkan.
Oleh karena La Tongko-tongko bodohnya tidak ketulungan, ia kemudian mendekati mayat itu dan bertanya, “Hei perempuan, saya akan memperisterikan engkau!”
Namun, setelah ditunggu beberapa saat si mayat tidak juga menyahut, maka La Tongko-tongko berkata lagi, “Hei perempuan, sekali lagi saya berkata bahwa saya akan memperisterikan engkau!”
Karena tetap tidak mendapat jawaban, maka La Tongko-tongko berkata lagi, “Sekali lagi saya katakan saya akan memperisterikan engkau! Dan, apabila engkau tidak juga menyahut, berarti engkau setuju untuk kuperisteri.”
Orang mati itu pun tetap tidak menjawab, sehingga La Tongko-tongko segera mengangkatnya dan membawanya pulang. Saat sampai di depan rumahnya, ia segera berteriak memanggil ibunya yang saat itu sedang menumbuk padi di belakang rumah: “Ibu, ibu, saya sudah mendapatkan isteri!”
Si ibu yang merasa kurang yakin kalau anaknya akan secepat itu mendapatkan isteri, segera berkata sambil tetap menumbuk dan tidak menyambut kedatangan anaknya, “Ya baguslah. Sekarang bawa isterimu ke kamar. Biarkan dia istirahat!”
Keesokan harinya, pagi-pagi sekali ibu La Tongko-tongko sudah bangun dan segera memasak. Setelah masakan siap, ia lalu menuju kamar anaknya dan berkata, “La Tongko-tongko, mari kita makan. Ibu sudah menyiapkan makanan untukmu.”
La Tongko-tongko segera keluar dari kamar dan menjawab, “Kenapa hanya aku, ibu? Apakah menantumu tidak diberi makan?”
“Ya, ajaklah juga isterimu untuk makan,” kata ibunya.
Anak itu pun beberapa kali memanggilnya isterinya untuk ikut makan. Namun, karena orang mati itu tidak juga menyahut, maka ibu La Tongko-tongko pun menuju kamar menantunya, hendak membangunkannya. Dan, setelah memasuki kamar anaknya, sang ibu menjadi sangat terkejut. Ternyata yang dibawa dan diperisteri oleh anaknya itu adalah sesosok tubuh yang telah menjadi mayat dan sudah mulai berbau busuk. Sang ibu langsung berteriak kepada anaknya, “Kenapa orang mati kau bawa ke rumah. Bawalah dia ke luar dan segeralah tanam.”
“Kenapa ibu berkata kalau dia sudah mati?” tanya La Tongko-tongko.
“Itu karena dia sudah berbau busuk.” Jawab ibunya
“Jadi, kalau orang sudah berbau busuk, itu tanda kalau dia sudah mati?”
Tanpa ingin berpanjang lebar, ibunya segera menjawab, “Ya. Cepatlah kau bawa dia dan tanam agak jauh dari rumah!”
Dengan berat hati La Tongko-tongko membawa isterinya untuk dikubur di sebuah tempat yang agak jauh dari rumahnya. Setelah selesai mengubur mayat isterinya, La Tongko-tongko kembali pulang ke rumahnya.
Sampai di rumah La Tongko-tongko langsung makan bersama ibunya di dapur. Pada waktu ia sedang makan, ibunya yang saat itu juga makan di depannya sambil berjongkok tiba-tiba kentut. La Tongko-tongko mencium bau tidak sedap yang dikeluarkan oleh ibunya segera berteriak, “Wah, ibu sudah mati!”
“Tidak Nak, tidak. Ibu hanya kentut.”
“Tidak. Ibu sudah mati. Ibu sudah berbau busuk!”
Setelah berkata seperti itu, La Tongko-tongko langsung mengangkat dan membawa ibunya untuk segera ditanam. Di tengah jalan menuju tempat ia menguburkan isterinya, ibunya tiba-tiba melepaskan diri dan berlari masuk ke hutan. La Tongko-tongko tidak mengejarnya, karena ia teringat kalau nasinya belum dihabiskan. Ia kemudian kembali pulang untuk makan.
Sesampai di rumah La Tongko-tongko langsung menuju dapur dan meneruskan lagi makannya. Saat sedang makan itu, tiba-tiba perutnya sakit dan ia pun kentut. Oleh karena dari kemarin ia belum buang air, maka kentutnya pun berbau busuk. “Ah saya sudah mati, saya sudah mati! Belum sempat saya menyelesaikan makan, saya sudah mati,” pikirnya.
Terpaksa ia pergi mencari tempat yang dirasa paling nyaman untuk mengubur dirinya. Setelah berkeliling di sekitar kampungnya, akhirnya ia menemukan sebuah pohon mangga yang sangat rindang dan banyak buahnya. Di bawah pohon itu ia segera membuat lubang kira-kira sedalam lehernya. Selesai membuat lubang, La Tongko-tongko langsung masuk dan mengubur dirinya hingga hanya tinggal kepalanya saja yang masih tersembul di permukaan tanah.
Malam harinya, secara kebetulan ada seorang pencuri yang datang mengendap-endap hendak mencuri buah mangga. Setelah dirasa aman, si pencuri lalu memanjat pohon mangga itu. Sampai di atas, ia kemudian memetik buah mangga dan memasukkannya ke dalam karung. Namun karena terburu-buru, beberapa buah mangga yang dipetik itu jatuh ke tanah dan mengenai kepala La Tongko-tongko.
“Beruntunglah engkau mangga. Andaikata saya belum mati, pasti akan saya makan engkau,” kata La Tongko-tongko.
Mendengar ada suara di bawahnya, si pencuri menjadi terkejut. Ia melihat ke bawah, namun tidak seorang pun ada di bawah pohon. Setelah diperhatikan dengan lebih teliti lagi, akhirnya ia melihat secara samar-samar ada sebuah kepala menyembul di atas tanah. Si pencuri lalu turun mendekati kepala itu dan berkata, “Siapakah engkau?”
“Saya La Tongko-tongko. Saya sudah mati,” jawab La Tongko-tongko.
“Engkau belum mati,” kata si pencuri.
“Benar, saya sudah mati. Tadi siang saya kentut dan berbau busuk seperti orang mati. Lalu saya menguburkan diri di sini.”
Pencuri bersuara lagi, “Bodoh betul engkau ini. Tidak salah kalau engkau disebut La Tongko-Tongko, engkau orang bodoh.”
“Sudahlah. Pergilah engkau dari sini. Orang yang masih hidup tidak boleh berbicara dengan orang mati,” kata La Tongko-tongko.
“Tidak, engkau belum mati. Orang mati tidak dapat berbicara. Lebih baik engkau ikut dengan aku,” kata pencuri itu sambil menarik kepala La Tongko-tongko.
Singkat cerita, setelah La Tongko-tongko berhasil dikeluarkan, maka mereka pun segera pergi. Si pencuri meninggalkan begitu saja mangga yang telah dicurinya, sebab dengan adanya bantuan dari La Tongko-tongko, ia akan mendapatkan hasil curian yang lebih banyak lagi.
Setibanya di perbatasan suatu kampung, mereka melihat sebuah kandang kerbau yang letaknya di dekat sebuah rumah. Berkatalah si pencuri, “Eh Tongko-tongko, bukalah pintu kandang kerbau itu.”
La Tongko-Tongko lalu berjalan ke arah kandang dan membuka pintunya. Setelah itu dikeluarkannya seekor anak kerbau untuk selanjutnya diserahkan pada si pencuri yang berada agak jauh dari kandang. Kemudian ia masuk lagi ke kandang untuk mengambil induknya. Setelah ia mengeluarkan induknya yang hitam dan sangat besar, ia kemudian berteriak kegirangan, “Bagian saya yang hitam, bagian saya yang hitam!”
Menyahutlah pencuri itu, “Jangan berteriak. Nanti bangun yang empunya rumah!”
“Apa? Bagian saya tetap yang hitam ini,” kata La Tongko-tongko sambil berteriak karena ia mengira bahwa si pencuri hendak memiliki induk kerbau yang sedang ditariknya.
Mendengar teriakan La Tongko-tongko itu, maka bangunlah si pemilik kerbau. Ia segera keluar dari rumahnya dan kemudian berteriak, “Pencuri! Ada Pencuri!”
Melihat si pemilik kerbau sudah keluar dari rumahnya, si pencuri menjadi takut. Ia segera kabur meninggalkan La Tongko-tongko dan anak kerbau yang dipegangnya. Tetapi karena terlalu bodoh, La Tongko-tongko tidak beranjak dari tempatnya. Ia tetap memegangi tali kekang induk kerbau itu.
La Tongko-tongko kemudian ditangkap oleh si pemilik rumah. Si pemilik rumah lalu bertanya, “Mengapa engkau hendak membawa kerbauku?”
“Kami hendak mencuri kerbau,” jawab La Tongko-tongko.
Mendengar penjelasan itu, si pemilik rumah menjadi sadar bahwa ia sedang berhadapan dengan orang yang bodoh, sehingga ia berkata, “Engkau betul-betul orang yang bodoh tetapi menguntungkan. Andaikata engkau tidak berteriak habis semua kerbau kami.”
Dan, karena si pemilik merasa kasihan, maka ia pun berkata lagi, “Ya sudahlah. Karena engkau sangat bodoh, saya akan melepaskanmu. Sudah pergi sana!”
Beberapa hari kemudian, si pencuri bertemu lagi dengan La Tongko-tongko. Katanya, “Kenapa engkau berteriak sampai bangun yang empunya rumah?”
“Saya ingin mengambil kerbau yang hitam itu,” jawab La Tongko-tongko.
“Dasar orang bodoh! Begini saja, nanti malam kita mencuri lagi di kampung sebelah. Nanti tengah malam aku tunggu di sini,” kata si pencuri.
“Ya, baiklah. Nanti malam aku datang.”
Pada saat tengah malam, mereka pun berkumpul di tempat mereka tadi sore berjumpa. Selanjutnya mereka berjalan menuju ke sebuah kampung yang letaknya bersebelahan dengan kampung La Tongko-tongko.
Di kampung itu ada sebuah rumah yang letaknya agak terpencil dari rumah yang lain. Rumah itu dihuni oleh dua orang perempuan dan seorang laki-laki tua. Kebetulan tadi sore, si laki-laki tua itu meninggal secara mendadak. Oleh kerana mereka malas untuk menguburkannya, maka perempuan yang lebih tua berkata, “Masukkan saja mayat itu ke dalam karung lalu isi dengan pecahan kaca dan taruh di beranda. Nanti pasti akan diambil kalau ada pecuri yang lewat.”
Pada saat telah berada di perbatasan kampung, si pencuri melihat ada rumah yang letaknya agak terpencil dari rumah-rumah yang lain. Ia dan La Tongko-tongko lalu menuju ke rumah itu. Setelah sampai di depan pagar rumah, ia berkata, “Naiklah ke beranda Tongko. Di situ aku lihat ada karung. Engkau goncang-goncangkanlah, kalau berbunyi bawalah karung itu ke sini.”
La Tongko-tongko segera naik ke beranda rumah dan menggoncang-goncangkan karung itu. Oleh karena di dalam karung berisi pecahan kaca, maka ketika digoncangkan karung berbunyi berisik seperti uang ringgit. La Tongko-tongko kemudian menyerahkan karung itu pada si pencuri.
Si pencuri yang berniat tidak akan membagi harta itu, lalu menyuruh La Tongko-tongko kembali lagi ke beranda rumah untuk mengawasi kalau-kalau si penghuni terbangun. Sementara si pencuri sendiri terus kabur membawa karung yang disangkanya uang ringgit itu.
Sewaktu La Tongko-tongko telah berada lagi di serambi, ia mendengar suara orang berbisik di dalam rumah. Rupanya aktivitas mereka dari tadi sudah diketahui oleh si pemilik rumah. La Tongko-tongko mendengar salah satu perempuan itu berbisik, “Orang mati yang kita masukkan ke dalam karung itu sudah diambil pencuri.”
Mendengar perkataan salah seorang perempuan itu, La Tongko-tongko langsung berlari menyusul si pencuri. Setelah jarak mereka agak dekat, ia lalu berteriak, “Eh, buang karung itu. Hanya orang mati itu, hanya orang mati itu!”
Mendengar kata-kata La Tongko-tongko, si pencuri malah makin kencang larinya. Ia mengira La Tongko-tongko mengatakan, “Cepat, cepat, kita sudah mati, kita sudah mati!” Ia mengira kalau La Tongko-Tongko sudah ketahuan dan sedang dikejar oleh penduduk kampung.
Melihat si pencuri bertambah kencang larinya, La Tongko-tongko pun mempercepat larinya sambil berteriak-teriak, “Buang. Orang mati itu! Orang mati itu!”
Mereka pun berkejaran di tengah malam sampai akhirnya semua merasa letih. Si pencuri lalu duduk di pinggir jalan sambil menanti kedatangan La Tongko-tongko. Pada akhirnya ia didapati oleh La Tongko-Tongko. Berkatalah La Tongko-Tongko, “Mengapa engkau selalu lari?”
“Engkau yang mengatakan, cepatlah lari, kita saudah mati. Akibatnya kita selalu lari. Mana orang-orang yang mengejarmu?”
“Tidak ada orang yang mengejar saya. Saya hanya berkata, buang karung itu. Isinya hanya orang mati,” kata La Tongko-tongko.
Si pencuri yang tidak percaya dengan kata-kata La Tongko-tongko, lalu membuka karung yang selama ini dibawanya. Dan, setelah dibuka ternyata isinya memang hanya sesosok mayat yang dicampur dengan pecahan kaca. Si pencuri kemudian membuang karung itu begitu saja di tepi jalan dan segera berkata kepada La Tongko-tongko, “Sudahlah. Lebih baik kita berpisah saja. Aku selalu saja sial jika pergi bersamamu.”
Demikianlah, akhirnya kedua orang itu pun berpisah. Si pencuri pergi ke arah barat, sementara La Tongko-tongko ke arah Selatan, pulang ke rumahnya. Sejak itu mereka tidak pernah berjumpa lagi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar