Kamis, 27 Januari 2011

R.A KOSASIH KETIKA KERTAS GAMBAR DIGANTIKAN KERTAS KALKIR

TRUE  STORY
Bekasi, 18 Januari 2011
R.A KOSASIH

KETIKA KERTAS GAMBAR
 DIGANTIKAN KERTAS KALKIR

Ditulis ulang oleh: Mac Dhawanks

           Di sebuah meja kayu kecil mungil, sejarah pewayangan bergerak mengikuti R.A Kosasih. Suatu saat, muncul kerajaan Hastinapura. Tak lama kemudian, Indraprasta yang digambarkan. Ketika kertas gambar diganti lagi dengan yang baru, gemuruhnya Pandang Kurusetra yang diwujudkan di situ. Dari lima jari-jari yang keriput, lahirlah Sumbadra yang cantik, Srikandi yang gagah, Yudhistira yang bijaksana, dan Dursasana yang durjana.
  Yang dibutuhkan untuk semua itu bukan karya tinta gambar hitam, yang biasa disebut tinta bak atau tinta cina. Merek Tastra, kuas merek Pagoda, dan rapido ukuran 0,5. Tapi sama pentingnya adalah imajinasi dan kemampuna Kosasih menggambarkan lewat garis, arsir, dan kadangkala, blok-blok hitam. Hingga, beribu, mungkin berjuta, anak Indonesia merasakan bahwa Pandawa Lima dan Kurawa sungguh-sungguh hidup di antara kita.
Diringi music Harirang Bandung yang dipasang pada sebuah taperecorder tua merek JNC, dan tik-tok sebuah jam wewker yang tua, Kosasih mulai mencoret-coret di kertas. Di dalam kamar 3 X 3 m beralas tikar itu, ada sebuah tempat tidur kecil, sebuah meja yang menghadap jendela, dan sebuah lemari reyot. Lemari itu hanya berisi sebuah sisir yang sudah rontok giginya, sebotol minyak rambut, dan ratusan buku komik karyanya. Itulah teman-teman serta Kosasih sehari-hari.
Pelukis komik itu biasanya mulai mengerjakan komiknya setelah makan pagi. “Saya hanya berhenti untuk makan siang, lalu mulai bekerja lagi.” pecandu rokok kawung, di masa mudanya, ini menuturkan. “Dulu, saya bias menggambar hingga jauh malam. Sekarang tidak kuat. Apalagi nggak boleh merokok lagi, waduuhh, jadi pusing lagi….” katanya sambil tertawa.
  Proses lahirnya karya komik Kosasih biasanya, seperti ini setelah menentukan plot dan jumlah halaman, ia menggambarkan garis tepid an tiap halaman, dilanjutkan membuat sketsa adegan-adegan. Menurut pengalamannya, pada saat pengisian dialog dengan balon teks dan narasi, terjadi perkembangan, ide-ide, yang bias saja mengubah sketsa-sketsa adegan.
  Juga, sebagaimana umumnya pelukis yang mengawali karyanya denga sketsa atau rencana, ketika Kosasih mulai menumpuki garis pensil dengan tinta Cina, perubahan masih juga terjadi. Baik perubahan adegan maupun pengeditan teks. Dan ini yang mungkin tak diketahui oleh banyak pecinta komik Kosasih: tulisan teks bukan dari tangan Kosasih tapi keponakannya yang bernama Atmadja.
  Jadi, setelah Atmadja mengisi balon-balon itu dengan tulisan rapi sesuai dengan teks yang diberikan Kosasih, ia akan membuat penyelesaian akhir dengan pengarsiran dan seluruh naskah siap dibuatkan klisenya dan dibawa ke percetakan.
  “Tapi itu proses masa lalu,” kata Kosasih agak sedih. Sekarang untuk penghematan biaya, Penerbit Maranatha minta Kosasih menggambarkan di kertas kalkir, kertas yang mirip kertas minyak, berwarna putih. “Saya diminta menggambarkan di kertas kalkir dan penerbit akan langsung membuat filmnya berdasar kertas ini tanpa harus membuat copy master. Artinya, osasih harus menggambar satu kali saja. Dulu, ia menggambarkan dalam ukuran besar, kemudia diperkecil.
Perbedaan teknis ini, harus diakui, mempengaruhi kualitas gambar. Kosasih sendiri mengakuinya. Ambil saja contoh adegan Pandawa Seda terbitan tahun 1966 dalam adegan para Pandawa sedang mencari abu para sesepuh yang terbakar di tengah hutan. Pada karya yang masih menggunakan teknik lama, garis-garis Kosasih tampak lebih halus, detail, indah dan menarik. Tampak Bima sedang sibuk memindahkan batang-batang gelondongan kayu, dan wajah yang eksprensif. Pada produksi Kosasih tahun 1980-an. Bima digambarkan dari belakang, yang tampaknya bukan wajahnya tapi punggungnya. Di situ, garis-garis kuas Kosasih terasa lebih kasar.
Contoh yang lain. Adegan pembicaraan antara Betara Indra dan Kresna. Dalam Pandawa Seda produksi tahun 1966, digambarkan adegan berlangsung di suatu pantai dengan pohon kelapa yang begitu indah denga dua siluet tokoh itu yang menggambarkan seriusnya pembicaraan mereka. Teks hanya singkat. Bandingkan dengan lukisan Kosasih tahun 1980-an, yang terkesan kedua tokoh berbicara di siang hari dengan latar yang agak gersang. Padahal Negeri Dwaraka terkenal dengan keindahannya.
Tapi Kosasih tidak semata menekankan perbedaan itu pada persoalan teknis saja. “Setiap kali saya menggambarkan ulang, memang ada perbedaannya.” Dan itu tak selalu berarti yang kemudian lebih menurun mutunya. Misalnya pada Damarwulan yang pertama kali diterbitkan pada 1953 oleh Penerbit Melodi. Di situ, gambar-gambar lebih terasa sebagai ilustrasi. Gambar lebih bertugas menjelaskan teks.
Tapi pada Damarwulan edisi tahun 1973, yang diterbitkan oleh Maranatha, gambar-gambar adegan terlihat lebih filmis dan ritmis. Dari satu adegan ke adegan lain, tak perlu banyak teks, dan bahkan sesekali tanpa teks. Ini tentu pengaruh komik baru yang mulai melanda Indonesia Indonesia. Lihat saja, contoh yang jelas, komik Tintin yang lucu itu. Dalam dua halaman bisa hanya menceritakan Tintin lari dari rumah ke halaman. Mirip film kartun.
Teks dan keterangan adegan karya Kosasih juga mengalami perubahan dari zaman ke zaman. Di dalam Pandawa Seda produksi tahun 1966, terkesan kata-kata yang digunakan Kosasih sangat efisien dan pendek-pendek. Ia terasa lebih mengutamakan gambar. Coba bandingkan. “Sebab Saudara pun mengerti, negeri ini didirikan hanya sementara bukan?” kata Betara Indra yang sedang memberikan isyarat pada Kresna bahwa sudah waktunya ia mencabut dirinya dari mayapada, dan meminta rakyat Dwaraka meninggalkan negeri itu, karena harus musnah juga. Pada produksi 1980, Betara Indra berkata, ”Karena Negara ini didirikan hanya untuk Sri Kresna wafat, negeri ini pun lenyap pula.”
Adalagi perubahan-perubahan fisik yang menarik, misalkknya bagaimana seseorang memberi salam. Di dalam Pandawa Seda produksi 1966, Parikesit yang bertemu dengan Arjuna di hutan langsung berlutut memberi sembah. :Oh, cucuku, Parikesit….kau telah dewasa kini,” kata Arjuna. Pada produksi 1980, Kosasih tampak menyimpan emosi Arjuna. Pertemuan antara Arjuna dan Parkesit terjadi dimuka istana dan pertemuan itu dibiarkan tanpa dialog. Sementara itu, Kosasih hanya menggambarkan Parkesit yang menangkapkan kedua tangan tanda hormat pada Arjuna dan Sumbadra. Ia tidak digambarkan berlutut.
Kosasih sandiri menganggap perubahan-perubahan yang dilakukannya sesuai dengan yang dirasakannya saat itu. Ia tidak bisa berprentensi melepaskan diri dari bahasa dan tema apa yang tengah mengalir memasuki ruang dan waktu.
Suatu hari, di kamar kerjanya, Kosasih tengah menggambarkan Arjuna Wiwaha di selembar kertas kalkir. Disamping kertas itu, terdapat buku komik Arjuna Wiwaha produksi lama.
“Hasilnya lumayan apa….” Katanya sendiri menatap lembaran kertas kalkir itu. “Yang penting, pembaca bisa senang membacanya,” katanya.
Sebagai seorang seniman, Kosasih tetap menginginkan perubahan dalam karyanya. Ia tidak ingin terus-menerus mengulang yang telah diciptakannya. Meski harus menanggung risiko, perubahan menyebabkan karya barunya lebih menurun. “Saya sudah senang bila ada anak-anak yang membacanya dan merasa bahagia,” ia menambahkan.
Tidak banyak orang yang bias membahagiakan orang lain melaui karya-karyanya. Dan, untuk itu, Kosasih susah berhasil.

Sumber : Tulisan Leila S. Chudori di Majalah Tempo No. 43 Tahun XXI – 21 Desember 1991



Tapi kini kondisi Maestro Komik Indonesia kita, sedang terbaring lemah di RS sejak bulan Agustus 2010. Dan bagi para pecinta komik Kosasih dari zaman ke zaman yang mungkin sudah mapan dalam ekonomi, bisa membantu pengobatan beliau dengan memberi sedikit sumbangan buat pengobatan beliau, dan sumbangan yang terkumpul akan dikirim langsung kepada keluarga Kosasih di Bogor :
        Salurkan bantuan anda ke No. Rekening 156-00-0084612-3 Bank Mandiri KCP Bekasi Villa Nusa Indah,  atas nama = Muhammad Ridwan, S.Kom. Semoga dana yang terkumpul dapat meringankan biaya pengobatan beliau. Wassalam !!




Tidak ada komentar: