Sudut pandang,
Viewpoint, atau Point of View (POV), secara sederhana, adalah bagaimana penulis
menempatkan dirinya dalam cerita, dan bagaimana ia menyampaikan cerita kepada
pembaca. POV ditentukan saat mulai menulis. Digunakan konsisten dari awal
hingga akhir cerita. Jadi tidak berubah-ubah sesukanya antaradegan. Ada
beberapa pilihan POV:
1.
POV orang pertama (aku): penulis menjadi si aku dalam cerita, mengikuti pikiran dan aksi
si aku. Penulis tidak bisa
menggambarkan apa yang tidak dilihat si aku, tidak bisa mengetahui perasaan yang tidak dirasakan si aku. POV
ini dianggap paling mudah, terutama
bagi penulis pemula, karena seperti menulis diari saja. Hati-hati: Apa pun yang
diketahui si aku tidak bisa dirahasiakan
dari pembaca. Karena pembaca menjadi si aku.
Contoh:
Aku berlari mendaki
bukit secepat mungkin. Aku harus meloloskan diri! Jantungku berdegup kencang dan otot-otot kakiku mengejang.
Sampai di puncak bukit, aku menoleh. Oh, tidak! Monster itu masih mengikutiku.
Kudengar ia menggerung keras. Rasanya tak mungkin aku bisa lepas darinya. Jelas
sekali ia marah karena tiga matanya terkena pasir lemparanku.
2.
POV orang kedua (kau):
sangat jarang digunakan. Penulis seperti mengamati tindak tanduk si tokoh (kau) melalui teropong,
lalu menceritakan apa yang dilihatnya
kepada si kau juga.
Contoh:
Kau berlari mendaki
bukit secepat mungkin. Kau harus meloloskan diri! Kaurasakan jantungmu
berdegup kencang dan otot-otot kakimu
mengejang. Sampai di puncak bukit, kau menoleh. Oh, tidak! Monster itu masih
mengikutimu. Ia menggerung keras. Tak mungkin kau bisa lepas darinya. Jelas
sekali monster itu marah karena tiga matanya terkena pasir lemparanmu.
3.
POV orang ketiga (dia/ia), subjektif, konsisten di satu tokoh sepanjang cerita. Batasannya hampir sama dengan si
aku. Bedanya penulis masuk ke dalam
kepala satu tokoh saja, si dia/ia, dan mengikutinya dengan konsisten. Hal-hal di luar pengatahuan si dia, tidak bisa
digambarkan, seperti pikiran dan perasaan
tokoh-tokoh lain. Dengan POV orang ketiga subjektif ini, karakter dan
karakterisasi satu tokoh utama bisa
dieksplorasi lebih dalam dan diperkuat. Hati-hati: Tidak mudah konsisten pada
satu tokoh. Sering tanpa sadar
penulis berpindah memasuki kepala tokoh lain. Diperlukan latihan dan
pengalaman untuk menyadari perpindahan ini dan kembali ke jalurnya.
Contoh:
Beno berlari mendaki
bukit secepat mungkin. Ia harus meloloskan diri! Jantungnya berdegup kencang
dan otot-otot kakinya mengejang. Sampai di puncak bukit, Beno menoleh. Oh,
tidak! Monster itu masih mengikutinya. Beno mendengarnya menggerung keras. Tak
mungkin ia bisa lepas dari makhluk itu, pikirnya. Jelas sekali monster itu
marah karena tiga matanya terkena pasir. Beno tersenyum getir. Cuma pasir yang
dimilikinya untuk melawan makhluk itu. Ke mana Ilya saat ia butuhkan?
4. POV
orang ketiga (dia/ia), subjektif, lebih dari satu tokoh.
Penulis mengikuti dua atau tiga
tokoh penting secara bergantian. Misalnya, ada tiga sahabat--Beno, Ilya, dan Denisa.
Penulis memakai POV Beno di bab 1,
Ilya di bab 2, dan Denisa di bab 3, dst. Berpindah-pindah pada segmen yang jelas. Eksplorasi tiga karakter utama pun jadi lebih kuat.
Hati-hati: Tokoh minor sebaiknya tidak diberi jatah POV, karena hanya akan merampas ruang untuk
karakterisasi tokoh utama. Biasanya POV
seperti ini diterapkan pada novel. Jarang pada cerpen. Dalam cerpen,
tokoh dan adegan terbatas, ruang
gerak terbatas, lebih baik didedikasikan
semaksimal mungkin untuk tokoh utama.
Contoh
(bab 1) Beno berlari
mendaki bukit secepat mungkin. Ia harus meloloskan diri! Jantungnya berdegup
kencang dan otot-otot kakinya mengejang. Sampai di puncak bukit, Beno menoleh.
Oh, tidak! Monster itu masih mengikutinya. Beno mendengarnya menggerung keras.
Tak mungkin ia bisa lepas dari makhluk itu, pikirnya. Jelas sekali monster itu
marah karena tiga matanya terkena pasir. Beno tersenyum getir. Cuma pasir yang
dimilikinya untuk melawan makhluk itu. Ke mana Ilya saat dibutuhkan? (dst
mengikuti pemikiran Beno)
(bab 2) Ini desa mati.
Ilya bisa merasakannya di udara. Keheningan yang aneh. Terlalu hening. Angin
tak berembus. Air di palungan tak beriak sedikitpun. Ada genta angin dari kulit
kerang tergantung di atap pondok terdekat. Rasanya Ilya mau memberikan semua
uang di kantongnya sekarang untuk melihat genta itu berayun dan berbunyi. Ilya
mengembuskan napas yang tanpa sadar ia tahan. Satu-satunya bunyi kehidupan.
Lalu ia melangkah. Pasir berkeresek di bawah sandalnya. Satu lagi bunyi yang
membuat keheningan semakin terasa. Aaah, di mana Beno saat ia membutuhkan anak
itu! (dst mengikuti pengalaman Ilya)
5. POV
penulis segala tahu, playing God, omniscient. Penulis mengetahui semua kejadian, perasaan dan pemikiran
semua tokoh, di semua tempat dan
waktu. Sering dianggap paling mudah karena penulis jadi seperti dalang,
hanya menceritakan kejadian di
sana-sini. Padahal omniscient berarti juga mengetahui pemikiran dan perasaan semua tokoh. Artinya,
penulis harus pandai bermanuver
ketika menceritakan interaksi dua tokoh yang saling berkonflik. Bagaimana emosi dan pemikiran dua
tokoh ini ketika mereka berdialog, misalnya. Tanpa kepiawaian ini,
karakterisasi tokoh-tokohnya kurang
tergali, eksplorasi emosi tidak mendalam, dan akhirnya seperti menggunakan POV orang ketiga
objektif.
Contoh:
Beno berlari mendaki
bukit secepat mungkin. Ia harus meloloskan diri! Jantungnya berdegup kencang dan otot-otot kakinya mengejang. Sampai
di puncak bukit, ia menoleh. Oh, tidak! Monster itu masih mengikutinya. Tak
mungkin ia bisa lepas dari makhluk itu, pikirnya.
Di belakang Beno, Gora
menggerung keras. Langkahnya dipercepat. Sebentar lagi ia bisa menyusul anak
itu. Keterlaluan sekali kalau makhluk sekecil itu bisa lolos darinya. Si
Perkasa Gora dari Lembah Hitam tak
pernah gagal menangkap buruannya. Apalagi buruan yang telah mempermalukannya di
depan sang Raja. Ketiga mata Gora masih terasa pedih akibat pasir yang
dilemparkan anak itu.
Sementara itu, di
jendela menara, Denisa menurunkan teropongnya. Ia tak sanggup menyaksikan. Beno
mungkin pandai berdebat, tapi terbukti caranya tak berhasil. Denisa yang harus
bertindak sekarang. Beno dan Ilya harus mengakui, dialah yang benar.
Denisa berpaling kepada
Raja Lembah Hitam. “Panggil Gora pulang. Lepaskan Beno,” bisiknya lemah.
"Kami akan membantumu."
Mendengar itu, Sang
Raja tergelak. Mata majemuknya seolah berteriak serempak, "Apa
kataku!" Lalu ia menjentikkan jari. Isyarat yang akan didengar jelas oleh
Gora. (dst.)
6.
POV orang ketiga objektif.
Penulis hanya narator yang menceritakan peristiwa, tanpa menggambarkan perasaan atau
pemikiran tokoh-tokohnya. Karakterisasi
tidak dipentingkan. Tetapi ceritalah yang dibuat menarik sehingga
pembaca ingat pada tokoh-tokohnya.
Contohnya adalah dongeng-dongeng tradisional dengan tokoh hitam-putih. Sudah
ditentukan oleh penulis dari awal, siapa
yang baik siapa yang jahat melalui deskripsi singkat, bukan melalui perkembangan dramatis.
7. POV
campuran. Lazimnya, novel menggunakan sudut
pandang tunggal, orang kesatu atau
ketiga. Tapi banyak penulis (terutama sastra), menggunakan campuran keduanya. Untuk satu tokoh, penulis
konsisten menggunakan aku. Lalu untuk
kejadian-kejadian yang si aku tidak hadir di sana, atau untuk memberikan
sudut pandang berbeda, penulis menggunakan POV orang ketiga omniscient atau terbatas.
James Patterson sering menggunakan
POV campuran ini dalam novel-novelnya, antara lain serial Maximum Ride.
Semoga terasa bedanya
ya. Silakan bereksperimen.
Seperti aku
bereksperimen dengan contoh-contoh di atas, yang sebagian aku karang dadakan.
Bukan diambil dari novelku yang sudah terbit.
Salam kreatif
Ary
Nilandari
Tidak ada komentar:
Posting Komentar