Kamis, 27 Januari 2011

R.A KOSASIH SANG KOMIKUS


TRUE  STORY
Bekasi, 18 Januari 2011
R.A KOSASIH
SANG KOMIKUS

Ditulis ulang oleh: Mac Dhawanks

           Suatu hari pada 1968, seorang bapak tua yang nyaris tak berambut memeriksa keadaan dada dan kerongkongannya pada seorang dokter di daerah Kebayoran Jakarta. Sambil mencatat resep, si dokter, dr. Surjani, menanyakan pekerjaan bapak tua pasiennya. “Say mah cuma tukang gambar, Bu Dokter.” Dokter Surjani memerlukan jawaban rinci dengan menanyakan tukang gambar apa, “Yaah, gitu……gambar komik wayang.”
Si dokter tertarik. “Nama bapak siapa, sih?” tanyanya. Si bapak tua menjawab, “Kosasih.” Sang dokter berhenti mencatat,ia melotot terkejut. “R.A Kosasih yang bikin komik Mahabharata dan Ramayana?” Kosasih,komikus yang memang pemalu dan rendah hati itu, mengangguk. “Astaga,” ujarsang dokter terpesona, “Saya dulu mengumpulkan semua komik karya Bapak. Dari SMP saya sudah baca komik Bapak.”
R.A Kosasih. Siapa tak kenal nama itu? Dari anak-anak sekolah hingga orang tua, komik wayang R.A Kosasih menjadi bacan keluarga di Indonesia. Tapi tak banyak yang mengenal kehidupannya.
Pergilah ke Bogor, dan tanyakan nama Kosasih, orang akan menunjuk sebuah gang kecil di Jalan Pahlawan. Di sebuah pavilyun sederhana yang berdempeten dengan rumah utama, Kosasih “bertapa” sembari sekali-sekali masih membuat komik. “Kini saya sudah tua, tangan saya sudah gemetar kalau kedinginan, saya Cuma bias menggambar kalau sedang hangat,” katanya pada wartawan TEMPO Leila S. Chudori pada tahun 1991, pada suatu hari munggu yang basah.
Di rumah kecil berkamar satu ini, Kosasih tinggal sendirian. Istrinya kini tinggal di Jakarta mengurusi cucu dari putri satu-satunya, Yudowati Ambiana. Namun setiap Minggu keluarga Kosasih berkumpul di Bogor.
Hari Minggu itu kebetulan istri, anak, menantu, dan cucunya sedang berkunjung. “Biasanya, saya sendirian dari kedinginan. Paling-paling melukis sambil mendengarkan music Sunda, soalnya TVnya rusak, “katanya sambil menggosok-gosok kaca matanya yang tebal.
Kosasih lahir di Desa Bondongan, Bogor 72 tahun silam (Pada saat berita ini dimuat tahun 1991 di Majalah Tempo), tetapi sekarang beliau sudah berumur 92 tahun dan saat ini sedang terbaring sakit di RS. Ia lahir sebagai anak bungsu dari tujuh bersaudara “Ayah saya Raden Wiradikusuma, pedagang dari Purwakarta, dan ibu saya Sumarni, asal Bogor,” katanya. Sambil masih juga menggosok kaca matanya, Kosasih bercerita bagaimana masa kecilnya dihabiskan dengan menggambar.
“Ketika saya masih kelas satu SD di Inlands School, Bogor, saya selalu menunggu ibu kembali dari pasar. Soalnya, bungkusan sayur-mayur belanjaan ibu biasanya potongan Koran yang ada komiknya. Saya ambil bungkusan sayur itu, saya baca komik Tarzan, meski cuma sepotong-potong,” katanya dengan logat Sunda yang kental. Selain memburu komik potongan ini. Kosasih kecil juga rajin menonton bioskop dan wayang golek. “Waktu itu saya kagum betul, tuh sama Gatotkaca, karena bisa terbang,” tuturnya.
Setelah lulus dari Inlands School pada 1932, Kosasih melanjutkan pelajaran ke Hollandsch Inlands School (HIS) Pasundan. “Di HIS inilah saya mulai tertarik pada seni menggambar secara formal. Sebab, ilustrasi pada buku-buku pelajaran bahasa Belanda bagus-bagus, jadi buku catatan saya banyak yang cepat habis karena saya gambari,” katanya tertawa. Setelah lulus HIS, Kosasih tidak meneruskan sekolahnya. Ia sebenarnya punya peluang meneruskan sekolah untuk menjadi pamong, tapi ia tak mau.
Kegemarannya menggambar dan menonton wayang golek tak pernah berhenti. “Saya suka pulang pagi kalau lakonnya bagus, terutama yang menyangkut Gatotkaca, Bima, dan Arjuna. Saya sampai hafal tokoh-tokoh itu dan di mana letaknya dalam susunan jejer. Begitu senangnya pada wayang golek sampai hafal gaya para dalang.” Pada saat itulah Kosasih mulai mencoba menvisualkan kekagumannya pada tokoh-tokoh wayang dalam bentuk gambar. “Saya pikir, seandainya cerita wayang itu dipersingkat tapi tetap berbobot, pasti akan disukai orang.”
Kosasih mengenal seni wayang golek. Ia sempat mempelajari alat musik siter dan seruling yang paling disukainya dalam perangkat gamelan wayang golek. Alat musik siter sampai kini masih sering dimainkannya untuk mengalunkan lagu-lagu Sunda.
Pada 1939, kosasih melamar pekerjaan sebagai juru gambar di Departemen Pertanian Bogor. “Kerja saya member ilustrasi buku-buku penerbitan departemen itu. Rata-rata, yang saya gambar tanaman dan binatang. Dan untuk itu, saya harus melihat insect di bawah mikroskop,” katanya tertawa. Gaji yang diterimanya, meski tak berlebihan, cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Jepang dating. “Seingat saya, masa pendudukan Jepang adalah masa penderitaan. Saya ingat, untuk mendapatkan makanan susah. Namun, di masa ini ia menemukan komik-komik bekas, di antarnya komik Flash Gordon. “Dari sini, saya mulai mencoba membuat buku-buku komik sendiri dengan sisa-sisa kertas. Lantas saya bagikan kepada anak-anak tetangga. Ternyata banyak yang senang. Setelah Indonesia merdeka, Koran-koran dan penerbitan mulai bermunculan. “Saya ingat betul, di tahun 1953 harian Pedoman bandung memuat iklan dicari pelukis komik, lalu saya mencoba melamar. Saya kirimkan beberapa gambar saya, ternyata saya diterima.” Sejak itu Kosasih memuaskan kesenangannya menggambar komik meski pada siang hari ia bekerja pada Departemen Pertanian.
“Serial pertama yang saya buat Sri Asih,” katanya. Sri asih adalah seorang superhero wanita. “Saya menciptakan tokoh Sri Asih karena kagum dengan wanita gagah. Saya anggap dalam banyak hal wanita lebih mampu menyelesaikan persoalan disbanding laki-laki. Dan untuk digambar, wanbita lebih bagus. Saya terpengaruh kisah Wonder Woman komik lama yang sekarang ditelevisikan. Ternyata, banyak yang suka.”
Komik pertama Kosasih dicetak 3000 eksemplar. Langsung licin tandas. “Saya ingat, harga komik Sri Asih saat itu seringgit, setelah laku keras dinaikkan menjadi Rp 3,50. Jadi, sebulan saya bias mendapat Rp. 4000. Gaji saya sebagai pegawai waktu itu Cuma Rp. 150.”
Kosasih membuat serial Sri Asih sesuai dengan cerita-cerita lokal yang sedang popular saat itu. Misalnya edisi Sri Asih VS Gerombolan DI/TII yang saat itu ramai diberitakan.
Suksesnya Sri Asih membuat Kosasih bergairah untuk membuat serial baru dengan tokoh bernama Siti Gahara. Perbedaan karakter Sri Asih dan Siti Gahara sebenarnya tidak terlalu banyak. Keduanya cantik, sakti, penolong kaum lemah. Bedanya, sri Asih mengenakan kostum wayang Sunda, sedangkan Siti Gahara mengenakan celana Aladin dari kisah 1001 malam.
Masih didasari kekaguman pada wanita perkasa, Kosasih melahirkan serial Sri dewi. “Saya terpengaruh komik Flash Gordon, ketika membuat edisi Sri dewi Kontra dewi Sputnik,” tutur Kosasih. “Saya mau menunjukkan yang modern. Sri dewi harus tetap menang, ha..ha..ha..ha….”
Bencana datang, ketika Kosasih menikmati derasnya inspirasi, Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat, Organissai organ PKI) menuding komik-komiknya mencerminkan kebudayaan yang kebarat-baratan. Omset komik-komik Kosasih turun secara umum. Sementara itu, komik produksi RRC membanjir menggantikan komik yang dianggap kebarat-baratan tadi.
Menyadari gejala itu., Kosasih dan rekan-rekannya mencoba menandinginya dengan membuat komik-komik berdasarkan cerita klasik lokal seperti Mundingkaya Dikusuma dan Ganesha Bangun. Kosasih, yang merasapasarnya terambil, mencoba terus untukmerebut pasar kembali. Pada 1953, ia mendapat gagasan untuk menggambar komik wayang. “Lantas saya usul pada Penerbit Melodi untuk menerbitkan komik wayang. Mereka langsung menolak usul saya, ha..ha..ha…”
Kosasih memang bukan orang yang melihat hidup dengan kaca mata hitam. Ia mencoba memahami alas an Penerbit Melodi yang khawatir wayang tak akan disukai masyarakat. “Mereka mengatakan wayang dianggap sakral oleh masyarakat Jawa, jadi nanti tidak enak,” katanya mengisahkan. Tapi penolakan itu tidak membuatnya puuts asa. Ia mencoba mengomikkan Burisrawa Gandrung, sebuah kisah wayang yang dianggapnya tak berbelit-belit, dan yang penting kira-kira disukai pembaca. Terbitlah komik Bunisrawa Merindukan Bulan.
Komik pertama setebal 48 halaman itu mendapatkan reaksi positif dari masyarakat. Diluar dugaan Penerbit Melodi, komik wayang Burisrawa itu laku keras. Maka mulailah Kosasih mengembangkan ide-ide komik wayang, dari kisah-kisah klasik Mahabharata dan Ramayana.
Suatu ketika ia pergi ke perpustakaan Bogor dan menemukan Bagavat Gita yang sudah diterjemahkan Balai Pustaka. Ia menemukan gagasan. “Saya piker, sebaiknya saya memakai versi asli dalam membuat komik wayang.” Ide ini disampaikan pada Penerbit Melodi. Alasan Kosasih saat itu, belum banyak masyarakat yang mengenal cerita Mahabharata dan Ramayana dari sumber asli. Menurut Kossaih, ini juga sekaligus untuk bahan perbandingan dengan Mahabharata adaptasi Jawa.
Mahabharata menunjukkan hubungan emosional Kosasih dengan tokoh-tokoh yang digambarkannya. “Saya sangat mengangumi tokoh-tokoh di dalamnya. Misalnya Gatotkaca. Sejak kecil, saya memang sudah lama menjagoinya. Ia rela berkorban di Bharatayudha,” katanya. Kosasih menganggap adegan kematian Bisma paling mengharukan.
Tokoh lain yang dikaguminya, Dewi Drupadi, Istri Prabu Yudhistira. “Saya tahu, orang Indonesia paling menyukai Srikandi, sampai sering lambang kepahlawana wanita yang dinamakan Srikandi. Tapi, menurut saya tokoh, Srikandi tidak sepenting Drupadi. Di mata Kosasih, pujangga Jawa telah membuat Srikandi penting dengan mengawinkan tokoh ini dengan Arjuna. “Tokoh perempuan yang paling kuat di mata saya adalah Drupadi,” katanya. “Ia bersedia berkorban mengikuti suami dan saudara-saudaranya mengembara selama 12 tahun ke hutan.”
Pengamat sejarah komik Marcell Bonneff berkomentar, komik R.A Kosasih telah berhasil membendung arus kmik asing di Indonesia. Sayang penerbit Melodi, yang menerbitkan komik wayang telah bangkrut, sehingga sulit dilacak berapa ribu eksemplar yang terjual. “Seingat saya, paling tidak satu bulan bias terjual 30.000 eksemplar untuk satu buku. Saya Cuma ingat, setiap minggu, selalu habis dan dicetak lagi,” kata Kosasih.
Sukses Kosasih tentu saja menimbulkan arus pertumbuhan komik wayang. Berbagai epigon Kosasih nongol, dan Kosasih yang rendah hati menyambut kedatangan para pelukis muda itu. Namun, cirri khas Kosasih tidak tertandingi. Kekhasan Kosasih, misalnya ia punya sikap dalam menggambarkan tokohnya. Kalau perlu dengan mengubah pakem. Ia menggambarkan Bima sebagai orang yang bertubuh besar, bukan raksasa. Kosasih juga menolak gambaran Kresna berkulit hitam.
Hubungan Kosasih dengan penerbit Melodi bukan hubungan bisnis resmi. “Kami tidak pakai kontrak-kontrakan seperti zaman sekarang. Namanya juga zaman baheula. Setelah komik laku dijual, saya dapat persen lagi, gitu aja. Dengan suksenya Mahabharata dan Ramayana, saya bias membangun rumah kecil ini,” katanya bangga. Kosasih mengaku, ia tak pernah diberi tahu berapa banyak bukunya laku saat itu. “Tapi yang jelas semua keperluan pribadi saya dipenuhi.”
Agaknya, karena hubungan pelukis dan penerbitnya bukan bisnis resmi. Kosasih tidak pernah mempersoalkan hak cipta. “Kurang jelas kalau soal hak cipta, saya nggak tahu mestinya gimana.”
Pada 1955, karena permintaan melukis komik semaikn meningkat dan Kosasih kewalahan membagi waktu, ia memutuskan berhenti dari pekerjaannya sebagai pelukis di Departemen Pertanian. “Soalnya saya lebih suka melukis komik pada siang hari ketika matahari masih hangat, artinya bentrokan dengan waktu kerja saya di Departemen Pertanian.” Karena berhenti atas permintaan sendiri, Kosasih tidak mendapat pension. Sejak itu, hidupnya memang hanya dari melukis komik.
Kosasih mulai professional dalam bekerja. Ia berusaha efisien, menghadapi banyaknya naskah komik yang harus dibuatnya. Pada masa ini Kosasih mempekerjakan keponakannya Atmadja “Saya menggambar dan mengarang teks, Atmadja yang menyalin teks itu dengan huruf lebih rapi ke gambar.” Dengan cara ini, pada tahun 1956 serial Mahabharata dan Ramayana selesai di gambar.
Kosasih kemudian kembali ke komik superhero, seperti Kala Denda. Tapi, karena intensnya hubungan Kosasih dengan proses menggambar Mahabharata dan Ramayana, tak bias dihindari komik-komiknya yangbaru menampakkan pengaruh wayang, mulai dari kostum, gerak-gerik tokoh, hingga dialognya.
Pada tahun 1960-an, terjadi perubahan manajemen penerbit Melodi. Pergantian ini mempengaruhi kreativitas Kosasih. Ia enggan mengingat masa itu, tapi ia mengaku nafkahnya bergantung hanya pada hasil cetak ulang komik yang sudah ada. “Pada saat itu pula saya diminta bekerja lagi di Departemen Pertanian, karena menurut mereka saya diperlukan untuk menggambar. Saya terima tawaran itu. Tapihanya betah beberapa bulan, lalu keluar lagi, ha…ha…ha…”
Satu-satunya serial baru Kosasih pada masa itu, serial Cempaka, Tarzan wanita versi Indonesia. Keberhasilan komik Tarzan berbagai versi menggugah Kosasih menciptakan Tarzan Indonesia. Ia berpendapat, Indonesia kaya dengan hutan yang dilukiskan dalam cerita-cerita Tarzan. Tapi, lagi-lagi Tarzan yang diciptakannya, wanita bertubuh tinggi, seksi, dan tentu saja berpakaian loreng mini.
Cempaka juga digambarkan sebagai Tarzan yang sigap meloncat dari satu pohon ke pohon lain sembari membawa pisau. Yang menarik, para binatang diperlakukan Kosasih seperti manusia. Baik gajah, serigala, amupuin badak berbincang-bincang dan berfilsafat tentang keserakahan manusia yang selalu memburu binatang, dan Cempaka menjadi corong hati mereka.
Pada 1964, Kosasih pindah ke Jakarta. Meski Jakarta dianggap kota yang riuh-rendah dan bising. Kosasih tetap bias mencipta. “Yang penting ada meja dan tinta cina,” katanya. Melalui penerbit UP Lokajaya, Kosasih menerbitkan serial Kala Hitam dan Setan Cebol. Tiga tahun kemudian, ia di minta menggambar ulang serial Ramayana. Dan gambar ulang ini ternyata berbeda dengan gambar sebelumnya. Kosasih mengakui, setiap kali ia menggambar ulang, dia mengikuti perasaannya yang tidak terlalu persis dengan komik yang sudah diterbitkannya.
Pada 1968, kesehatan Kosasih menurun. “Saya disuruh berhenti merokok dan beristirahat,” kata Kosasih. Selama hamper setahun, Kosasih tidak menyentuh pen dan tinta cina. Karena merasa tak tentram di Jakarta Kosasih kembali ke Bogor.
Saat itu, ia mulai berhubungan dengan Penerbit Maranatha dari Bandung untuk menerbitkan kembali serial komik Mahabharata dan Ramayana. Menurut pihak took buku Maranatha, Mahabharata dan Ramayana dicetak 1500 sampai 2000 eksemplar untuk setiap serial. Harus diakui, mulai tahun 1980-an, minat pembeli terhadap komik wayang menurun. Kedua komik yang pernah sangat laku itu tidak terlalu diminati pembaca komik. Disamping itu, Kossaih mengakui produktivitasnya juga tidak sedahsyat dulu.
Pada tahun-tahun itu pula, sempat ada serangan terhadap peran komik secara umum. “Seingat saya, serangan itu mengatakan komik bias menurunkan minat baca,” kata Kosasih. Karena Kosasih ingin menunjukkan tanggungjawab bagi anak-anak pembacanya, ia sempat mengubah gaya penyajian komiknya. Misalnya dalam serial Egul mayangkara, Kosasih menyajikan teks yang lebih banyak, hingga panil komik lebih dipenuhi kata-kata daripada gambar. Tapi ini tak berlangsung lama. Setelah banyak pecinta komik membela komik sebagai kesenian, Kosasih kemblai lagi dengan gayanya yang semula.
Kosasih mengaku, membanjirnya komik impor membuat komiknya tak berkutik. “Komik-komik itu bagus semua. Saya selalu membacanya,” kata Kosasih mengakui.
Kosasih kini lebih sering di Jkarta bersama anaknya cucunya. Ia mengaku hanya bias menyelesaikan satu komik dalam satu bulan. “Selama satu bulan, saya bekerja selama 20 hari saja, 10 hari saya pakai untuk libur.” Libur untuk Kosasih artinya: nonto wayang, nonton film silat dan film India, mendengarkan music Sunda, bermain dengan cucu, sesekali “olahraga”. Olahraga Kossaih, selain jalan kaki, menyapu dan mencuci baju dan loncat-loncat di kamar mandi.
Sumber : Tulisan Leila S. Chudori di Majalah Tempo No. 43 Tahun XXI – 21 Desember 1991


Tapi kini kondisi Maestro Komik Indonesia kita, sedang terbaring lemah di RS sejak bulan Agustus 2010. Dan bagi para pecinta komik Kosasih dari zaman ke zaman yang mungkin sudah mapan dalam ekonomi, bisa membantu pengobatan beliau dengan memberi sedikit sumbangan buat pengobatan beliau, dan sumbangan yang terkumpul akan dikirim langsung kepada keluarga Kosasih di Bogor :
        Salurkan bantuan anda ke No. Rekening 156-00-0084612-3 Bank Mandiri KCP Bekasi Villa Nusa Indah,  atas nama = Muhammad Ridwan, S.Kom. Semoga dana yang terkumpul dapat meringankan biaya pengobatan beliau. Wassalam !!


Tidak ada komentar: