TRUE STORY
Bekasi, 18 Januari 2011
R.A KOSASIH PELOPOR KOMIK PERTAMA DI INDONESIA
Di Tulis ulang oleh: Mac Dhawanks
Pengantar Penulis
Beribu, mungkin berjuta orang Indonesia mengenal karya besar Mahabharata dan Ramayana lewat komik karya R.A Kosasih. Seniman itu tinggal di Bogor, tetap tekun dengan tinta Cina dan kertas gambar dan garis-garis yang bercerita meski kini karyanya mesti bersainbg dengan komik impor.
Saya coba untuk menulis ulang kisahnya, walaupun berita ini sudah 10 tahun berlalu tetapi kita perlu mengetahui seniman pertama yang memperkenalkan komik di Indonesia apalagi ditahun 2011 ini, Indonesia gencar dimasuki komik-komik impor dan film-film animasi dari luar negeri, seperti komik Sinchan, Doraemon, Upin Ipin, Dragon Balls, Tom dan Jerry, Spiderman, Batman, Hulk, Superman, DORA.
Apakah seniman Indonesia sudah tidak ada lagi yang bisa meneruskan karya Kosasih yang sudah uzur, apakah orang Indonesia tidak mampu membuat film animasi yang diambil dari komik lokal karya-karya R.A Kosasih. Sewaktu kecil gue ingat banget komik yang sering aku baca yaitu Petruk dan Gareng, Gundala, Gatot Kaca tapi kenapa sampai sekarang tidak ada satu pun animator-animator Indonesia yang mengangkatnya dalam sebuah film Animasi fuul durasi 30 menit atau 1 jam.
Film Animasi kita sudah jauh tertinggal dibanding dengan Negara tetangga kita Malaysia dengan film Upin Ipin, kenapa film Unyil nggak dibikin film animasi juga, dan menggantikan film Unyil versi bonekanya. Atau film Boneka karya Kak Seto “SI KOMO” dijadikan juga film animasi. Apalagi TV-TV swasta kita sekarang dimasukin film impor dari India “Little Krishna” yang seolah-olah tidak bisa bersaing dengan karya-karya Kosasih yang juga mengisahkan kebudayaan Hindu dalam komik-komiknya "Mahabharata dan Ramayana", kenapa karya R.A Kosasih tidak dibuatkan film kartun atau animasi seperti film India Little Khrisna.
*********
Tiba-tiba saja burung merpati itu hinggap di pangkauan Prabu Usinara. “Oh, Gusti yang agung, tolonglah hamba yang hina ini, Rajawali sedang memburu hamba.” Sang Prabu yang terkenal luhur budi, pembela kaum lemah, berjanji melindunginya dari Sang Rajawali yang melesat masuk ke istana dan meminta haknya, daging merpati untuk santapannya. “Lihatlah punggungnya, menurut hokum rimba, ia telah jadi milikku.”
Sang raja yang adil, demi melindungi Merpati, lebih suka memberikan dagingnya sendiri daripada mengorbankan burung merpati yang tak berdaya itu. Baginda mengambil sebuah timbangan. Merpati itu kemudian diletakkannya di satu piring timbangan, Prabu Usinara bermaksud memberikan dagingnya kepada Rajawali, seberat daging merpati yang tampaknya kecil itu.
Prabu Usima memotong daging pahanya, lalu lengannya, betisnya hingga hampir semua daging yang melekat di tubuhnya. Ternyata, tumpukan daging itu masih belum bias mengimbangi berat merpati. Sang Prabu pun roboh. Ketika ia sekarat, hampir mati, ia berkata kepada Sang Permaisuri. “Adinda, seorang Prabu harus menepati janjinya…..aku mati karena keadilan, kematian ini lebih indah daripada mati dalam perang…..”
Itulah dongeng Resi Bima tentang kebaikan hati manusia, yang diceritakan kepada cucu-cucunya di tengah lapangan Kurusetra, menjelang ajal. Bisma, satu-satunya manusia yang diizinkan para dewa memilih hari kematiannya. Ia tidak langsung tewas ketika tubuhnya rata dihunjam panah. Bisma roboh, tubuhnya mengambang disangga anak-anak panah. Namun, ia mangkat denga tenang, diantar cucu-cucnya – Pandawa dan Kurawa, dua pihak yang bertempur dalam Perang Bharatayudha – yang berkunjung malam hari.
Inilah salah satu rangkaian kisah bergambar, Pandawa Seda, komik gubahan R.A Kosasih. Komik sebanyak 20 jilid ini maha terkenal dimasanya dan salah satu media yang sangat berjasa dalam memperkenalkan cerita-cerita wayang kepada masyarakat. Kosasih, secara langsung maupun tak langsung, telah mempengaruhi banyak pelukis komik maupun illustrator di Indonesia. “Ia bias dikatakan salah seorang pelopor komik Indonesia,” kata Sardono W. Kusumo, koreografer dan penari terkemuka. Bahkan “Kosasi-lah yang telah mempengaruhi jalan hidup saya,” kata G.M Sudarta, illustrator “Oom pasikom” dari harian Kompas.
Nama R.A Kosasih identik dengan komik wayang Mahabharata dan Ramayana. Namun, sesungguhnya jauh sebelum ia memperkenalkan kedua karya besarnya itu. Kosasih sudah lebih dulu menghasilkan beberapa serial komik. Dia antaranya seri pahlawan, Sri Asih yang diilhami cerita Superman. Seri pahlawan ini juga muncul dengan tokoh lain, Siti Gahara. Keduanya diterbitkan pada tahun 1950-an.
Kosasih juga sempat menggubah komik dari cerita-cerita legenda, seperti Sangkuriang, Sasakala Padeglang. Ia juga pernah membuat komik-komik roman percintaan – yang tidak terlalu sukses – berjudul Debur Asmara, Kenangan di Cianjur, dan Surat yang Hilang.
Tidak dapat disangkal, komik-komik wayang Kosasih telah membuat namanya menjadi monumental. Bagi Kepala Museum Wayang Haryono Guritno, Kosasih sangat berjasa dalam memopulerkan perwayangan. Dulu, menurut Haryono, cerita perwayangan adalah dokumentasi serius. Cerita-ceritanya, yang dibakukan Ronggowarsito, dikumpulkan dalam sebuah perpustakaan oleh Palu Buwono IV. “Nah, pada abad ke-19 hingga sekarang, perwayangan mengalami downhill, tidak harus serius. Kosasih, salah seorang di antara yang berhasil memasyarakatkan wayang dengan caranya sendiri, yakni dalam bentuk komik,” katanya.
Kepopuleran R.A Kosasih mungkin belum pernah diuji. Tapi, pada tahun 1980, kritikus seni Agus Dermawan T. pernah mengadakan sebuah penelitian kecil untuk mencari tahu dari mana dan sejak kapan orang Indonesia menggemari komik. Dan pertanyaan yang dilempar secara acak itu telah menghasilkan kesimpulan bahwa umumnya mereka mengenal komik dari karya-karya R.A Kosasih. “Dan ini tak lain melalui komik wayang Mahabharata dan Ramayana,” kata Agus. Kepopuleran Kosasih juga telah menarik berbagai mahasiswa seni rupa ITB dan ISI-Yogyakartauntuk menulis skripsi tentang karya-karyanya. Dan bahkan berbagai wartawan asing dari Perancis dan Australia, ditahun 1970-an, rajin mendatangi Kosasih karena mengenal wayang dari karya-karyanya.
Ini membuktikan bahwa komik wayang R.A Kosasih bukan hanya bacaan anak-anak. “Komik wayang R.A Kosasih adalah bacaan semua usia,” kata budayawan Umar Kayam. Sastrawan terkemuka ini mengaku telah mengoleksi komik-komik wayang Kosasih bersama sembilan saudaranya. “Dan selanjutnya, setelah saya menikah dan punya anak tokoh wayang Kosasih menjadi household idiom (Kosakata dalam rumah tangga),” tutur bapak dua anak ini.
Seperti ayahnya, Sita Aripumarni, Kayam sesungguhnya sudah mengenal wayang, jauh sebelum membaca komik Kosasih. “Tapi, dari lukisan Kosasih, saya belajar memvisualisasikan tokoh-tokoh wayang,” kata Sita, yang masa remajanya adalah anggota kelompok tari Ratna Budaya ini. “Karena saya sering kebagian peran Lesmana dalam Ramayana atau Nakula di Mahabharata atau Raden Inu Kertapati dalam Panji Semirang, yang saya bayangkan dalam lukisan Kosasih,” tutur Sita. Begitu cintanya kepada komik-komik wayangya, hingga “Mahabharata yang 12 jilid, lantas Bharatayudha yang lima jilid, dan Pandawa Seda yang tiga jilid itu saya kumpulkan dan saya bundel rapi.”
Menggunakan komik wayang Kosasih sebagai salah satu media pendidikan dalam keluarga juga dilakukan keluarga Marsilam Simanjuntak. “Sebetulnya, menurut saya pribadi, lukisan Ardisoma lebih detail dan menarik, sedangkan garis-garis Kosasih lugu dan sederhana. Tapi dia satu-satunya yang melukis komik Mahabharata dan Ramayana secara lengkap. Karena itu, ketika Andre, anak sulung saya masih berusia lima tahun, kami ramai-ramai ke Bandung – khusus mencari toko buku Maranatha yang menjual komik-komik wayang Kosasih,” kata bapak dua anak itu. Marsilam, 48 tahun, mengenal komik wayang Mahabharata ketika ia masih SMP. “Saya dan kawan-kawan di SMP, yang kebetulan berjumlah lima orang itu, menamakan diri Pandawa Lima,” katanya sambil tertawa.
Sebenarnya, apa yang membuat komik wayang R.A Kosasih istimewa ? “Ia konsisten dalam menyelesaikan serial Mahabharata dan Ramayana, yang memenag merupakan karya besar,” kata kartunis Priyanto S. Sesungguhnya, di mata Priyanto, lukisan Kosasih terkesan lugu dan sangat sederhana. “Saya menganggap gambar komikus Ardisoma lebih punya style,” tambahnya lagi. Tapi seperti halnya Umar Kayam dan Marsilam Simanjuntak, Priyanto toh memilih komik wayang R.A Kosasih untuk memperkenalkan Mahabharata dan Ramayana kepada kelima anak-anaknya. “Bukan anak-anak saya saja, tapi saya tahu anak-anak kawan saya dan juga keponakan-keponakan saya semua membaca komik wayang R.A Kosasih.”
Itulah. Membaca Mahabharata dalam bentuk komik, tampaknya, bias mengikat seperti membaca komik Kho Ping Ho. Mahabharata di tangan Kosasih mempunyai daya pikat karya sastra dalam bentuk roman, kisah panjang yang berkaitan dengan sejarah kehidupan seseorang atau suatu keluarga.
Kosasih memulai kisahnya dengan leluhur Pandawa, lima satria bersaudara yang menjadi tokoh utama Mahabharata. Kosasih menceritakan cikal-bakal Pandawa Lima dengan uraian yang terkategorikan verbalistis, dan gambar-gambar yang menarik. Bagaimana Bisma menyaksikan dan membesarkan Pandu dan Destarata. Kemudian bagaimana keturunan Pandu dan Destarata, yakni Pandawa bersaudara dan Kurawa, bertengkar melulu sejak remaja dilukiskan secara rinci dan lengkap. Dan kisah pertandingan panah yang memunculkan jagoan Aradea, yang belakangan dikenal sebagai Adipati Karma, saudara tiri Pandawa.
Kosasih, melalui gambar, membangkitkan emosi pembaca dengan menggunakan tragedi Pandawa, ketika persaudaraan yang membawa citra kebaikan ini terjebak permainan dadu denga Kurawa. Risiko kekalahan ini dramastis, penderitaan mereka selama 12 tahun di hutan sebagai pertaruhan. Inilah pangkal Perang Bharatayudha, saling bunuh antar saudara di arena Kurusetra.
Selain cerita utama Mahabharata, Kosasih juga menampilkan cabang cerita epik itu. Inilah rekayasa yang menandakan cirri gubahan Kosasih. Cabang cerita yang di kemukakannya memang relevan dengan cerita utamanya. Misalnya kisah Bambang Ekalaya, yang menceritakan pangkal kelemahan Arjuna dan kemunculan tokoh Srikandi yang berkaitan dengan masa lalu Bisma, dan dengan demikian menjelaskan takdir kematian Resi Bisma.
Cerita panjang keturunan Bharata serta kisah-kisah sampingannya bukan saja bahasanya yang sederhana, menarik, lancer, dan mudah dicerna, tapi juga – seperti yang dikatakan kritikus seni rupa Agus Dermawan T. – Kosasih berhasil membuktikan bahwa komik adalah “sastra dan gambar”. Artinya, “Kosasih tahu benar bagian dari falsafah wayang yang perlu diketengahkan,” Agus mengungkapkan. Menurut Agus, ada adegan-adegan yang mana sebungkah filsafat disajikan sebagai aksen, sehingga “di luar sadar, para pembaca komik dapat menyusuri falsafah kehidupan.”
Kosasih bersusah payah menggambarkan perbincangan Kresna dan Arjuna, yang mengandung pemikiran yang mahadalam. Dialog ini dikenal berasal dari Bhagavat Gita, yang aslinya terdiri dari 18 bab. Diskusi filosofis panjang antara Kresna dan Arjuna tentang hidup, mati, keserakahan manusia. Tentang kejahatan dan kebaikan memang sukar divisualisasikan. “Kedalam filsafat Bhagavat Gita lebih mungkin disampaikan melalui karya sastra,” kata Haryono Guritno. Haryono benar. Ingat juga bagaimana sukarnya Peter Brook menampilkan adegan itu dalam film panjangnya yang berjudul Mahabharata. Dan di dalam skenarionya yang sudah diterbitkan oleh Harper & Row, Publisher, adegan itu terpaksa diringkas menjadi hanya dua setengah halaman.
Dalam rangkaian gambar Kosasih, kita melihat Arjuna yang menunduk dengan wajah gundah berkata,” Busurku rasanya berat, kulitku seperti terbakar hangus, badanku menggigil, pikiranku kabur. Oh, Kanda Prabu, aku tak sanggup untuk melawan mereka hanya untuk memperebutkan segumpal tanah…..” Lalu, Kresna titisan Wisnu – yang diturunkan ke dunia untuk membuat keseimbangan – mulai berceramah tentang pentingnya peperangan. Perang besar, katanya memang sudah ditakdirkan dewa itu. “Pertempuran ini sesungguhnya hanya alat penghancur. Bertujuan menghilangkan kelapukan dan menggantinya dengan yang lebih baru….Tanpa persengketaan manusia tidak bergairah untuk hidup lebih maju….”
Kosasih menampilkan gambar api, hujan, angin yang mengembus pohon-pohon – untuk menunjukkan kekuasaan alam. “Kematian menjadi momok ketakutan bagi mereka yang tak mengenal atma (roh). Ada dan tiada sama saja bagi siapa yang sesungguhnya mengetahui sajatining kebenaran.
Petuah Kresna yang menampilkan filsafat Brahman Atman. Karena ini memang sangat disederhanakan melalui gambar-gambar. Justru dari kesederhanaan ini, anak-anak Indonesia jadi bisa mencerna aspek filsafat dalam Mahabharata walau dalam versi yang sederhana. “Setelah mengenal Bhagavat Gita dari Kosasih, anak saya kemudian mencari bacaan yang lebih mendalam tentang kisah-kisah Mahabharata. Saya belakangan membelikan sebuah teks Mahabharata dari Sri Lanka,” kata Marsilam.
Tapi tidak semua filsafat dan petuah moral sukar divisualisasikan seperti halnya Bhagavat Gita. Kisah Prabu Usinara yang dituturkan Bisma kepada Kurawa dan Pandawa adalah sebuah ajaran moral yang dapat divisualisasikan dengan indah dan menarik. Di sini, Kosasih menggunakan kalimat-kalimat pendek dan lebih mementingkan gambar. Ada “kejutan” secara visual ketika melihat burung merpati dan garuda istimewa itu ternyata penjelmaan Betara Bayu dan Betara Indra.
Yang menarik dari cerita wayang Kosasih adalah : ia secara sadar memilih versi India ketimbang versi Jawa. Di sini, kita tidak melihat Srikandi sebagai istri Arjuna, melainkan Srikandi sebagai seorang wanita yang berganti kelamin dengan raksasa Stuna. Belakangan, istri yang sebenarnya tidak masuk hitungan ini – dengan sukma Dewi Amba dalam raganya, bagian dari masa lalu Bisma – ditakdirkan merobohkan jagoan tua Hastina yang tidak terkalahkan, Resi Bisma Dewabrata. Kita juga tak akan melihat tokoh Antareja yang keluar masuk bumi, dan tak akan melihat punakawan Semar, Gareng, Petruk. “Karena memang punakawan adalah tambahan pujangga Jawa, “Kosasih mengungkapkan. “Sedangkan saya dan penerbit memang sudah sepakat untuk memakai cerita asli dari India berdasarkan terjemahan Mahabharata terbitan Balai Pustaka,: kata Kosasih.
Pemilihan Mahabharata versi India ini tentu saja menimbulkan kontroversi. “Wah, banyak yang heran kenapa Srikandi bukan istri Arjuna,” kata Kosasih. Tapi dia menjelaskan dengan sabar kepada siapa pun yang bertanya. Tapi, dibalik kesabaran itu, ia punya keyakinan. “Menggunakan cerita versi India itu adalah hak saya,” katanya.
“Sebenarnya, pemilihan versi India atau carangan Jawa tak perlu dipersoalkan. Yang penting, dia berhasil memperkenalkan kisah Mahabharata dan Ramayana kepada masyarakat,” kata eks Menteri Penerangan Budiardjo, yang dikenal aktif dalam berbagai paguyuban wayaang. Penari dan koreografer terkemuka Sardono W. Kusumo malah melihat factor ini sebagai kekuatan.”Setelah saya menyaksikan film Mahabharata versi Peter Brook, saya baru menyadari bahwa sesungguhnya versi India memang mempunyai struktur lebih kuat, gamblang, dan universal. Kerangkanya lebih mantap,” kata penari yang pernah ikut Festival Ramayana di India pada tahun 1991.
Menurut Sardono, Mahabhrata versi Jawa punya banyak idiom local yang tidak sulit dipahami masyarakat yang akrab dengan tradisi Jawa. “Justru karena Kosasih tidak menggambarkan Mahabharata dengan bau lokal, ia dapat diterima masyarakat secar luas di Indonesia. Menurut saya, pemilihan cerita asli India membuat komik wayang Kosasih menjadi tidak berbau suku, Jawa atau Bali misalnya. Katakanlah, komik itu menjadi berciri Indonesiaa,” tutur Sardono, yang mengaku sebagai pengagum fanatik Kosasih.
Tapi harus diakui bahwa Kosasih tak bias selalu konsisten dengan pilihannya itu. Meski ia memilih untuk bercerita sesuai dengan kisah aslinya di India, ada juga bagian yang ia adaptasi. Misalnya, Drupadi yang seharusnya adalah istri lima Pandawa bersaudara – seperti juga yang digambarkan Peter Brook dalam filmnya – hanya gambarkan sebagai istri Yudhistira. “Keadaan di Indonesia membatasi saya. Tidak mungkin saya menggambarkan Drupadi bersuami lima orang,” kata Kosasih.
Dan ingat, meski Kosasih memilih cerita Mahabharata asli India, ia memvisualisasikan dengan kostum wayang golek Sunda. Dan itu diakui Kosasih yang memang lahir dan besar di Bogor dan rajin menonton wayang golek (baca profil Kosasih). “Menurut saya, pilihan ini berorientasi pada pilihan pada pilihan artistic visual karena, dalam kostum Sunda. Kosasih bisa menghadirkan pernik-pernik dan aneka ornament, yang jika digambarkan kelihatan estetis dan atraktif,” kata Agus Dermawan. “Ini bermanfaat untuk pengisian bidang-bidang gambar dan memadatkan panil-panil komik hingga akhirnya mereka semua hadir seperti wayang kong.”
Yang menarik, kata Agus, ketika Pandawa Lima mendaki puncak Mahameru untuk Seda, serta-merta mereka lukiskan mengenakan sampur jubah ala India. “Nampaknya, Kosasih memandang bahwa alam baka lebih cocok diimbuhi busana yang bersifat kependetaan,” ujar Agus lagi.
Ada aspek lain yang diperhatikan Kosasih untuk menyesuaikan diri denga kultur Indonesia. Ia cenderung memperhalus adegan-adegan seksual – naskah asli Mahabharata mengandung ekspresi sensual. Misalnya ia menyensor peristiwa Arjuna yang berahi menghadapi Anggraeni, istri bambang Ekalaya. Setelah Arjuna menolong Anggraeni dari kejaran raksasa hutan, ia hanya menggambarkan putra penengah Pandawa yang sakti Mandraguna itu berlari-lari mengejar Anggraeni di atas tebing. Menurut Kosasih, ini sengaja dilakukan karena ia menyadari bahwa sebagian besar pembaca komik adalah anak-anak, “Jadi, saya tak mau menggambarkan adegan-adegan demikian dengan gamblang.”
Kosasih juga punya kekuatan membangun karakterisasi tokoh-tokohnya dengan cara unik. Siapa saja yang pernah menjadi pembaca setia komiknya pasti akan ingat kebiasaan tokoh-tokoh yang digambarkan Kosasih. “Memang penggambaran karakternya kuat,” kata Umar Kayam, mengangguk setuju. “Buktinya, sampai sekarang, saya masih ingat kalau dewa-dewa ciptaan Kosasih selalu bilang: “Sampurasun, cucu-cucuku……” Sambil terkekeh-kekeh, Marsilam Simanjuntak mengatakan, “Banyak sekali adegan yang digambar Kosasih tertera jelas di mata saya. Saya selalu ingat Bima mengatakan Joooj….”
Bukan hanya kebiasaan tokoh-tokoh itu yang membuat pembaca Kosasih menyukai karyanya, tapi juga cara Kosasih menyampaikan sisi kemanusiaan setiap tokohnya. Kita tahu sejak semula bahwa Pandawa yang membawa citra baik pasti akan menang, sedangkan Kurawa simbol kejahatan, belakangan akan kalah. Tapi, di dalam Mahabharata, kita juga tahu ada Yudhistira yang gemar bermain judi sehingga semua saudara-saudaranya ikut terperangkap dalam kebodohannya. Ada Kresna yang rela berbuat licik demi memenangkan Pandawa. Tentu saja ada Arjuna yang gemar wanita, hingga hampir memaksa istri orang untuk bercinta dengannya.
Semua itu digambarkan melalui adegan-adegan dramatis dan menggiris hati hingga, mau tak mau tak mudah dilupakan pembacanya. Misalnya, adegan permainan dadu yang memperlihatkan betapapun baik dan terhormatnya keluarga Pandawa, mereka adalah manusia-manusia yang juga punya nafsu. Atau adegan Arjuna dan Anggraeni yang terkenal itu.
Menurut Sita Kayam, penuturan KOsasih tentang Anggraeni adalah bagian Mahabharata yang mengesankan. “Saya kagum karena Kosasih berhasil memperlihatkan kesetiaan dan keperkesaan Anggraeni, hanya melalui gambar-gambar sederhana. Begitu kagumnya saya dengan tokoh Anggraeni, ketika adik saya lahir pada 7 Mei 1968, sayalah yang memberikan nama Wulan Anggraeni, “kata Koordinator Program Pusat Studi dan Informasi Perempuan Kalyanamitra ini
“Adegan istimewa yang selalu saya ingat adalah pertarungan Gatotkaca dengan Karna dalam Bhratayudha,” kata G.M Sudarta. “Kosasihlah yang pertama kali menimbulkan fantasi pada saya, ketika anak-anak, tentang kesaktian Gatotkaca. Lha kalau nonton Ngesti Pandowo kan Gatotkacanya ndak mungkin terbang seperti Superman, sementara di dalam komik Kosasih, saya begitu kagum melihat Gatotkaca bias melayang-layang tanpa sayap.” Dan karena kekagumannya pada komik Kosasih itulah Sudarta kecil mulai meniru-niru gambar komik wayang maupun komik Flash Gordon.
Dewasa ini, menurut Agus Dermawan, komik wayang Mahabharata dan Ramayana sudah dilukis kembali oleh Teguh Santoso dan Jan Mintaraga. “Sebetulnya, secara artistik, Teguh bisadianggap lebih bagus daripada Kosasih,” kata Agus. “Namun, ia kurang diakui sebagai pelukis komik wayang ketimbang Kosasih.”
Mungkin, ukuran keindahan sebuah komik tidak terletak hanya pada keterampilan menggambar. Idiom komik melibatkan pembuat skenario, alur cerita, sekuen, pemilihan cerita, dan seperti dalam seni, menangkap perkembangan dalam masyarakat. Gambar Kosasih, apa pun coraknya, telah terbukti mengikat sejumlah besar pembacanya dari berbagai generasi. Segala aspek pada karyanya ini melekat pada para pembaca dan tidak mudah dilupakan begitu saja. Maka karya Kosasih tidak bisa ditinjau hanya dari aspek gambar. “Kosasih bukan hanya pelopor dalam memperkenalkan wayang kepada masyarakat di Indonesia, ia juga pelopor dalam percaturan seni komik Indonesia,” Budiarjo menegaskan.
Sumber : Tulisan Leila S. Chudori di Majalah Tempo No. 43 Tahun XXI – 21 Desember 1991
2 komentar:
Permisi, numpang komen dan bertanya...
Saya termasuk generasi yang tumbuh dengan komik2 jepang, hingga akhirnya ketika kuliah, saya 'dipaksa' dosen untuk mengenal komik Indonesia, mulai dari yang klasik karya Pak Kosasih. Dan entah bagaimana, saya langsung jatuh cinta pada Ramayana dan Mahabarata. Apa benar beliau masih berkarya? Adakah karyanya yang baru-baru ini?
Terima kasih banyak telah menulis blog mengenai beliau. Sekarang saya sedang studi mengenai komik era lama ^^
al fatehah untuk beliau...
Posting Komentar