Oleh
: Mac Dhawanks
Melihat
pemberitaan media massa yang tidak berimbang tentang kasus Novel Porno yang beredar
di Perpustakaan SD. Saya sebagai orang awam hanya ingin mempertanyakan sampai
sejauh mana sih, pelabelan kategori porno itu! Apakah tulisan yang
mendeskripsikan cerita seks yang menganjurkan pemakaian kondom untuk
menghindari penyakit HIV/AIDS juga termasuk kategori porno?. Apakah buku
kedokteran tentang anatomi tubuh manusia juga termasuk porno? Kalau buku tersebut
nyasar di Perpustakaan SD, SMP dan SMA.
Bukankah
novel porno itu dari dulu sudah ada sejak era pemerintahan Soeharto? Kenapa
baru dipermasalahkan sekarang. Pada tahun 1980-an di kota kelahiran saya
Pinrang Sulsel, masih lekang dalam ingatanku, waktu itu saya masih duduk di
bangku SD. Tapi sudah pernah membaca novel-novel stensilan karya Freddy. S,
Mira W, Tara Zagita, Nick Carter dan Enny Arrow yang banyak dijual di toko-toko
buku kecil dan lapak-lapak di pasar tradisional dengan harga Rp. 2000-an.
Tapi
kok, belum ada orang yang mempermasalahkan hal itu, kenapa baru sekarang
diributkan. Padahal justru itu merusak remaja generasi 1980-an yang mungkin sekarang
kebanyakan sudah jadi guru, pengusaha, pejabat dan anggota DPR. Sehingga
ikut-ikutan juga bikin video porno, seperti kasus video mesum seorang PNS di
Ende, Flores NTT yang terjadi beberapa tahun lalu dan anggota DPR di senayan
juga bikin film porno. Sudah begitu bobrokkah moral bangsa kita di zaman
sekarang ini?
Mereka
itu adalah generasi-generasi 1980-an yang masa kecilnya mungkin saja sering membaca
novel-novel stensilan waktu masih duduk di bangku sekolah. Dulu kasus
pemerkosaan atau pencabulan akibat pornografi belum terasa seperti zaman
sekarang ini, karena anak-anak zaman dulu tidak terlalu terpengaruh dengan
bacaan yang ia baca. Karena remaja era 80-an itu belum mengenal yang namanya
media internet untuk mengakses gambar dan video porno. Meskipun saat itu sudah
beredar video XXX dalam bentuk kaset video, tapi hanya beredar di kalangan
terbatas. Dan anak di bawah umur jangan harap bisa menyewa kaset video tersebut
dengan bebas di rental penyewaan.
Novel-novel
stensilan tersebut masih banyak saya temukan di salah satu toko buku di Kota
Kupang, NTT dengan stok yang banyak seperti karya Freddy. S dan Tara Zagita.
Novel tersebut jika dikomsumsi oleh orang dewasa nggak terlalu masalah, sih! Karena
tidak ada gambar illustrasi yang hot banget, meskipun isi ceritanya hanya
bercerita seputar selangkangan.
Menurut
sastrawan Taufik Ismail, sastra jenis ini masuk kategori SMS (Sastra Mazhab
Selangkangan) atau genre baru FAK (Fiksi Alat Kelamin). Tapi kalau novel ini di
baca dengan bebas oleh para pelajar, bisa saja cerita didalamnya mereka ditiru
dalam kehidupan nyata. Karena jiwa mereka masih labil dan menjadi peniru ulung.
Jika
kelakuan ABG sekarang yang menghalalkan Sex Bebas, saya berpendapat faktor
utama penyebabnya tidak 100% di pengaruhi oleh novel yang dianggap porno. Tapi
menurut pendapat saya, karena pengaruh video porno, gambar porno yang banyak
beredar di Internet. Ditambah lagi dengan maraknya penggunaan ponsel kamera di
kalangan pelajar SD, SMP dan SMA hingga mereka meniru-niru adegan dalam video
tersebut.
Bukankah
minat baca anak-anak di Indonesia semakin berkurang sejak muncul banyaknya
tayangan sinetron di TV yang tidak mendidik. Sekedar informasi di daerah kelahiran
saya di Kab. Pinrang Sulsel. Pengusaha TV Kabel sering menayangkan TV-TV
satelit dari luar negeri, terutama TV Kabel dari Italia Fashion TV sejak tahun
2009. Anak-anak di daerah yang tidak hobby membaca lebih menghabiskan waktu di
depan TV menonton siaran luar negeri tersebut.
Tayangan
dalam Fashion TV itu adalah peragaan busana dari Italia, dimana para modelnya
tidak memakai busana atasan alias BH. Mereka hanya menggunakan celana dalam
saja tanpa BH dan tayangan ini di siarkan pada pagi hari Waktu Indonesia Timur.
Mungkin saja siaran ini di Italia di siarkan pada malam dini hari, tapi sampai
di Indonesia pagi harinya karena perbedaan letak geografis antara Italia dan
Indonesia.
Kalau
novel para penulis yang dianggap porno, seperti Ada Duka di Wibeng (Jazimah
Al-Muhyi), Tidak Hilang Sebuah Nama (Galang Luthfiyanto), Tambelo = Kembalinya
Si Burung Camar (Redhite K.), Tambelo = Meniti Hari di Ottawa (Redhite K.),
Syahid Samurai (Afifah Afra), Festival Syahadah (Izzatul Jannah) dan Sabuk Kiai
(Dadang A. Dahlan). Menurut saya itu bukan Novel Porno, tapi novel yang
mengajak pembacanya untuk menghindari Free Sex agar tak terjangkit penyakit
HIV/AIDS.
Terkait
dengan buku “Ada Duka di Wibeng, Tidak Hilang Sebuah Nama, Syahid Samurai, dan Festival
Syahadah”, ditulis oleh anggota Forum Lingkar Pena (FLP). FLP adalah
organisasi pengaderan penulis yang sejak awal pembentukannya pada tahun 1997
memiliki visi mencerahkan masyarakat melalui tulisan. Dalam menulis berbagai
karya, para anggota FLP memiliki sikap untuk tidak menulis karya yang membawa
pada kemudharatan. Para anggota FLP juga ada di garda depan dalam menolak
segala bentuk karya yang bermuatan pornografi.
Dan
novel ini jelas-jelas tertulis For Teenager yang artinya buat remaja dan saya
rasa novel ini salah sasaran seharusnya berada di Perpustakaan SMA bukan di SD.
Menurut Intan Savitri Ketua Umum FLP Pusat, “Visi Misi FLP itu terdepan
mengajak masyarakat dalam memerangi pornografi lewat karya-karyanya.
"Jangan sampai ada fitnah dan pembunuhan karakter penulis. Banyak tontonan
mengandung pornografi namun karya FLP yang mengajak pada kebaikan malah dituduh
porno," ungkapnya.
(Foto
: www.fashiontv.com)
Menurut
saya bahan bacaan itu tidak sama dengan tontonan di TV yang tidak mendidik. Sebagai
contoh jika kemarin heboh kasus penolakan Lady Gaga oleh ormas-ormas yang
mengatasnamakan agama, karena pakaian dan goyangannya di anggap vulgar. Di
daerah asal saya di Pinrang, Sulsel, ada tontonan masyarakat yang lebih seronok
dan vulgar yang di namakan Candoleng-doleng yang artinya gondal-gandul alias
berjuntai-juntai.
(Foto
: Capture dari video 3gp)
Apanya
yang berjuntai-juntai tinggal Anda sendiri yang mendeskripsikannya,
Candoleng-doleng itu adalah para penyanyi dangdut organ tunggal atau electon
yang sering tampil di acara perkawinan Bugis Makassar. Kenapa saya anggap
adegannya vulgar, karena penyanyi dangdut menirukan gaya penari streaptis di
diskotik yang mana penyanyinya membuka BH dan celana dalamnya di atas panggung.
Dan orang-orang pun memberikan saweran uang 10.000-an yang di selipkan di dalam
BH dan celana dalam penyanyinya.
Acara
dangdutan ini di tonton oleh semua umur mulai dari anak-anak sampai
kakek-kakek, dan anak kecil usia SD yang paling depan tempat duduknya, tepatnya
di bibir panggung. Ini sebenarnya lebih merusak moral generasi bangsa
dibandingkan dengan Novel Sastra Islami yang di anggap porno.
Jika
memang pemerintah serius ingin memberantas pornografi, blokir saja siaran
Fashion TV dari Indovision di Indonesia, razia penjual VCD Porno dan Penyanyi
dangdut erotis yang ada di daerah serta konten-konten pornografi di Internet.
Anggota dewan kita yang terhormat pun suka nonton dan bikin film porno, kenapa
nggak terlalu di gembar-gemborkan oleh media? Justru penulis novel yang melawan
trend Free Sex dan penerbitnya yang di anggap bersalah, ini pembunuhan karakter
penulis namanya.
Kota Kupang, NTT 16
Juni 2012
Mac
Dhawank’s
(Pengarang Cerita
Rakyat Modern, Cerpenis, Novelis, Komikus amatiran)