Salah satu legenda yang termahsyur, adalah : Jaka Tarub dan Tujuh Bidadari di Jawa Timur. Legenda itu ditandai dengan adanya kolam permandian yang kini menjadi salahsatu objek wisata di Kabupaten Tuban. Alur cerita rakyat tersebut mengingatkanku pada "Cenrana Maddara Tau", sebuah legenda Tanah Bugis yang membuahkan kepercayaan pada kalangan masyarakat Bugis hingga hari ini.
Tersebutlah sejenis kayu yang banyak tumbuh di kawasan Indonesia bagian Timur, yakni : Kayu Cendana (Sandal Wood). Getahnya berwarna merah dan aromanya menabarkan keharuman yang khas. Kayunya yang kuat dan berserat halus nan indah itu dipergunakan sebagai bahan perkakas yang dimuliakan, misalnya : Sarung Badik atau keris, dinding "jajareng" pada rumah kaum Bangsawan dan sebagai salahsatu unsur ramuan kayu yang ditempatkan pada wuwungan Saoraja (Istana). Adalah hal yang sangat terlarang (pEmmali) jika mempergunakan kayu cendana sebagai lantai pada rumah panggung atau dipan (ranjang). Perlakuan khusus ini berawal pada sebuah alur kisah dalam Legenda CEnrana Maddara Tau.
Legenda ini adalah sebuah kisah sedih yang kerapkali mengantar tidur lelapku. Tatkala kuberbaring diatas ranjang besi dimalam hari. Nampak dari dalam kelambu renda, samar-samar cahaya lentera minyak tanah yang temaram menerangi ayahandaku yang berkisah. Suaranya bergema di hatiku hingga kini...
Penghuni Lembah
Alkisah di Negeri Tompotikka, seorang pemuda tinggal menetap pada sebuah lembah. Namanya La Sangpuraga. Tidak ada yang tahu dari mana asalnya dan mengapa ia tinggal menyendiri pada tempat sunyi itu. Setiap pagi hari ia senantiasa duduk berdiam diri diatas sebongkah batu besar yang terletak di pinggir telaga depan rumahnya. Tiada lain yang dilakukannya selain merenungi rerimbun bunga melati yang tumbuh liar di pinggir telaga itu. Lalu senja hari telah tiba, pemuda berparas tampan namun berwajah murung itu melangkah gontai menuju kembali ke rumahnya... Burung-burungpun kembali ke sarangnya, dikala permukaan telaga kini bermandikan sinar lembayung senja, pertanda matahari beranjak ke peraduan malamnya.
Sang Rembulan telah menampakkan diri seraya berkaca tanpa kata dipermukaan telaga yang tenang. Sampuraga menatap sendu pada sang dewi malam itu. Ooh, Sang Dewi.. Kau hanya menjenguk telaga cermin dirimu, bukan mengunjungi diriku.., keluhnya pedih. Perlahan ia meniup sebatang suling bambu yang digenggamnya sejak tadi. Bukan mulutnya yang meniup, melainkan hatinya. Bukan pula irama sulingnya yang berlagu, melainkan nuraninya. Alunan getar rasa gundah itu mengalun lambat memenuhi seantero lembah sunyi itu. Perasaannya yang gundah gulana menggetar lembut hingga membubung tinggi, mengusik Sang Rembulan yang sedang merenungi wajahnya yang pucat... Bunyi tiupan itu terasa mendayu-dayu, memetik dawai sukmanya yang dingin membeku selama ini. Duhai, Irama suling. Siapa gerangan peniupmu ?, bisiknya bersimbah air mata yang berjatuhan menimpa rerimbunan melati yang menebar keharumannya.
Sinar sang rembulan perlahan meredup. Irama suling yang mendayu-dayu merintih menyedot segenap sukmanya. Malam purnama penuh mulai gelap. Burung-burung malam dan serangga mulai ribut, menjerit tak beraturan. Penduduk yang menghuni perkampungan dibalik lereng lembah mulai khawatir.Rembulan adalah sumber kehidupan yang menjaga keseimbangan alam dikala matahari sedang tertidur. Serentak mereka mengambil alu seraya menumbuk-numbukkannya pada lesung kayu yang mereka miliki. Bunyi alu itu bertalu-talu hingga lama kelamaan membentuk irama tersendiri. Nada yang terhimpun oleh orang sekampung itu menghentak, menggugah sang rembulan yang terhanyut digulung alunan seruling Sampuraga. "Narippungni paimeng bannapatinna, napaddepungengngi lE' sumange'na..", ditangkapnyalah kembali jiwanya, seraya menghimpun kembali semangat hidupnya.. Cahayanya mulai bersinar kembali, lembut menyapu alam raya yang mulai terlelap dalam mimpi tidur malamnya.
La Sangpuraga menghentikan tiupan serulingnya. Iapun tergugah oleh bunyi tumbukan lesung dari lereng gunung seberang lembah. Pemuda itu merebahkan diri pelataran batu datar yang didudukinya. Matanya menatap jauh keatas langit malam, seakan mencoba menembus rerimbunan bintang-bintang berkelip. Angannya melayang jauh membubung tinggi hingga tersangkut entah dikhayangan lapis berapa.. Matanya terpejam seraya beranjak memasuki gerbang mimpinya. Sangpuraga tertidur memenuhi fitrah raganya, meringkuk seraya memeluk seruling kesayangannya...
Pertemuan...
Matahari telah meninggi hingga diatas wuwungan rumah tunggal di pinggir telaga itu. Air mata sang rembulan yang bertebaran dipucuk dedaunan kini menguap entah kemana.. Sang kekasih siang takkan membiarkan deraian air mata dewi pujaannya terjatuh ditelan bumi. Burung-burung terbang berkejaran dengan riangnya. La Sangpuraga tergolek diam dalam tidurnya diatas batu yang tergolek dibawah sebatang pohon yang rindang. Wajahnya yang tampan nampak tenang bagai bayi terlelap dalam buaiannya. Kerut diantara kedua alisnya seakan menguap bersama embun pagi. Garis-garis wajah yang kerap dihimpit derita itu seakan sirna membaur dalam mimpi indahnya. Mimpi apakah gerangan ?.. Bibirnya menyunggingkan seulas senyum tipis, menandai betapa rupawannya pemuda ini. Tiba-tiba ia tersentak, terbangun dari tidurnya. Aroma mimpi indah telah raib, tersentuh alam nyata. Kerut wajahnya timbul kembali, seakan ikut terbangun dari mimpi tentramnya.
Bunyi kecipak air telaga ditingkahi suara cekikikan wanita, menggugah tidurnya. Nun jauh diseberang telaga yang menyerupai danau kecil itu, beberapa wanita sedang mandi sambil bermain air. La Sampuraga beranjak dari tempatnya, mengendap-endap dibalik rerimbunan melati mendekati mereka. Tak tergambarkan bagaimana indahnya panorama yang terhampar dihadapannya. Tujuh gadis yang luar biasa jelitanya sedang berenang hilir mudik sambil bercanda riuh rendah dengan riangnya. Mereka sama muda dan sama moleknya. Kecantikan yang sempurna, mustahil dimiliki oleh seorang manusia. Tidak jauh dari tempat itu, seberkas cahaya tujuh warna sedang mendarat dihamparan bebatuan dimana tergeletak pula beberapa carik kain selendang berwarna warni. "Agaknya mereka ini adalah bidadari dari Boting Langi..", pikir La Sampuraga. Tanpa menerbitkan suara, ia mengendap mendekati seraya meraih secarik selendang berwarna putih, kain terdekat yang dapat disodok dengan menggunakan bilah serulingnya. Dengan amat hati-hati, digulungnya selendang tipis itu lalu diselipkan dibalik lipatan sarungnya seraya bergegas menuju kembali ke rumahnya. Disimpannya selendang itu di loteng rumahnya yang tinggi, pada tempat tersembunyi yang hanya ia sendiri mampu membukanya.
Air murni yang memancar langsung dari pertiwi adalah hal yang paling disukai para dewi dari khayangan. Mereka mandi sambil bercengkrama sepuas-puasnya di telaga lembah itu. Tak terasa, waktu semakin merambat cepat. Matahari semakin meninggi, menebarkan sinarnya yang kian memanas. "Adinda semua, matahari mulai terik. Sinar pelangi mulai memudar. Marilah kita naik segera..". seru salah seorang yang rupanya paling tertua diantara mereka. Maka adik-adiknya menuruti dan bersegera kepinggir telaga seraya memasang "Larikkodo", selendang kedewiannya masing-masing. Namun, salah seorang bidadari itu tidak menemukan selendangnya. Saudarinya yang lain ikut mencari kesana kemari, namun tidak menemukannya jua. " Agaknya tempat ini baru saja didatangi manusia. Baunya masih tercium sampai disini.. ", Kata salahsatu bidadari yang dibenarkan yang lainnya. "Pasti orang itu yang mengambil selendangmu, dinda.", kata sang kakak cemas. Tak terbendung lagi, pecahlah tangis sang dewi yang kehilangan larikkodonya. Rasa panik akan ketakutannya akan ditinggal di tempat asing itu menimbulkan kengerian yang tak terbayangkan. "Lalu bagaimana dengan nasibku kini ?", tanyanya disela isak tangisnya.
Saudari-saudarinya tidak dapat berkata dan berbuat lain lagi. "Bersabarlah, adikku. Mungkin ini sudah ketentuan Dewata SEuwwaE (Dewata yang Tunggal) yang menakdirkanmu untuk menjadi tunas baru di Attawareng (dunia) ini..", kata Sang Dewi yang tertua. Akhirnya mereka bergantian memeluk saudarinya yang malang itu, lalu melayang naik ke angkasa mengikuti alur lengkungan pelangi yang mulai memudar..
Tinggallah sang bidadari berdiri lunglai dengan kesedihan tak terperi. Dibalik genangan air matanya yang bening, ia memandangi saudara-saudaranya yang terbang melayang hingga bayangannya hilang dari pandangan. "Oh, Dewata SeuwwaE. Akkalarapangeng aga tongengsa kasi'na mupalEtEiyangngi atammu.. Agana gau'ku..?" (Oh, Dewata yang Tunggal. Cobaan apa gerangan yang Engkau timpakan pada hambamu ini..Apalah lagi dayaku kini ?), rintihnya memelas. Sepasang mata dari balik rerimbunan melati menyaksikan peristiwa itu dengan suasana hati tak menentu. Sampuraga telah berada di tempat sejak tadi. Rasa bersalah dan iba bercampur dengan takjub kini mengaduk-aduk hatinya.Dengan hati-hati ia keluar dari persembunyiannya, seraya mendekati Sang Dewi.
"Duhai, Sang Dewi. Apa gerangan yang membuatmu berduka ?", tanyanya dengan lembut. Sang Dewi mengangkat wajahnya seraya memandang Sampuraga dengan matanya yang bersinar teduh bak purnama. Pemuda yang dihimpit sepi itu terpana. "Sungguh, ini bukanlah sepasang mata.. melainkan sepasang bulan khayangan..", batinnya. "Aja'na takkutana, pau bawangni.. Aga sitongenna pattujungta ?" (Usahlah ditanya, katakan saja.. Apa gerangan yang kau inginkan ?), kata Sang Dewi balik bertanya. Entah dengan ramuan kosa kata yang bagaimana lagi kiranya dapat menggambarkan perasaan Sampuraga ketika itu. Seorang jejaka "canggung" yang sedang jatuh hati pada pandangan pertama.., lalu "ditodong" dengan pertanyaan tanpa basa-basi.
Dipanggilnya segenap daya hidup dalam dirinya. Sampuraga menjawab dengan suara gemetar, seakan bukan bibirnya yang berucap, melainkan sukma jiwanya yang berkata, "Iyya tongeng minasaE, upangolo ri cappa ajEta lettu' ri cappa' gemme'ta. Uporennu pasitonrai melle' temmaggangkaaku lao ridi', nasimata marEllau assimang lao ri sEsE alebbirengta.." (Maksudku yang sesungguhnya, kuhadapkan di ujung kaki hingga di ujung rambutmu, tiada lain harapan kasihku yang tiada terhingga kepadamu, seraya kumohonkan maaf terhadap kemuliaan dirimu..). Ia mengutarakan hasratnya dengan penuh kerendahan hati. "Iya sia minasakku, mattonra jari tokki, lEtE ri Manipi"(Adalah yang menjadi harapanku, berpegangan tangan denganmu, hingga ajal menjemput..)..
Inilah keajaiban bahasa !. Amarah yang meluap, padam seketika oleh tutur kata yang lembut nan halus. Seni sastra yang terkandung dalam setiap bahasa, mampu membuka pintu hati bagi setiap nurani. Namun yang lebih ajaib lagi adalah : Cinta. Sebuah rasa yang mengalir lembut pada sungai ketulusan. Namun arus derasnya mampu menghanyutkan setiap mahluk yang memiliki hati, bahkan seorang dewi khayangan sekalipun. Tetapi yang lebih berkuasa diatasnya, adalah : Jodoh. Sebuah ketentuan yang digariskan oleh Yang Maha Kuasa terhadap mahluk-mahlukNya. "Tellu tenre' lEsangenna, Totoo'E na WErEwE, enrengngE Pura makkuwaE.." (Tiga hal yang tak dapat dielakkan : jodoh, rezeki dan nasib).
Cinta pada pandangan pertama, itulah yang terjadi pada kedua mahluk yang berasal dari alam berbeda itu. Jodoh adalah aturan yang tak terbantahkan. "Mauni luttu massuwajang, riwrinna bittaraE, nasilolongeng mua.." (Walau terbang jauh ke angkasa, hingga di tepian langit sekalipun, akan saling mendapatkan jua..). Segalanya tumbuh bersemi seketika itu juga. Sang Dewi menyambut kasih anak manusia itu dengan kekaguman hati yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Rasa yang aneh, sesuatu yang medebarkan jantung dan semangat hidupnya yang sebelumnya dihimpit cemas dan kekhawatiran. Kini ia merasa tentram dan damai didekat pemuda itu. Lupalah dengan rasa sedihnya, sirna tak berbekas.. "Iya engkamu manguju, Matteta' waju mua, temmatimumpaju.." (Dikala dikau mengutarakan cintamu, Jiwaku terasa segar bugar...), sambutnya dengan suara rendah, hampir tak terdengar. Kemudian disambungnya lagi, "Jorii allempuno mai, mulise' Saoraja, muparEwa panrE.." (Duhai garis menujulah kemari, mulia bagai penghuni istana, kearifan para orang bijak ...). Maksudnya tiada lain : kuterima pinanganmu, karena dikau berbudi luhur nan mulia serta arif lagi bijaksana...).
"NaEkia engka parEllaukku lao ridi', Daeng. IyyEtona sompata lao ri alEku.." (Namun adinda memiliki satu permintaan padamu, kanda. Ini pulalah yang menjadi maharmu terhadapku..", ujar Sang Dewi. "Tapauni,ndi'. Aga parEllautta ?. Nasaba' iyaro mai melle'ku, tebbuluu tettanEtE, lappaa maneng muwa.." (Katakanlah, dinda. Apa gerangan permintaannmu ?. Karena kasih mesraku padamu, bukanlah gunung dan perbukitan, melainkan dataran yang lapang jua..), sahut La Sangpuraga dengan hati yang berbunga-bunga, menebarkan keharuman yang lebih semerbak dari seluruh kembang melati yang tumbuh di Lembah itu. "Naiyya uwEllau ridi', DaEng, aja' lalo tateppui asengku.Namoo sisengmuwa. Nasaba' akko tateppui, tatteppanitu taro assarangengta.. iyamiro bawang."(Adapun permintaanku, kanda.. Jangan pernah menyebut namaku. Walaupun cuma sekali. Karena apabila kanda menyebutnya, maka jatuhlah takdir perpisahan kita. Hanya itu..).
Alangkah leganya hati La Sangpuraga. Dikiranya permintaan Sang Dewi adalah sesuatu yang mustahil, misalnya mengeringkan telaga didepannya. Tanpa berpikir panjang dia menyanggupi permintaan itu. Namun dia bertanya jua,"Niga mEmeng palE aseng malebbita, ndi' ?. Tapauwangnga' EbarE' uwissengngi nadE urampEi" (Lalu siapakah namamu yang sebenarnya, adinda ?. Sebutkanlah agar kanda mengetahuinya untuk tidak menyebutnya..). Sang Dewi menunjuk pada rumpun bunga melati yang bermekaran, "Naiyya asengku, pada balona iyaaro unganna bunga-bungaEdE.." (Namaku adalah warna yang sama dengan warna kembang itu..), jawabnya.
Pada Akhirnya ...
Kedua inzan itu akhirnya dinikahkan oleh takdirnya. Mereka tinggal menetap di tempat sunyi itu dengan saling berbagi kasih. La Sangpuraga kini bukan lagi seorang pemuda yang pemurung dan penyendiri. Hari-harinya kini terasa bermakna. Tiada lain yang dipikirkannya selain membahagiakan isterinya tercinta. Begitu pula dengan Sang Dewi, ia menerima limpahan kasih suaminya dengan hati yang senantiasa memekarkan bunga tak bermusim. Mappammulani siampalu', Sitakka wiring lipa', Sisompung wEluwa' (Hatinya telah tertaut saling membelit bagai jalinan, menjelma dalam cinta kasih yang teramat dalam, bagai rambut yang saling menyambung..).
Saat demi saat, berkumpul dalam himpunan waktu.. Waktupun merambat hingga menamakan diri sebagai suatu masa. Pasangan yang berbahgia itu kini dikarunia seorang anak perempuan yang amat manis. Mereka menamai puteri buah hatinya itu, We Dalauleng. Pada suatu hari, La Sangpuraga sedang meraut rotan di depan rumahnya. Puterinya sedang asyik bermain-main didekatnya. Sementara itu, isterinya sedang mencuci pakaian di pinggir telaga, tidak jauh dari tempat itu. Tiba-tiba We Padauleng menjerit seraya menangis sambil memegangi jari tangannya. Ia teriris belahan rotan yang telah diraut ayahnya. La Sampuraga terkejut dan segera menggendong puterinya. Namun alangkah terkejutnya lelaki itu ketika melihat darah yang mengucur dari luka di jari puterinya berwarna putih seperti getah pohon Ara !. "Mabussa daraana !" (Darahnya berwarna berwarna putih !), teriaknya tanpa sadar. "Bussa"sesungguhnya adalah kosa kata Bahasa Bugis kuno yang kini berganti menjadi "PutE", berarti : Putih.
Mendengar teriakan La Sangpuraga, Sang Dewi meninggalkan cuciannya lalu merengut dan mendekap puterinya dengan air mata bercucuran. Ia menciumi We Dalauleng sambil menangis terisak-isak dengan hati hancur, dilanda sedih yang teramat mendalam. La Sangpuraga menyaksikan itu dengan terheran-heran. Belumlah usai terkejutnya melihat darah puterinya yang berwarna putih, kini isterinyapun bertingkah aneh. "Apa gerangan yang terjadi, Adinda ?", tanyanya cemas. "Kanda Sangpuraga yang tercinta. Mungkin tanpa kau sadari, kau baru saja menyebut namaku yang berarti tibalah masanya takdir memisahkan kita..", jawabnya sambil menangis. Bagai petir yang menyambar di telinganya, seperti itulah yang dirasakan La Sangpuraga ketika itu.. Ia terdiam bagai patung dan menerima puterinya yang diangsurkan isterinya yang bergegas naik ke rumah. Pandangan matanya kosong, bagai kehilangan kesadarannya.
Entah apa yang dicarinya diatas rumah, namun agknya tidak didapatinya jua. Sang Dewi berlari menuruni tangga dengan air mata yang menggenang pada wajahnya yang jelita. Tiba-tiba Sangkuraga teringat sesuatu serta mendapatkan kesadarannya kembali. "Percuma kau cari selendang itu, Adinda. Aku sudah membakarnya beberapa waktu yang lalu..", katanya dengan sedikit harapan yang terlintas pada mendung pikirannya. Sang Dewi memandangi dalam-dalam lelaki yang dicintainya itu seraya tersenyum pedih. "Ketiadaan selendang itu bukanlah halangan bagi takdir perpisahan kita, suamiku. Karena sesungguhnya ini bukanlah kemauanku.. melainkan kehendak DEwata yang Tunggal. Selamat berpisah, suamiku tercinta. Jaga dan rawatlah anak kita dengan sebaik-baiknya..". Setelah mengatakan kalimat terakhirnya itu, ia berlari menuju sebatang pohon besar yang tumbuh didekat batu datar di pinggir telaga. "ibuu.. jangan tinggalkan akuu..", jerit We Dalauleng menggenaskan. "Jangan tinggalkan kami, isteriku...", pinta La Sangpuraga yang terdengar bagai keluhan semilir angin yang berlalu..
Wanita khayangan yang malang itu berlari dan berlari dengan hati bagai teriris sembilu mendengar jeritan suami dan puterinya tercinta. Ketika semakin mendekati pohon besar itu, tiba-tiba batang pohon itu terbelah. Sang Dewi masuk kedalamnya. Perlahan batang pohon yang terbuka menyerupai rongga itu mulai tertutup. La Sangkuraga yang sedang menggendong puterinya berlari mengejar untuk menarik keluar isterinya dalam lubang pohon itu. Namun upaya terakhir itu terlambat.. tangannya hanya mampu meraih beberapa helai rambut Sang Dewi yang kini tidak nampak lagi didalam rongga pohon yang tertutup rapat.. Ia berlutut dan menjerit sejadi-jadinya, seraya memanggil nama isterinya yang tercinta. "Ooo..Bussaaaaaa...", puterinya ikut menangis dalam dekapannya.
Entah berapa lama ia berlutut sambil mendekap puterinya yang entah tertidur atau pingsan.. Petir sambung menyambung menyambar seakan ingin melebur lembah yang dilanda duka itu. Tiba-tiba terpancar sinar pelangi dari batang pohon besar didepan La Sangpuraga. Tercium aroma keharuman yang semerbak mewangi, ..aroma keharuman tubuh isterinya yang amat dikenalnya. Terdengarlah suara isterinya yang seakan datangnya dari segala arah. "Kakanda, tabahkan hatimu. Ada pertemuan, berarti ada pula perpisahan.. Inilah ketentuan takdir yang ditetapkan oleh Dewata SeuwwaE terhadap kita. Namun janganlah khawatir, kelak akan tiba waktunya bagi kita berdua untuk bersama selamanya. Maka untuk sementara ini, peliharalah puteri kita sebagai wujud tunas kita berdua. Jika suatu saat ia merindukanku, maka bawalah ia kebawah pohon ini.. ia akan merasakan kehadiranku...". Lelaki malang itu mendengarkan sambil mengangguk-anggukkan kepala tanpa menjawab sepatah katapun. Kerongkongannya terasa tercekik, dadanya terasa sesak oleh haru dan sedih yang seakan meluluhlantakkan jiwanya.....Lao mani' uwissengngi, AlEku natarana', Sara ininnawa (Setelah kepergianmu barulah kutahu, Jika diriku kini dilanda sedih, Derita batin yang tak berkesudahan...)
...........................................................................................................
Demikian menurut kata legenda. Sejak itulah pohon besar tempat raibnya Sang Dewi dikenal sebagai pohon CENRANA. Pohon yang disakralkan karena bergetah merah yang menyerupai darah manusia. Pada getah pohonnya menebarkan keharuman khas yang diyakini sebagai aroma bidadari dari khayangan. Adapun halnya dengan We Dalauleng, inilah salah satu tunas leluhur yang dianggap sebagai salahsatu cikal bakal para Bangsawan Bugis yang berpadu dengan Wija ManurungngE di Luwu dan Tompotikka.
Wallahualam Bissawwab..........
Tidak ada komentar:
Posting Komentar